Bai’at Pertama Anak Adam Ketika Di Alam Ruh
Bai’at pertama itu adalah janji anak manusia kepada Penciptanya. Saat itu manusia masih berada di alam ruh, sebelum ditiupkan ruhnya dalam janin di rahim seorang ibu. Di saat kondisi anak Adam masih bersih (fitrah) sesuai takdir yang ditetapkan Sang Pencipta. Saat lembaran hidupnya masih putih bersih dan sedikitpun belum tergores oleh satu apapun, kemudian Allah memasukkan ilmu (pengenalan) yang datang langsung dari urusan-Nya, bahwa Allah adalah Robb (Tuhan)nya. Lalu anak-anak manusia itu menjawab: “Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi”. Itulah kalimat syahadat pertama yang diucapkan manusia langsung di hadapan Allah SWT.Merupakan “ilmu rasa” yang pertamakali dimasukkan Allah dalam memori khazanah keilmuan manusia. Dengan pengenalan itu, maka jadilah setiap kelahiran anak manusia pasti membawa pengertian bahwa dirinya ada yang menciptakan. Oleh sebab itu, meski manusia tinggal di tempat sangat terpencil, pasti cenderung mencari siapa Tuhan Penciptanya. Kecuali orang yang memang matahatinya terlanjur buta karena tertutup oleh rasa ingkar dan penyakit hati yang belum mampu disembuhkan.
Perjanjian pertama itu sesungguhnya merupakan “ilmu hakekat” yang pertama kali dimiliki anak manusia. Namun karena masuknya ilmu hakekat itu langsung secara ruhaniah, maka keberadaannya harus dilengkapi dengan ilmu syari’at. Untuk tujuan inilah Allah mengutus para Nabi dan Rasul serta menurunkan kitab-kitab samawi di muka bumi, supaya manusia yang secara naluriah sudah mencari Tuhan itu benar-benar dapat menemukan Tuhan yang sebenarnya.
Apabila “ilmu hakekat” itu tidak dilandasi ilmu syari’at yang diajarkan para Nabi yang kemudian dilanjutkan oleh para Ulama’ pewaris Nabi, maka kecenderungan orang mencari tuhan itu seringkali terjebak dengan imajinasinya sendiri. Mengikuti mitos yang hanya didasari persangkaan kosong tanpa dalil dan bukti. Akibatnya, bintang, bulan matahari, pohon, batu, gunung, api, dan bahkan bagian anggota tubuhnya sendiri dipuja dan disembah, dikira itu tuhan mereka. Keadaan seperti itu telah digambarkan Allah melalui peristiwa terjadinya proses keyakinan dalam hati Nabi Ibrahim AS melalui firman-Nya:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin – Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam” – Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat” – Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan – Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. al-An’am; 75-79)
Ayat di atas merupakan ungkapan yang sangat luar biasa, hanya wahyu yang mampu menungkapkan, ilustrasi pengembaraan ruhaniah manusia melalui kemampuan rasional disaat melihat tanda-tanda yang betebaran di alam semesta. Apabila manusia mampu mencermatinya, maka akan menemukan Tuhannya seperti yang pernah ditemukan Nabiyullah Ibrahim AS.
Adapun perjanjian pertama tersebut diabadikan Allah dalam firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku adalah Tuhan-Mu”, dan dia saat itu telah menjawab: “Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lupa terhadap (persaksian) ini.” (QS. al-A’raaf; 7/172)
Ketika peristiwa yang terjadi di alam ruh itu dibeberkan secara ilmiah dengan Firman-Nya, maka berarti dengan ayat ini Allah tidak sekedar memberi kabar akan siapa sesungguhnya “Tuhan manusia” itu, namun juga menegaskan bahwa sebelum manusia dilahirkan ibunya di dunia, sesungguhnya telah melaksanakan bai’at kepada Tuhannya – “Bukankah Aku adalah Tuhan-Mu”, dan dia saat itu telah menjawab: “Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi”. Dengan perjanjian itu, supaya di hari kiamat manusia tidak bisa mengingkari dan berkata:“Sesungguhnya kami orang-orang yang lupa terhadap (persaksian) ini.”
Sungguh ini merupakan bagian keajaiban al-Qur’an al-Karim, rahasia kejadian di alam gaib dari lembar perjalanan hidup anak manusia telah dikuak. Dialog antara seorang hamba dengan Tuhannya di alam ruh itu, peristiwa itu bukan sekedar perkenalan antara seorang hamba dengan Tuhannya saja, namun juga penegasan, bahwa Sang Pencipta dan Sang Pemelihara alam semesta ini adalah Allah SWT. Dengan ayat ini seharusnya manusia tidak ragu lagi, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah Ta’ala.
Namun ternyata, bahkan dari sebagian orang yang mengaku beriman saja ada yang mengingkari peristiwa ghaib tersebut, mereka berkata: “Itu hanya klem al-Qur’an. Sesungguhnya bai’at itu tidak pernah ada, buktinya tidak seorangpun ingat peristiwa tersebut”. Orang yang mengatakan seperti itu barangkali karena rongga dadanya gelap gulita sehingga matahatinya buta yang menyebabkan hatinya menjadi ingkar kepada Tuhannya. Hal itu, karena mereka tidak bisa membedakan mana yang harus diketahui dan mana yang harus diimani.
Ilmu pengetahuan manusia semestinya tidak mengadakan observasi terhadap hal gaib yang dikabarkan oleh wahyu, karena arena akal tidak mungkin dapat mencapainya. Terhadap apa-apa yang disampaikan oleh wahyu tersebut manusia hanya wajib beriman, karena iman itu dirasakan dengan hati bukan dengan akal. Namun iman ini merupakan hidayah azaliah yang jika manusia tidak mendapatkan berarti akan berada di dasar jurang kekufuran kepada Tuhannya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (6) خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman – Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”(QS.al-Baqoroh/ 6-7)
0 komentar: