::
Start
sumber informasi dan persahabatan

Navbar3

Search This Blog

Senin, 23 April 2012

SETAN PENGGODA IBADAH DAN SETAN PENYESAT MANUSIA DARI JALAN LURUS

basmalah


Allah berfirman:
قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ[16] ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِّن‘ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ صلى وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ[17]
"lblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka, dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. " (A)-A'raf: 16-17)
Dari Abu Sabrah dari Ibnu Abu Faqih berkata bahwa saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya setan menggoda anak Adam dengan berbagai cara, ada yang menggoda lewat cara Islam, dia berkata kepada manusia: Kamu masuk Islam lalu meninggalkan agama nenek moyangmu, maka dia menentangnya dan terus masuk Islam. Kemudian menggoda lewat hijrah, dia berkata: Bagaimana kamu hijrah lalu men­inggalkan daerah dan tempat kelahiranmu, umpama orang yang hijrah adalah seperti panjangnya singgasana, dia menentangnya tetapi tetap pergi hijrah. Kemudian menggoda manusia lewat jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan harta, dia berkata: Kamu pergi berperang jika kamu mati maka isterimu dinikahi orang dan hartamu diambil ahli warismu. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa yang melakukan hal itu, jika dia meninggal berhak atas Allah untuk memasukkan Surga, jika terjatuh dari ontanya maka hak atas Allah untuk memasukkan Surga, jika dia terbunuh berhak bagi Allah untuk memassukkan Surga dan jika tenggelam, maka berhak bagi Allah untuk memasukkan Surga. "(HR. Ahmad dalam musnadnya).
Manshur berkata dari Mujahid bahwa tidaklah rombongan pergi ke Makkah melainkan iblis juga menyiapkan teman yang sama untuk menggoda mereka.
SETAN MENGGODA ORANG YANG SEDANG SHALAT
Dari Utsman bin Abu AI-Ash berkata bahwa saya bertanya kepaa Rasulullah saw tentang gangguan setan pada waktu saya shalat. Beliau bersabda:
(ذَاكَ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَ بِهِ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَتْفُلْ عَنْ يَسَارِكَ)
"Dia adalah Khinzib, jika kamu merasakan suatu godaan maka berlindunglah kepada Allah darinya dan meludahlah ke sebelah kirimu (HR Muslim).
Ibnu Abu Musa berkata bahwa barangsiapa yang sering ragu hingga menjadi seperti was-was maka hendaklah cepat-cepat dilenyapkan sebab, jika dibiarkan akan mengarah kepada penentangan dan menjadi sebab membuat tambahan dalam shalat sementara dia menyangka telah melakukan shalat secara sempurna.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ[268]
268. Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dalam sebuah hadits Nabi saw bersabda:
Barangsiapa yang meminta kekuasaan dan dia meminta tolong untuk mendapatkannya maka hal itu dibebankan kepadanya dan barangsia­pa yang tidak meminta kekuasaan dan tidak meminta tolong untuk mendapatkannya maka Allah akan menurunkan malaikat untuk membimbingnya." Maka malaikat inilah yang membimbing dan meluruskan hatiinya sehinga dia mampu membenarkan kebenaran dan janji kebaikan sebagaimana firman Allah:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ[51]
'Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata (dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya. Apa yang Dia kehendaki, " (Asy-Syura: 51)
Malaikat adalah utusan Allah dan lafadz malak berarti risalah karena berasal dari kata malak ikut wazan maf'al tetapi diringankan pengucapan­nya karena sering terpakai dalam ungkapan. Sebab hamzah bertemu sukun maka hamzah harus dibuang.
Imam Ahmad berkata bahwa telah bercerita kepadaku Abu Muawiyah ra AI-A'masy dari Buraidah dari bapaknya berkata bahwasanya Rasu­Ilah saw bersabda: "Tidaklah seseorang mengeluarkan sedekah kecuali dilepas dari orang itu tujuh puluh setan. "Telah dikatakan: "Sesungguhny­a setan mendatangi seseorang dengan membawa tujuh puluh bala tentara, ada yang menempati di kedua tangan, kedua kaki dan hatinya untuk menghalang-halangi sedekah. Sebagian orang berkata: saya akan mampu melawan tujuh puluh setan itu. Lalu dia keluar menuju rumah dan memenuhi kantung dengan gandum untuk disedekahkan, tetapi istrinya mengambil gandum dan mengeluarkan dari kantung maka orang kembali di masjid kecewa dan berkata: saya mampu mengalahkan tujuh puluh setan tetapi saya dikalahkan oleh ibu mereka.
Read More --►

Wudhu dan Pencegahan Terhadap Penyakit Kanker



Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (al­-Baqarah:222)

Ilmu pengetahuan modern menetapkan bahwa wudhu mampu meminimalisir timbulnya virus-virus kanker, yang disebabkan oleh faktor-faktor proses kimiawi. Sebab, dengan wudhu orang bisa terhindar dari terjangkitnya unsur kimiawi sebehun terjadinya akresi (gabungan unsur yang terpisah) yang menimbulkan infiltrasi (proses perembesan) dari kulit luar ke dalam tubuh. Misalnya, pekerja yang selalu berkecimpung mengenai perminyakan yang mengandung unsur-unsur kimiawi, maka sebagian besar mereka mengidap penyakit kanker kulit. Adapun kiat untuk menjaga agar tidak terjangkit penyakit itu, mereka harus menjauhkan diri dari unsur-unsur kimia dari kulit luar. Apalagi, pada daerah organ-organ tubuh yang sensitif terkontaminasi (tercampuri unsur-unsur kimia). Dari sinilah, tampak hikmah wudhu dalam firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengeljakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku. Sapulah kepalamu, dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah." (al-Maa'idah: 6)

Berwudhu lima kali dalam sehari bisa menjamin lenyapnya unsur-unsur kimia dari kulit luar. Juga sekaligus mampu mencegah terjadinya akresi dari apa-apa yang memperlambat atas sel-sel kulit yang membutuhkan waktu cukup lama untuk memperbarui perubahan-perubahan kanker.
Pancaran sinar matahari, lebih-lebih pantulan sinar ultraviolet, memiliki pengaruh yang sangat efektif dalam menciptakan kanker kulit. Namun, sinar yang berpotensi besar menimbulkan kanker kulit itu, hanya akan menimpa pada organ-organ tubuh luar. Dengan berulang kalinya orang berwudhu, maka kulit luar bisa terjamin selalu basah. Karenanya, sel-sel lapisan dalam kulit bisa terlindungi dari sengatan sinar yang membahayakan.
Dari pantauan data statistik diketahui bahwa kanker kulit dengan berbagai macam variasinya, lebih sering menimpa kaum pria dalam pergumulan masyarakat Barat dan Amerika Serikat serta Australia. Pasalnya, mereka bukan negara muslim (atau mayoritas penduduknya muslim) yang penduduknya sering berwudhu. Juga karena faktor suhu panas yang sangat menyengat di wilayah negara-negara tersebut.1)
Fakta ini mempertegas sisi positif pengaruh wudhu, yang seperti senjata penjaga bagi seorang muslim dari kejamnya penyakit-penyakit terlaknat itu. Salah seorang pakar kedokteran dalam wacana pengobatan preventif di Universitas Kairo, Dr. Abdul Wahid, berkata, "Kulit bisa memberi fungsi yang amat signifikan bagi tubuh manusia, yakni berfungsi sebagai jalan pengeluaran keringat yang mengandung unsur-unsur lemak dan kadar garam. Jika terjadi penguapan dalam tubuh, maka menyisakan kadar garam dan akan terjadi akresi atas kulit serta pori-pori kelenjar keringat menjadi tertutup karena tersendatnya pengeluaran keringat yang tidak normal. Sementara itu, adanya kotoran-kotoran di atas kulit akan menambah tumbuh suburnya penyakit-penyakit kulit. Dari uraian di atas, menunjukkan urgensitasnya wudhu dengan membasuh muka, membasuh kedua tangan, berkumur (membersihkan mulut) serta organ-organ tubuh luar yang lain, guna menghindari diri dari kotoran-kotoran dan debu."(ilmu ash-Shihah)
Berdasarkan penemuan ilmu medis mutakhir, wudhu memiliki dampak yang sangat baik dalam menjaga sakit gigi dan gusi. Menggosok gigi dan berkumur dengan air adalah hal yang amat penting, bahkan acapkali para dokter memberi resep seperti itu. Hal ini berfaedah untuk menjauhkan diri dari penyakit-penyakit yang mewabah melalui alat pernapasan, seperti radang selaput dan juga penyakit-penyakit saluran pernapasan. Uraian di atas, hanyalah beberapa poin faedah wudhu dalam perspektif pengetahuan modern.
Catatan kaki:
1). Hilmi Habib al-Khauly, Al-Islaamu wa al-Wiqaayatu min ba'dli as-Sarathaani, dimuat Majalah Al-'Arabia, Januari,1985 (dalam saduran).
Read More --►

Perang Badar Kubra





Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan generasi awal umat ini benar-benar menyadari bahwa masyarakat paganis ekstrim dari keturunan Quraisy -dan semua kelompok yang sejenis dengannya- tidak akan pernah membiarkan umat Islam begitu saja memperoleh kebebasan beragama mereka di Kota Yatsrib, setelah sebelumnya mereka diusir beramai-ramai dari Kota Makkah dan sekitarnya. Untuk ini, umat Islam pun mempersiapkan segalanya. Di Kota Madinah mereka berlatih agar mereka tidak lagi dilecehkan. Selain agar orang musyrikin maupun kabilah-kabilah lainnya, sadar akan kekuatan Islam yang selama ini tersebunyi. Inilah yang sekiranya dapat menggetarkan mereka sehingga mereka tidak menyerang umat Islam di Kota Madinah. Lebih dari itu, hal ini agar masyarakat Quraisy paham bahwa orang-orang Muhajirin yang selama ini lari dari tekanan penindasan bukanlah pada posisi yang lemah dan hina. Namun kini mereka telah berubah menjadi satu komunitas yang kuat yang mampu menggetarkan dan patut diperhitungkan.
Latihan dan Persiapan Berkala
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam segera melatih para sahabatnya dan mengutus mereka untuk melakukan pengintaian di sekitar Kota Madinah secara berkala. Tujuannya adalah sebagai latihan, eksplorasi, dan persiapan peperangan. Beberapa tugas yang pernah beliau delegasikan kepada para sahabat antara lain:
1. Pasukan yang dipimpin oleh Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Mereka sebanyak 30 orang penunggang dari kalangan Muhajirin. Mereka diutus hingga daerah Al-‘Iish di tepi laut.
2. Pasukan yang dipimpin oleh ‘Ubaidah bin Harits. Mereka sebanyak 60 orang penunggang dari kalangan Muhajirin sampai ke daerah Raabigh.
3. Pasukan yang dipimpin oleh Sa'd bin Abi Waqqash dengan kekuatan pengintai berjumlah 80 orang Muhajirin dan bertugas sepanjang jalan yang menghubungkan Makkah dan Madinah.
4. Perang Wuddan. Pasukan di bawah pimpinan Rasulullah saw. berjumlah 200 orang penunggang dan pejalan kaki berjalan hingga daerah Wuddan. Pada peperangan ini Rasulullah saw. mengadakan perjanjian dengan Bani Dhamrah. Salah satu tujuan peperangan ini adalah untuk membangun sebuah aliansi dengan kabilah-kabilah yang selama ini menguasai jalur yang menghubungkan antara Kota Makkah dan Madinah.
5. Perang ‘Usyairah. peperangan dengan jumlah pasukan sebanyak 200 orang penunggang dan pejalan kaki di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Tujuan dari peperangan ini adalah untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin di hadapan orang-orang musyrikin serta membangun kesepahaman dengan kabilah-kabilah yang terdapat di daerah jalur perdagangan orang Quraisy di antara Kota Makkah dan Madinah.
6. Perang Buwaath. Peperangan dengan jumlah pasukan sebanyak 200 orang penunggang dan pejalan kaki di bawah kemimpinan Rasulullah saw. Tujuannya adalah untuk bisa sampai ke daerah Buwaath dari sisi gunung Radhwa ke jalur perdagangan Quraisy di antara kota Makkah dan Madinah, selain untuk menekan kegiatan perdagangan mereka.
7. Pasukan di bawah pimpinan ‘Abdullah bin Jahsy. Pengintaian berkekuatan delapan orang dari kalangan Muhajirin. Bersama itu, ‘Abdullah membawa sepucuk surat dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Beliau berpesan untuk tidak membuka surat tersebut kecuali dua hari setelah mereka melakukan perjalanan. Ketika surat itu dibuka, di dalamnya terdapat tulisan, "Jika engkau telah membaca surat ini, maka teruslah berjalan hingga engkau sampai di sebuah pohon kurma yang terletak di antara Makkah dan Thaif. Lalu perhatikan gerak-gerik orang Quraisy dan berikan informasinya kepada kami."[1] Abdullah segera berangkat hingga akhirnya ia sampai di sebuah pohon kurma. Sebuah kafilah Quraisy lewat dan langsung di serang oleh kaum muslimin. Pada peperangan ini, orang-orang musyrikin yang tewas antara lain ‘Amr bin Hadhrami, sementara kaum muslimin berhasil menawan dua orang dari kalangan musyrikin, namun yang keempat berhasil melarikan diri.
8. Perang Badar Pertama. Prediksi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat tentang kaum musyrikin benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Tak lama setelah beliau menetap di Kota Madinah, orang-orang musyrikin di bawah pimpinan Karz bin Jabir Al-Fihry melakukan penyerangan terhadap ladang pengembalaan hewan milik orang Madinah dan merampas beberapa ekor unta dan kambing milik kaum muslimin. Rasulullah saw. pun segera bergerak untuk mengusir agresor tersebut dan merebut kembali unta maupun kambing milik kaum muslimin yang sempat mereka rampas. Pasukan perang kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah saw. ketika itu bergerak sampai ke daerahWadi Sufyan, dekat dengan Badar. Namun demikian mereka tidak dapat mengejar agresor musyrikin sehingga mereka pun harus kembali tanpa ada peperangan.
Latar Belakang Perang Badar Kubra
Perang Badar yang meletus antar kaum muslimin dan orang-orang musyrik dipicu oleh beberapa sebab, di antaranya:
1. Pengusiran Kaum Muslimin dari Kota Makkah Serta Perampasan Harta Benda Mereka
Genderang perang terhadap kaum muslimin sebenarnya sudah ditabuh oleh orang-orang musyrikin sejak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengumandangkan risalah dakwah yang ia bawa. Mereka menghalalkan darah kaum muslimin dan harta benda mereka di kota Makkah, khususnya terhadap orang-orang Muhajirin. Mereka rampas rumah dan kekayaan kaum Muhajirin. Orang islam pun melarikan diri dan menukarnya dengan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita dapat melihat sendiri bagaimana orang kafir Quraisy merampas dan menguasai harta benda Shuhaib sebagai imbalan diizinkannya ia untuk berhijrah ke Madinah. Kita pun dapat menyaksikan bagaimana mereka menduduki rumah-rumah dan peninggalan kaum muslimin yang ditinggal oleh pemiliknya.
2. Penindasan Terhadap Umat Islam Hingga Kota Madinah
Apa yang dilakukan orang Quraisy terhadap umat Islam ternyata tidak hanya ketika mereka berada di Kota Makkah. Di bahwa pimpinan Kurz bin Habbab Al-Fihri, mereka memprovokasi kaum musyrikin lainnya untuk menyerang, menteror, dan menguasai harta benda milik kaum muslimin yang ada di Kota Madinah (sebagaimana yang terjadi pada Perang Badar Shughra). Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila orang-orang musyrik menerima balasan atas semua permusuhan dan penindasan mereka terhadap umat Islam selama ini. Mereka begitu sadar bahwa banyak kepentingan dan hasil perdagangan mereka yang akan berpindah ke tangan orang-orang Islam di sana, selain bahwa kini Islam telah memiliki pasukan dan wilayah yang mampu memberikan perlawanan atas kewenang-wenangan, menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan meskipun orang-orang yang berhati durjana tidak menyukainya.
3. Memberi Pelajaran Kepada Quraisy dan Mengembalikan Harta Benda Milik Umat Islam
Oleh karena itu, begitu Rasulullah saw. mendengar bahwa kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb dan ‘Amr bin Al-‘Ash bersama 40 orang bergerak dari Syam membawa harta orang-orang Quraisy yang keseluruhannya mencapai seribu ekor unta, maka beliau pun segera mengajak kaum muslimin untuk bergerak mendatanginya. Rasulullah saw. mengatakan, "Ini adalah perdagangan Quraisy. Maka keluarlah kalian, semoga Allah swt. akan memberikannya kepada kalian."[2] Mendengar seruan ini, sebagian kaum muslimin menyambutnya sementara yang lainnya merasa sedikit berat dengannya. Mereka menggangap bahwa ketika itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak bermaksud mengumandangkan sebuah peperangan. Karena beliau mengatakan, "Barangsiapa yang saat ini memiliki tunggangan, maka hendaklah ia ikut bersama kami." Beliau tidak menunggu sahabat yang tunggangannya tidak ada pada saat itu.
Sekilas Sejarah Perang Badar
Ibnu Ishaq berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pergi pada beberapa malam di bulan Ramadhan bersama sahabat-sahabatnya." Ibnu Hisyam berkata, "Beliau pergi pada hari Senin setelah delapan hari dari bulan Ramadhan. Beliau mengangkat ‘Amr bin Ummi Maktum (dalam riwayat namanya adalah ‘Abdullah bin Ummi Maktum) untuk menjadi imam di Madinah, dan mengangkat Abu Lubabah sebagai pemimpin sementara kota Madinah."
Jumlah pasukan kaum muslimin pada saat itu hanyalah 313 orang: 240-an orang dari kalangan Anshor, sisanya dari kalangan Muhajirin. Mereka membawa 2 ekor kuda dan 70 ekor unta. Sementara panji kaum muslimin di bawa oleh Mus'ab bin ‘Umair. Peristiwa Badar sendiri meletus pada hari Jumat pagi tanggal 17 Ramadhan.[3]
Prediksi Abu Sufyan tentang Pasukan Islam
Waktu itu Abu Sufyan terkenal sebagai seorang yang begitu ambisius dan cerdik. Ia selalu memperhitungkan segala macam kemungkinan dan resiko yang dapat terjadi. Ia tahu benar apa yang telah dilakukan penduduk Quraisy terhadap kaum muslimin selama ini. Ia pun begitu menyadari akan kekuatan umat islam yang semakin hari semakin mengalami peningkatan dan perkembangan. Ia mengorek informasi dari setiap rombongan orang yang ditemuinya sebagai bukti kekhawatirannya atas perdagangannya berikut harta orang-orang Quraisy yang dibawanya. Hingga akhirnya ia mendengar kabar dari beberapa orang yang ditemuinya bahwa Nabi Muhammad telah memobilisasi sahabat-sahabatnya untuk mencegat rombongan yang sedang membawa harta perdagangan. Mendengar hal ini, ia pun segera berhati-hati dan mengambil jalur perjalanan yang lain seraya mengirim utusan kepada penduduk Quraisy yang ada di Kota Makkah untuk meminta bantuan.
Mobilisasi Suku Quraisy
Abu Sufyan menyewa Dhamdham bin ‘Amr Al-Ghifari agar segera menemui orang-orang Quraisy dan memberitahu mereka situasi yang tengah terjadi. Ia pun bergegas menunggangi untanya. Dengan berteriak ia berkata, "Wahai orang-orang Quraisy! Harta kalian bersama Abu Sufyan terancam oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kulihat kalian tidak akan memperolehnya. Tolonglah... tolonglah!"[4] Mendengar berita ini, fanatisme mereka pun berkobar. Mereka begitu khawatir akan perdagangan mereka. Dengan cepat mereka bergerak. Semuanya pergi kecuali Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib. Ia mengirim Al-‘Ash bin Hisyam bin Al-Mughirah sebagai pengganti. Orang-orang Quraisy sepakat untuk bersama-sama pergi baik dalam keadaan susah maupun lapang. Di depan barisan mereka terdapat biduan wanita yang bernyanyi mendendangkan hinaan dan celaan bagi umat Islam.
"Dan (ingatlah) ketika setan memperindah perbuatan-perbuatan mereka dan membisikkan bahwa tidak ada yang akan mengalahkan kalian pada hari ini, dan aku akan benar-benar menjadi pelindung kalian."
Selamatlah Kafilah Dagang Quraisy
Abu Sufyan tidak hanya berpangku tangan menanti uluran bantuan dari penduduk Quraisy. Ia curahkan segenap kepiawaian yang ia miliki agar mereka tidak jatuh ke tangan kaum muslimin. Semua informansi dan peristiwa yang ada ia kumpulkan dan dianalisis hingga akhirnya ia tahu kapan pasukan muslimin pergi menghadang kafilah dagang mereka.
Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan bertemu dengan Majdi bin ‘Amr dan bertanya kepadanya, "Apakah engkau berjumpa dengan seseorang?" Ia menjawab, "Aku tidak menjumpai seorang pun yang tidak kukenal kecuali dua orang penunggang unta yang berhenti di bukit itu. Kemudian mereka mengambil air dan meletakkannya di tempat air mereka lalu pergi." Abu Sufyan mendatangi tempat tersebut dan mengambil beberapa buah sisa kotoran hewan mereka. Lalu ia pisahkan dan di dalamnya terdapat biji. Ia berkata, "Demi Tuhan, ini adalah makanan hewan penduduk Yatsrib (Madinah)." Ia pun akhirnya tahu bahwa kedua orang tersebut tak lain adalah sahabat Nabi Muhammad saw. dan pasukan kaum muslimin ternyata sudah begitu dekat dari tempat."[5] Abu Sufyan segera kembali ke tengah kafilah sambil memukuli mukanya. Ia alihkan jalur perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, yaitu pesisir pantai demi menghindari daerah Badar menuju ke kiri sehingga kafilah pun terselamatkan.
Sikap Keras Kepala Kaum Musyikin untuk Berperang
Pasukan musyrik Quraisy bergerak dengan penuh kesombongan di tengah hamparan padang pasir, di antara sekian banyak kabilah Arab yang terdapat di sepanjang jalur yang menghubungkan Kota Makkah dan Madinah diiringi nyanyian biduan wanita. Mereka begitu bangga dengan kekuatan dan pasukan yang ada. Mereka bermaksud hendak menyelamatkan Abu Sufyan dan kafilah dagang dari tangan umat Islam. Namun ternyata kafilah tersebut telah terselamatkan. Abu Sufyan sendiri yakin bahwa ia telah berhasil menyelamatkan kafilah dagang mereka dari kepungan dan incaran umat Islam. Ia pun mengirim pesan kepada pasukan Quraisy, "Sesungguhnya kalian keluar untuk melindungi perdagangan, orang-orang, dan harta benda kalian. Mereka semuanya telah terselamatkan. Maka kembalilah!" Utusan Abu Sufyan pun akhirnya bertemu dengan pasukan Quraisy di perjalanan. Ia sampaikan berita selamatnya kafilah dagang mereka. Mendengar berita ini Abu Jahal berkata, "Demi Tuhan! Kita tidak akan kembali kecuali setelah sampai di Badar dan tinggal di sana selama tiga hari. Kita akan memotong hewan sembelihan, memberi makan, menuangkan khamr, dan mendengarkan lagu dari para biduan. Dan orang-orang Arab pun akan mendengar ekspedisi dan perkumpulan kita ini sehingga mereka akan senantiasa segan kepada kita untuk selama-lamanya."[6]

Rasulullah saw. keluar untuk mencegat kafilah Quraisy yang membawa harta dagangan. Beliau benar-benar tidak mengetahui keberadaan pasukan Quraisy yang sedang bergerak mendatanginya. Beliau pun tinggal di luar kota Madinah, sambil mempersiapkan pasukan dan mengembalikan mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk berperang.
Kekuatan Kaum Muslimin
Pasukan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berjumlah 313 orang. Bersama mereka terdapat 2 ekor kuda, satu milik Zubair bin ‘Awwam dan seekor lainnya milik Miqdad bin ‘Amr, serta 70 unta yang mereka tunggangi secara bergantian.
‘Abdullah bin Mas'ud berkata, "Ketika Perang Badar, setiap tiga orang dari kami menungganngi seekor unta. Abu Lubabah, ‘Ali, dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallambergantian menaiki unta. Ketika giliran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk berjalan kaki, keduanya berkata, ‘Kami akan menggantikanmu untuk berjalan kaki.' Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, ‘Kalian berdua tidaklah sekuat diriku, dan aku tidak lebih membutuhkan pahala dari kalian berdua.'"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mempercayakan panji berwarna putih kepada Mush'ab bin ‘Umair. Sementara di hadapan beliau sendiri terdapat dua buah bendera. Di sebelah kanan beliau terdapat Zubair bin ‘Awwam dan di sebelah kiri terdapat Miqdad bin Al-Aswad, serta di belakangnya terdapat Qais bin Abi Sha'sha'ah.
Kekuatan Kaum Musyrikin
Pasukan musyrikin berhasil memobilisasi 950 orang yang kebanyakan mereka berasal dari Quraisy. Bersama mereka terdapat 200 ekor kuda dan unta dalam jumlah yang sangat banyak sekali untuk mereka tunggangi sekaligus membawa perbekalan dan makanan mereka selama di perjalanan.
Orang-orang musyrikin tidak memiliki seorang pemimpin umum. Hanya saja di antara mereka terdapat dua orang terpandang, yaitu ‘Utbah bin Rabi'ah dan Abu Jahal beserta sekian orang pemuka Quraisy lainnya.
Tahap Intelejin dan Pengintaian
Pasukan muslimin menyusuri jalur yang biasa dilalui oleh kafilah-kafilah dagang yang terbentang di antara Badar dan Kota Madinah. Panjangnya sekitar 60 kilometer. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengutus beberapa orang melakukan pengintaian untuk kepentingan informasi dan keamanan dari kemungkinan serangan tiba-tiba yang kiranya tidak dapat mereka tangani.
Tahap Pertama
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengutus Basbas bin ‘Amr dan ‘Ady bin Abi Zaghba. Mereka pun pergi hingga sampai ke wilayah Badar. Mereka singgah di sebuah bukit dekat dengan sumber air. Lalu mereka mengambil air dan meletakkannya pada tempat air kecil yang mereka bawa lalu meminumnya. Mereka berdua bertugas untuk mengumpulkan informasi. Akhirnya ‘Ady dan Basbas mendengar dua orang anak perempuan dari penduduk sekitar saling berselisih seputar air. Salah seorang dari mereka berkata, "Besok akan datang rombongan dan aku akan bekerja untuk mereka kemudian aku akan mengganti hari yang seharusnya jadi milikmu." Mereka berdua kemudian memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya untuk memberikan analisis atas informasi tersebut.
Tahap Kedua
\Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib r.a., Zubair bin ‘Awwam, dan Sa'd bin Abi Waqqash dalam satu regu untuk pergi ke sumber air di Badar sambil mencari informasi. Mereka pun berhasil menawan beberapa orang Quraisy yang bertugas untuk mengambil air. Beberapa dari mereka kemudian masuk Islam, di antaranya budak Bani Hajjaj dan ‘Aridh Abu Yasar budak Bani ‘Ash bin Sa'd. Mereka membawanya kepada Nabi untuk diinterogasi.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menanyai keduanya. Mereka menjawab, "Kami adalah milik pasukan Quraisy dan kami tidak mengetahui apapun tentang Abu Sufyan." Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallamkembali bertanya, "Berapa jumlah mereka?" Keduanya menjawab, "Banyak, kami tidak tahu berapa jumlahnya." Rasulullah saw. melanjutkan, "Berapa banyak unta yang mereka sembelih untuk dimakan?" Keduanya menjawab, "Sembilan, dan hari lainnya sepuluh." Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, "Mereka sekitar 900 sampai 1.000 orang."
Beliau melanjutkan pertanyaannya, "Siapa saja pemuka Quraisy yang ikut bersama mereka?" Keduanya menjawab, "'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah, Abu Al-Buhturi bin Hisyam, dan Hakim bin Hizam." Keduanya lalu menyebutkan beberapa orang pemuka Quraisy lainnya. Kemudian Rasulullah saw. berkata, "Kota Makkah ini telah melemparkan kepada kalian kepingan-kepingan hatinya." Beliau mengatakannya dengan maksud untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Rasulullah Melakukan Pengintaian
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pergi bersama Abu Bakar untuk melakukan pengintaian dan pengumpulan informasi. Beliau berjumpa dengan seorang badui yang sudah tua dan bertanya kepadanya tentang perihal Quraisy, Muhammad serta para sahabatnya, dan semua berita yang berhubungan dengan mereka. Orang tua itu pun menjawab, "Aku tidak akan memberitahu kalian sebelum kalian mengatakan siapa diri kalian berdua?" Rasulullah saw. menjawab, "Jika engkau memberitahu kepada kami terlebih dahulu, maka kami pun akan mengatakannya kepadamu." Orang tua itu berkata, "Atau itu dengan itu?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. menjawab, "Ya." Orang tua itu berkata, "Aku dengar bahwa Muhammad dan sahabatnya keluar pada hari fulan. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini mereka telah sampai di tempat fulan (yaitu di tempat di mana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika itu berada). Dan aku mendengar bahwa Quraisy keluar pada hari fulan. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini mereka telah sampai di tempat fulan (yaitu tempat di mana pasukan Quraisy berada.)" Setelah selesai berbicara orang tua itu pun bertanya, "Dari mana kalian berdua?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, "Kami dari Maa` (air)" Kemudian ia pergi meninggalkannya. Orang tua itu kembali bertanya, "Apa itu Maa`? Apakah Maa` yang ada di Irak?"
Kaum Muslimin Menganalisis Informasi
Semua informasi yang diperoleh dari aktivitas intelejen menunjukkan bahwa rombongan kafilah dagang telah selamat dan pasukan orang-orang musyriklah yang kini berada di hadapan mereka. Pasukan Quraisy sekitar 900 hingga 1.000 orang. Di antara mereka terdapat beberapa orang pemuka Quraisy. Jumlah mereka tidak dapat disepelekan. Lalu apakah yang harus dilakukan umat Islam di hadapan informasi-informasi seperti ini?
Demikianlah kedua pasukan semakin berdekatan dan keduanya sama-sama tidak mengetahui apakah yang akan terjadi di balik pertemuan yang menegangkan itu. Itulah latar belakang meletusnya peperangan pertama di dalam sejarah Islam telah Allah swt. susun sedemikan rupa. Sebuah peperangan antara kebenaran dan kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepada kalian salah satu dari dua kelompok bahwa ia akan menjadi milik kalian. Kalian berharap bahwa kelompok yang tidak memiliki kekuatanlah yang akan menjadi miliki kalian. Dan Allah swt. ingin menegakkan yang haq dengan kalimatnya, dan memusnahkan orang-orang yang kafir. Agar Ia menegakkan yang hak dan memusnahkan kebatilan meskipun orang-orang berhati durjana tidak menyukainya." (Al-Anfal: 7-8)
Syuro
Semua yang telah direncanakan kaum muslimin akhirnya berubah. Hal-hal baru yang tak terduga sebelumnya tampak ke permukaan. Oleh karenanya ada penyikapan yang harus dipelajari dengan mengacu kepada beberapa hal berikut:
1. Tujuan pertama kaum muslimin adalah untuk mencegat rombongan kafilah dagang, dan bukan untuk berperang.
2. Minimnya persiapan dan jumlah kaum muslimin ketika itu.
3. Perjanjian yang mengikat antara Rasulullah saw. dan kaum Anshor pada saat itu adalah memberikan pertolongan di Kota Madinah, bukan di luar wilayah tersebut.
Hal-hal inilah yang sekiranya menuntut seorang pemimpin untuk mendengar secara langsung masukan dari para pasukannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. kemudian mengumpulkan orang-orang untuk bermusyawarah.
Beliau berkata, "Wahai sekalian orang, berikanlah pendapat kepadaku!" Abu Bakar pun berdiri. Kemudian ia berbicara dan memberikan masukan yang baik kemudian. Kemudian ‘Umar berdiri lalu berbicara dan memberikan masukan yang baik. Kemudian Miqdad bin ‘Amr bangkit seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami benar-benar telah beriman kepadamu. Maka laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Tuhanmu dan kami akan bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang telah dikatakan oleh para pengikut Musa kepadanya, 'Pergilah engkau bersama Tuhanmu! Dan berperanglah kalian berdua. Kami akan duduk menunggu di sini.' Namun kami akan mengatakan, 'pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua. Sesungguhnya kami akan berperang bersama kalian.' Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau pergi bersama kami ke wilayah Barkil Ghimaad (di ujung Yaman), niscaya kami akan berperang bersamamu menghadapi orang yang menghalangimu hingga engkau sampai ke sana."
Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata kepadanya dengan perkataan yang baik serta mendoakannya. Kemudian beliau kembali meminta, "Wahai sekalian orang, berikanlah masukan kepadaku!" seakan-akan beliau memintanya dari kalangan Anshor. Ia ingin mendengar pendapat mereka tentang apa yang sedang dihadapainya saat itu. Sa'd bin Mu'adz berdiri dan berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sepertinya engkau menginginkan kami?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, "Tepat." Sa'd berkata, "Kami benar-benar telah beriman kepadamu, kami membenarkanmu dan bersaksi bahwa engkau membawa kebenaran. Kami berikan untuk semua itu janji dan kesetiaan kami untuk mendengar dan taat. Maka laksanakanlah apa yang engkau mau. Dan kami akan bersamamu. Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya saja di hadapan kami terdapat lautan, niscaya kami akan menyelaminya bersamamu. Tak seorang pun dari kami yang akan tinggal. Kami tidak enggan untuk bertemu musuh esok hari. Kami adalah kaum yang sabar dalam berperang dan menetapi ketika bertemu musuh. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu dari kami apa yang dapat menenangkan pandanganmu. Maka pergilah dengan penuh keberkahan dari Allah!"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun merasa gembira. Lalu beliau berkata, "Pergilah kalian dengan penuh keberkahan dari Allah dan berbahagialah karena sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu dari kedua rombongan tersebut. Demi Allah, seakan-akan sekarang aku sedang melihat kematian mereka."
Syuro Seputar Tempat dan Posisi Pasukan
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. hendak bergerak menghadapi pasukan musyrikin dan mendirikan kemah di hadapannya serta mengambil posisi sebagai persiapan sebelum perang, beliau masih terus mendengarkan saran dari para sahabatnya. Hubbab bin Mundzir bin Jamuh berkata, "Wahai Rasulullah, apakah tempat ini adalah wahyu yang Allah turunkan sehingga kami tidak punya hak untuk bergeser maju ataupun mundur. Ataukah ini hanyalah pendapat pribadi, dan peperangan adalah tipu daya dan strategi?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, "Tidak. Ini hanyalah pendapat pribadi, dan peperangan adalah tipu daya dan strategi." Hubbab kembali berkata, "Wahai Rasulullah, ini bukanlah lokasi yang tepat. Pergilah bersama beberapa orang hingga kita sampai lebih dekat dengan sumber air, lalu kita singgah di sana. Kemudian kita gali beberapa sumur dan sebuah kolam, lalu kita isi air. kemudian kita perangi mereka. Sehingga kita dapat minum dan mereka tidak." Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, "Engkau benar-benar telah memberikan pendapatmu."
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam segera bangkit beserta beberapa orang sahabatnya. Ia pun pergi hingga mendekati sumber air suatu penduduk dan singgah di sana. Lalu beliau memerintahkan sahabatnya untuk membuat sumur dan sebuah kolam besar pada sumur tempat ia singgah serta mengisinya dengan air. Kemudian mereka lemparkan ke dalamnya tempat air. Mereka pun akhirnya mendapatkan sumber air, sementara kaum musyrikin tidak mendapatkannya. Sekelompok orang musyrikin datang sambil menahan perih karena kehausan. Mereka ingin mengambil air dan meminumnya. Seluruhnya terbunuh pada saat Perang Badar, kecuali Hakim bin Hizam yang sempat masuk Islam setelah itu. Ia begitu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas keselamatan dirinya pada saat Perang Badar. Karena kalau tidak, niscaya saat itu ia mati dalam keadaan kafir.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Ingin Memenangkan Kebenaran
Tidak diragukan lagi bahwa pertempuran antara pasukan muslimin dan musyrikin akan menjadi sebuah pertempuran yang sangat dahsyat. Karena orang-orang Quraiys dengan kesombongannya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membinasakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya sehingga hukum paganisme menjadi satu-satunya aturan hukum yang berlaku. Namun demikian, Allah swt. menginginkan agar kekuatan kaum muslimin yang telah dibangun di Kota Madinah dan dilatih sedemikian rupa sehingga berhasil melahirkan pasukan-pasukan yang kokoh mampu mengepakkan debu di medan perang, setelah selama lima belas tahun berada di bawah tekanan penindasan dan kelaliman serta membela akidah dan dakwah yang mereka bawa.
Oleh karenanya, terlihat kemudian bahwa pertemuan antara keduanya benar-benar akan menyisakan kepahitan dan keperihan yang teramat sangat. Namun di balik semua ini, Allah swt. ingin menghancurkan kekuatan pendukung kebatilan dan meninggikan kebenaran dan para pembelanya.
"Dan (ingatlah) ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan kepada kalian salah satu dari dua kelompok bahwa ia akan menjadi milik kalian. Kalian berharap bahwa kelompok yang tidak memiliki kekuatanlah yang akan menjadi miliki kalian. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin menegakkan yang haq dengan kalimatnya, dan memusnahkan orang-orang yang kafir. Agar Ia menegakkan yang hak dan memusnahkan kebatilan meskipun orang-orang berhati durjana tidak menyukainya."
"(yaitu hari) ketika kalian berada di pinggir lembah yang dekat, sementara mereka berada di lembah yang jauh sedang kafilah itu berada di bawah kalian. Sekiranya kalian mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), nicaya kalian akan berselisih pendapat dalam menentukannya. Akantetapi (Allah mempertemukan kedua pasukan itu) agar Ia melakukan suatu urusan yang harus dilaksanakan. Yaitu agar orang yang binasa itu akan mendapatkan kebinasaannya atas dasar keterangan yang jelas dan agar orang yang hidup itu mendapatkan kehidupannya atas dasar keteranan yang jelas. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
"(Yaitu) ketika Allah menampakkan mereka di dalam mimpimu (dalam jumlah yang) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah yang) banyak, tentu saja kamu menjadi gentar dan berbantah-bantahan dalam hal tersebut. Akantetapi Allah telah menyelamatkamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang apa yang terdapat di dalam hati. Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kalian, seketika itu kalian berjumpa dengan mereka dalam jumlah yang sedikit di hadapan matamu. Sementara Allah menampakkanmu dalam jumlah yang sedikit di mata mereka. Karena Allah hendak melakukan satu urusan yang harus dilaksanakan. Dan hanya kepada Allah lah segala urusan dikembalikan"

Sebelum Peperangan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat begitu bersemangat. Mereka memilih tempat yang tepat di arena peperangan. Mereka mendirikan sebuah podium sebagai tempat untuk pemimpin yang dijaga dengan ketat. Barisan pasukan mulai di atur dan kalimat "Ahad... Ahad..." dipilih sebagai bahasa sandi di antara sesama muslim. Hal ini untuk menghindari kesemerawutan, dimana pasukan muslim menghantam saudaranya sendiri ketika perang sedang berkecamuk. Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk tidak memulai penyerangan kecuali setelah mendapatkan perintah. Hal ini agar mereka tidak terpancing oleh orang musyrikin untuk berperang tanpa hasil. Rasulullah saw. berpesan, "Jika mereka menyerang kalian, maka lemparlah mereka dengan anak panah. Jangan kalian bergerak menyerang mereka sampai aku mengizinkannya."
Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Beliau letakkan segala sesuatunya sesui dengan tempat yang seharusnya. Beliau tidak menyisakan celah untuk hal yang sifatnya tiba-tiba tanpa terencana. Kemudian beliau bertawakkal menyerahkan semuanya kepada Allah swt. setelah berupaya secara optimal sebatas kemampuannya sebagai manusia.
Lawan Tanding
Kedua pasukan pun akhirnya saling berhadapan. Fanatisme jahiliah begitu tampak jelas pada pada diri orang-orang musyrik. Setiap orang ingin memperlihatkan kedudukan dan keberaniannya. Muncullah kemudian Al-Aswad bin ‘Abdul Asad Al-Makhzumi. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat sadis dan biadab. Dengan nada tinggi ia menantang, "Aku berjanji kepada Tuhan bahwa aku akan meminum dari kolam mereka (yaitu kolam yang dibikin oleh orang-orang muslim), atau aku akan menghancurkannya, atau aku akan mati karenanya." Ia pun menyerang kolam tersebut. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib segera bergerak. Ia ayunkan pedangnya hingga menebas setengah dari kaki bagian bawahnya sebelum ia sempat sampai ke kolam tersebut. Namun demi keangkuhan sumpahnya ia merayap. Hamzah pun langsung menenggelamkannya di dalam kolam. ‘Utbah bin Rabi'ah terpancing emosinya. Ia ingin menunjukkan keberaniannya. Tampil pula bersamnya saudaranya, Syaibah dan anaknya Walid. Ia pun menantang untuk berduel. Tiga orang pemuda dari kalangan Anshar gugur di hadapan mereka. Rasulullah saw. pun kembali menjawab tantangan mereka. Maka majulah ‘Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, dan ‘Ali bin Abi Thalib, kesemuanya adalah dari keluarga Rasulullah saw. Beliau mengutamakan kemampuan mereka atas dasar keberanian dan pengalaman mereka dalam berperang sudah sangat masyhur. Dengan izin Allah swt. pula akhirnya mereka berhasil mengalahkan orang-orang Quraisy. Semangat kaum muslimin kembali terdongkrak dan kekuatan orang-orang kafir pun mulai berjatuhan.
‘Ubaidah (prajurit yang paling muda) berhadapan dengan ‘Utbah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah, sementara ‘Ali berhadapan dengan Walid bin ‘Utbah.
Hamzah tidak mengulur-ulur waktu untuk membunuh Syaibah. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh ‘Ali terhadap Walid. Berbeda dengan ‘Ubaidah, baik ia maupun ‘Utbah sama-sama terluka. ‘Ali dan Hamzah pun segera mengayunkan pedang mereka hingga ‘Utbah tersungkur mati. Lalu keduanya membawa ‘Ubaidah ke perkemahan pasukan untuk diobati. Peristiwa ini merupakan satu awal yang baik bagi kaum muslimin sekaligus bencana bagi orang-orang musyrikin. Awal yang memilukan ini benar-benar telah membuat mereka berang. Mereka mencoba memancing emosi kaum muslimin, namun umat Islam kala itu mampu menahan diri hingga datang perintah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk melakukan penyerangan.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bermunajat Kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada saat kritis sudah seharusnya seorang hamba kembali dan berlindung kepada Allah swt. Mereka harus benar-benar memurnikan niat dan meluruskan tujuan serta menundukkan hati agar Allah Subhanahu wa ta'ala  berkenan memecah kesukaran dan menganugarahkan kemenangan. Oleh karena itu, di tempat peristirahatannya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghadapkan wajah ke kiblat sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun berdoa memohon kepada Tuhannya, "Ya Allah, orang-orang Quraisy telah datang dengan kesombongannya. Mereka ingin mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku bermunajat memohon janji-Mu. Ya Allah, tunaikanlah apa yang telah menjadi ketetapanMu. Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok yang kecil dari umat ini binasa sekarang, maka Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini."[1]
Demikianlah beliau terus bermunajat memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sambil mengangkat kedua tangannya sampai sorbannya jatuh dari atas pundaknya. Abu Bakar pun mendatanginya dan meletakkan sorban itu pada kedua pundaknya. Lalu ia berkata dari belakangnya, "Wahai Rasulullah, cukuplah apa yang telah kau minta kepada Tuhanmu karena sesungguhnya Ia akan memberikan apa yang telah dijanjikannya kepada-Mu." Namun Rasulullah saw. tidak berhenti berdoa kecuali setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya, "Ingatlah ketika kalian memohon pertolongan kepada Tuhan kalian. Maka Ia pun mengabulkannya bagi kalian. Sesungguhnya Aku benar-benar membantu kalian dengan seribu malaikat yang berada di belakang. Dan Allah tidaklah menjadikan hal tersebut kecuali sebagai sebuah kabar gembira dan agar hati-hati kalian bisa tenang dengannya. Dan tidaklah kemenangan itu kecuali hanya datang dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."[2]
Kemudian Rasulullah saw. berkata, "Bergembiralah, wahai Abu Bakar, pasukan itu akan dilumatkan dan lari ke belakang. Bergembiralah karena pertolongan Allah swt. telah datang. Ini Jibril memegang kendali kuda dan menungganginya. Pada giginya terdapat debu."[3]
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Memobilisasi Semangat Pasukan Untuk Bertempur
Meskipun Allah swt. telah menjamin kemenangan bagi dirinya, namun Rasulullah saw. tidak tinggal diam menunggu pertolongan dari langit. Karena beliau benar-benar sadar bahwa kemenangan tidak akan datang kecuali dengan mengikuti semua perintah dan ketentuan Allah swt., persiapan yang matang dan kejujuran hati. Karena sesungguhnya Allah swt. tidak akan mengubah apa yang sedang menimpa sebuah kaum hingga mereka berupaya untuk mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Oleh karenanya, harus ada satu upaya keras dan pengorbanan yang berlipat hingga kaum muslimin memang benar-benar berhak mendapatkan pertolongan dan kemenangan tersebut.
Untuk itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun turun ke tengah-tengah barisan pasukan dan memberikan khutbah (orasi) militer sebelum peperangan dimulai, untuk menumbuhkan optimisme dan menguatkan hati mereka.
"Demi zat yang jiwaku berada di antara kedua tangan-Nya. Tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian ia terbunuh dengan penuh kesabaran dan mengharap keridhaan dari Allah, maju dan tidak lari dari peperangan, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Bangkitlah kalian menuju surga yang luasnya seluas lapisan langit dan bumi!" ‘Umair bin Himam Al-Anshari berkata, "Wahai Rasulullah, surga yang luasnya seluas lapisan langit dan bumi?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya." ‘Umair menimpali, "Bakh... bakh... (aku ridho... aku ridho)." Rasulullah saw. berkata, "Mengapa engkau mengatakan bakh?" ‘Umair menjawab, "Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku hanya berharap agar aku akan menjadi penghuninya." Rasulullah saw. menjawab, "Engkau akan menjadi penghuninya."[4] Kemudian ‘Umair mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempat anak panahnya yang terbuat dari kulit. Ia pun mulai memakannya satu persatu, lalu berkata, "Seandainya aku masih hidup hingga aku memakan seluruh kurma ini, tentu itu adalah kehidupan yang sangat panjang sekali." Kemudian ia pun melemparkan kurma-kurma yang ada di tangannya dan berkata,
Berpacu menuju Allah tanpa perbekalan
Kecuali takwa dan amal untuk hari akhir
Serta bersabar di dalam jihad karena Allah
Semua perbekalan pasti akan habis, kecuali takwa, kebaikan, dan keteguhan.
Peperangan
Faktor-faktor turunnya kemenangan bagi kaum muslimin pun semakin matang dan sempurna, baik itu persiapan strategis, rohani, maupun militer. Sementara orang-orang musyrikin tidak mengetahui akan hal tersebut. Mereka pun tidak tahu taktik berperang kaum muslimin yang baru. Sementara orang-orang musyrikin masih menggunakan cara konvensional di dalam berperang, yaitu strategi "hit and run" menyerang dan kemudian mundur ke belakang, menyerang ketika dalam kondisi kuat, dan mundur ke belakang ketika kondisi mereka sudah mulai lemah. Mereka berperang tanpa ada pengaturan strategi yang baik. Semuanya berdasarkan atas fanatisme, kebencian, dan serba semerawut. Sementara itu, kaum muslimin tetap diam sambil menembaki mereka dengan anak panah. Mereka tidak melakukan penyerangan, menunggu perintah dari Rasulullah saw. Sehingga banyak pasukan musyrikin yang tewas berjatuhan terkena anak panah kaum muslimin. Hal ini pulalah yang membuat semangat mereka semakin lemah dipenuhi rasa takut. Ketika itulah Rasulullah saw. turun di tengah-tengah pasukannya untuk melihat persiapan terakhir mereka sebelum melakukan penyerangan, sekaligus untuk memimpin sendiri peperangan tersebut. Kemudian beliau memerintahkan pasukannya untuk bergerak maju menghadapi pasukan Quraisy. Mulailah hunusan pedang umat Islam menebas satu persatu kepala orang-orang kafir yang selama ini melakukan pembangkangan penuh kesombongan.
Umat Islam benar-benar menunjukkan satu keberanian yang sangat luar biasa. Dan ketika peperangan semakin memuncak hebat, Rasulullah saw. justru maju ke depan barisan. ‘Ali bin Abi Thalib berkata, "Jika keadaan semakin genting dan pandangan mata memerah, maka kami pun berlindung di dekat Rasulullah saw. Tak seorang pun yang berani lebih dekat dengan musuh selain dirinya. Aku melihat sendiri ketika Perang Badar kami berlindung di dekat Rasulullah saw. dan ketika itu ia adalah orang yang paling dekat dengan musuh di antara kami."
Sikap Heroik di Medan Perang
Sikap heroik dan jiwa kepahlawanan di medan perang ternyata bukanlah monopoli sahabat-sahabat senior dan pemimpin pasukan semata. Namun hal tersebut ternyata juga menular kepada sahabat-sahabat yang masih belia yang memang belum memiliki pengalaman perang sebelumnya. Bahkan jiwa heroik mereka setara dengan keberanian pemimpin pasukan Quraisy, seorang yang benar-benar memiliki kedudukan yang tinggi di tengah komunitas masyarakat mereka. Sebagai contoh Abu Jahal, seorang yang sudah sangat kaya akan pengalaman berperang. Ialah sang pemimpin pasukan yang ketika Perang Badar berputar mengelilingi pasukannya sambil memprovokasi mereka, "Jangan pernah merasa lemah atas kematian ‘Utbah, Syaibah, dan Walid. Karena sesungguhnya mereka terlalu tergesa-gesa. Demi Latta dan ‘Uzza, kita tidak akan kembali sebelum berhasil mencerai-beraikan mereka di pegunungan. Aku tidak ingin melihat salah seorang kalian membunuh salah seorang dari mereka. Namun habisi mereka sekaligus sehingga kalian dapat mengajarkan kepada mereka arti buruknya perbuatan mereka yang telah meninggalkan kalian dan keengganan mereka untuk menyembah Latta dan ‘Uzza." Kemudian Abu Jahal membaca sebuah syair:
Tidak sebuah peperangan yang keras merasa dendam kepadaku
Mengorbankan dua tahun umurku masih dini
Untuk iniliha ibuku melahirkanku.
Kematian Abu Jahal
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkatan, "Ketika Perang Badar aku benar-benar berada di tengah barisan. Tiba-tiba saja dari sisi kanan dan kiriku muncul dua orang pemuda yang masih sangat belia sekali. Seakan-akan aku tidak yakin akan keberadaan mereka. Aku berharap seandainya saat itu aku berada di antara tulang-tulang rusuk mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku sambil berbisik, ‘Paman, tunjukkan kepadaku mana Abu Jahal.' Kukatakan kepadanya, ‘Anakku, apa yang akan kau perbuat dengannya?' Pemuda itu kembali berkata, ‘Aku mendengar bahwa ia telah mencela Rasulullah. Aku pun berjanji kepada Allah seandainya aku melihatnya niscaya aku akan membunuhnya atau aku yang akan mati di tangannya.' Aku pun tercengang kaget dibuatnya. Lalu yang lainnya langsung memelukku dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Seketika itu aku melihat Abu Jahal berjalan di tengah kerumunan orang. Aku berkata, ‘Tidakkah kalian lihat? Itulah orang yang kalian tanyakan tadi.' Mereka pun saling berlomba menghayunkan pedangnya hingga keduanya berhasil membunuh Abu Jahal."
Dalam salah satu riwayat, ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, "Aku akan merasa senang sekali seandainya aku berada di antara mereka berdua. Maka kutunjukkan kepada mereka yang mana Abu Jahal. Mereka pun meluncur layaknya dua ekor elang hingga mereka berhasil membunuhnya." Kedua pemuda belia itu adalah anak ‘Afraa. ‘Abdullah bin Mas'ud mendapati Abu Jahal dengan sisa-sisa nafas terakhirnya. Kemudian ia pun langsung membunuhnya. Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. pernah mengatakan, "Siapa yang pernah melihat apa yang telah dilakukan oleh Abu Jahal?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Saya, wahai Rasulullah." Ia pun bergegas pergi. Lalu ia menemukannya lemas di tangan kedua anak ‘Afra. Ibnu Mas'ud berkata, "Aku pun menarik jenggotnya. Dan kukatakan, ‘engkau Abu Jahal!" Ia menimpali, "Apakah di atas Abu Jahal ada laki-laki lain yang telah kalian bunuh?"[5] kemudian ia pun membunuhnya lalu memberitahukannya kepada Rasulullah saw.
Tewasnya Pemuka Quraisy
Peperangan Badar pun ternyata menyisakan kepahitan bagi para pemuka dan pembesar Quraisy seperti ‘Utbah, (saudaranya) Syaibah, dan (anaknya) Walid. Demikian pula bagi Abu Jahal, Jam'ah bin Al-Aswad, Nabih dan Munabbih, Umayyah bin Khalaf serta Abu Al-Buhturi.
Terbunuhnya Umayyah bin Khalaf
Umayyah bin Khalaf merupakan salah seorang pemuka Quraisy di Kota Makkah yang pernah menyiksa Bilal dan orang-orang mukmin yang tinggal di sana. Peperangan Badar benar-benar telah membuatnya kehilangan akal dan pikiran. Sampai-sampai ia berteriak-teriak meminta pertolongan agar menyelematkan dirinya dari tengah peperangan tersebut.
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, "Aku berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Ia berdiri bersama anaknya dengan penuh kebingungan. Waktu itu aku membawa beberapa buah baju besi yang telah menjadi harta rampasan perangku. Ketika ia melihatku, ia pun memanggilku.
"Wahai hamba Tuhan!"
"Ya," jawabku.
"Apakah engkau akan menjadikan kami berdua sebagai tawanan perang? Diriku lebih baik dari baju-baju besi yang ada ditanganmu itu. Barangsiapa yang menawanku, maka niscaya aku akan menebusnya dengan unta yang banyak susunya."
‘Abdurrahman berkata, "Kulemparkan baju besi itu dan kuraih tangan mereka berdua. Sementara itu ia berkata, ‘aku tidak pernah melihat situasi seperti hari ini sebelumnya.‘ Kemudian ia berkata lagi, "Wahai ‘Abdullah, siapakah orang yang dikenal dengan bulu yang lembut di dadanya?‘" ‘Abdurrahman berkata, "Kukatakan kepadanya, ‘Hamzah bin Abi Muththalib." Lalu ia berkata, "Itulah orang yang telah melakukan ini dan itu kepada kami." ‘Abdurrahman berkata, "Demi Allah, aku akan benar-benar membalas mereka berdua jika Bilal melihatnya bersamaku. Dialah yang dulu menyiksa Bilal di Makkah karena ego jahiliah terhadap Islam. Ketika Bilal melihatnya, ia pun berkata, "Pentolan orang kafir Umayyah bin Khalaf. Aku tidak akan selamat jika ia selamat!" ‘Abdurrahman berkata, "Kukatakan, ‘wahai Bilal, ia adalah tawananku." Bilal kembali berkata, "Aku tidak selamat jika orang itu masih juga selamat." Kemudian dengan nada lantang ia berteriak, "Wahai orang-orang Anshar, pentolan orang kafir adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika orang itu masih juga selamat." Orang-orang pun berkumpul mengelilingi kami. Lalu aku ikut bersama mereka. Salah seorang mengayunkan pedangnya ke kakinya hingga ia terjatuh. Umayyah berteriak histeris, sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya. ‘Abdurrahman berkata, "Kukatakan kepada Umayyah, "Selamatkanlah dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi keselamatan bagi dirimu! Demi Allah, aku tidak akan menolongmu sedikitpun." Ia berkata, "Orang-orang pun berkumpul dan menghajarnya dengan pedang-pedang mereka sampai mereka membereskan keduanya."
‘Adurrahman berkata, "Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa merahmati Bilal, ia telah menyakitiku dengan baju besi dan tawananku!!!" Demikianlah, barangsiapa yang berselisih dengan Allah, maka ia pun akan kalah. Dan barangsiapa yang menantang Allah Subhanahu wa Ta'ala. dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadi orang-orang yang begitu terhina. Dan barangsiapa yang bersikap semena-mena terhadap hamba-Nya, maka niscaya Ia akan membalasnya dengan balasan yang setimpal. Ia jadikan dirinya sendiri sebagai pelajaran dan tanda kekuasaan-Nya. Dan azab akhirat itu benar-benar lebih menyakitkan dan lebih dahsyat.
"Dan Allah Maha Menguasai urusan-Nya, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya."[6]

--Selama Perang Badar berlangsung terjadi satu pergolakan antara ikatan emosional dengan akidah yang perjuangkan selama ini. Tidak sedikit kaum muslimin (demikian pula Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam.) yang harus mendapati keluarga mereka berada di tengah barisan kaum musyrikin. Seseorang mungkin akan menemukan saudara, orang tua, paman, atau bahkan menantunya. Antara akidah dan perasaan pun saling berhadap-hadapan. Namun perasaan dan ikatan emosional harus lebur dan tunduk di hadapan akidah dan keyakinan yang sudah tertanam begitu kuat. Demikianlah karakter seorang mukmin adalah senantiasa komitmen dengan aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai wali jika ternyata mereka lebih mencintai kekafiran daripada keimanan. Dan barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai walinya maka mereka itulah orang-orang yang zalim."[1]
Sebagai contoh Abu Hudzaifah bin ‘Utbah yang berada di barisan kaum muslimin sementara orang tuanya ‘Utbah bin Rabi'ah berada di pihak orang musyrik. Abu Hudzaifah mengajak ayahnya untuk memenuhi seruan kebenaran. Namun sang ayah yang sudah begitu jauh terjebak di dalam kejahiliyahan tetap kukuh di dalam kesesatan sampai akhirnya kesesatan tersebut mengantarkannya kepada ujung kehidupan yang sangat buruk sekali. Ia tewas di tangan kaum muslimin di tengah peperangan. Setelah kemenangan menjadi milik kaum muslimin, Rasulullah  pun memerintahkan sahabatnya untuk memasukkan orang-orang musyrikin yang telah tewas ke dalam kubangan besar.
Dan ketika tubuh ‘Utbah bin Rabi'ah diangkat, beliau pun memandang ke arah Hudzaifah bin ‘Utbah. Beliau tampak berubah. Ia berkata kepadanya, "Wahai Hudzaifah, mungkin di dalam hatimu terdapat sesuatu tentang apa yang telah menimpa orang tuamu?" Hudzaifah menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah. Aku tidak ada keraguan sedikitpun pada diriku tentang ayahku dan kematiannya. Namun aku tahu benar kelembutan, pandangan, dan kelebihannya. Aku begitu berharap seandainya saja Allah memberikan hidayah kepadanya. Dan ketika aku melihat apa yang telah menimpa dirinya, aku pun teringat bagaimana ia mati dalam keadaan kafir setelah aku berharap sebaliknya, hal itulah membuatku sedih." Maka Rasulullah saw. pun mendoakan dan menghiburnya dengan kata-katanya.
Bersama Para Tawanan
Pada peperangan ini, kaum muslimin berhasil membunuh 70 orang dari kalangan orang-orang musyrikin dan menahan sekitar 70 orang. Rasulullah saw. memerintahkan untuk membunuh 2 orang tawanan karena permusuhan dan kebencian mereka yang sudah di luar batas, selain mereka berdua adalah orang yang paling banyak melakukan kelaliman. Status keduanya lebih sebagai penjahat perang, bukan lagi sebagai tawanan perang. Karena selama ini mereka begitu berambisi untuk berbuat makar kepada umat Islam dan menyiksa orang-orang yang lemah dari kalangan mereka. Keduanya terkenal begitu menantang Allah swt. dan Rasul-Nya. Sehingga jumlah tawanan tersisa 68 orang.
Rasulullah saw. meminta pendapat para sahabatnya seputar apa yang akan mereka perbuat terhadap tawanan perang tersebut. ‘Umar bin Khaththab berkata, "Wahai Rasulullah, mereka telah mendustakan, memerangi, dan mengusirmu. Menurutku sebaiknya kau izinkan aku untuk menebas leher fulan (yaitu kerabatnya sendiri). Dan kau izinkan Hamzah untuk membunuh ‘Abbas, dan ‘Ali membunuh ‘Uqail. Begitulah agar orang tahu bahwa tidak ada kecintaan sedikitpun di dalam hati kami terhadap orang-orang yang musyrik. Aku melihat bahwa engkau tidak perlu menjadikan mereka sebagai tawanan. Tebaslah semua leher mereka. Prajurit, para pemimpin, dan pemuka mereka." Usulan ini disetujui oleh Sa'd bin Mu'adz dan ‘Abdullah bin Rawahah.
Sementara Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah, mereka itu adalah kaum dan keluargamu juga. Allah swt. telah menganugerahkan kemenangan kepadamu. Menurutku sebaiknya engkau biarkan saja mereka sebagai tawanan dan kau minta dari mereka tebusan. Sehingga tebusan tersebut dapat menjadi sumber kekuatan kita untuk menghadapi orang-orang kafir. Dan semoga Allah swt. memberikan petunjuk-Nya kepada mereka melalui dirimu sehingga mereka pun akan menjadi pembelamu."
Akhirnya Rasulullah saw. mengambil pendapat Abu Bakar. Beliau pun membagi-bagikan sisa tawanan (68 orang) kepada sahabat-sahabatnya sambil berpesan, "Perlakukanlah para tawanan itu dengan baik" kemudian beliau menerima tebusan dari para tawanan tersebut. Orang kaya akan membayar satu orang tawanan sebesar sekitar 1.000 hingga 4.000 dirham. Sementara orang-orang miskin, sebagian mereka dibebaskan begitu saja tanpa dimintai tebusan. Beliau pun menuntut dari para tawanan yang memiliki ilmu untuk mengajarkan kepada anak-anak kaum muslimin membaca dan menulis sebagai tebusan bagi diri mereka.
Keutamaan Ukhuwah Imaniah
Abu ‘Aziz bin ‘Umair bin Hasyim, saudara Mush'ab bin ‘Umair, menjadi tawanan Abu Yusr Al-Anshari. Suatu hari Abu ‘Aziz lewat dan bertemu dengan saudaranya Mush'ab. Mush'ab pun berkata kepada Abu Yusr, "Tahanlah tanganmu dari tawananmu, karena ibunya adalah seorang yang kaya. Ia akan menebusnya untukmu dengan harta yang banyak. Abu ‘Aziz, saudaranya berkata, "Wahai saudaraku, ini adalah perlakuanmu kepadaku?" Mush'ab berkata kepadanya, "Sesungguhnya ia (Abu Yusr) adalah saudaraku selain dirimu."
Dan ketika tebusannya diminta, ibunya bertanya berapa tebusan terbesar yang diberikan untuk membebaskan orang Quraisy. Maka dikatakan kepadanya 4.000 dirham. Wanita itu pun mengirim 4.000 dirham dan menebus anaknya. Demikianlah bagaimana ukhuwah imaniah ternyata lebih berharga dari sekedar jalinan persaudaraan yang dibangun atas dasar pertalian darah dan keturunan. Karena ukhuwah imaniah adalah persaudaraan yang dibangun di atas kebenaran dan di jalan Allah swt.
Menantu Rasulullah Menjadi Tawanan Perang
Abu ‘Ash bin Rabi' bin ‘Abdul ‘Uzza tertawan ketika Perang Badar. Ia adalah menantu Rasulullah saw., suami dari putri beliau, Zainab. Abu ‘Ash merupakan orang Makkah yang cukup diperhitungkan dari segi harga, kejujuran, dan perdagangannya. Ibunya adalah Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah binti Khuwailid. Khadijahlah yang dulu meminta kepada Rasulullah saw. agar menikahkan lelaki itu kepada putri beliau, Zainab. Khadijah sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Dan karena pertimbangan itulah Rasulullah saw. tidak menolak permintaan istrinya tersebut. Hal ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi seorang nabi.
Namun ketika wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah saw. dan orang-orang Quraisy pun mulia memusuhinya, Abu Lahab berkata, "Buatlah Muhammad sibuk dengan dirinya sendiri, dan ceraikanlah putri-putrinya dari suami-suami mereka." Ia pun memerintahkan putranya, ‘Utbah hingga akhirnya ia menceraikan putri Rasulullah saw. Ia juga mendatangi Abu ‘Ash bin Rabi'dan memintanya untuk menceraikan Zainab. "Ceraikanlah istrimu, setalah itu kami akan menikahkanmu dengan perempuan Quraisy mana saja yang kau inginkan." Abu ‘Ash menjawab, "Tidak, demi tuhan, aku tidak akan menceraikannya. "Aku tidak ingin wanita Quraisy menggantikan istriku."
Rasulullah saw. memuji sikapnya kala itu. Dan ketika penduduk Makkah membawa tebusan bagi tawanan perang, Zainab pun membawa harta untuk menebus suaminya, Abu ‘Ash. Ia membawa sebuah kalung yang dihadiahkan oleh ibunya, Khadijah, ketika ia menikah dengan Abu ‘Ash. Ketika Rasulullah saw. melihatnya, hatinya pun langsung terenyuh dalam. Beliau berkata, "Jika kalian bersedia untuk membebaskannya dan mengembalikan barang miliknya, maka lakukanlah." Sahabat menjawab, "Baiklah, wahai Rasulullah." Mereka pun membebaskan Abu ‘Ash dan mengembalikan kalung milik Zainab. Hal ini beliau lakukan karena Abu ‘Ash membiarkan Zainab turut berhijrah ke kota Madinah. Rasulullah saw. sendiri telah membebaskan beberapa orang tawanan perang tanpa ada tebusan ataupun bayaran sedikitpun, mengingat kondisi mereka yang menuntut untuk hal tersebut.
Hasil Perang Badar
Perang Badar (dengan seluruh hasil yang ia torehkan bagi sejarah harakah Islamiah maupun sejarah umat manusia seluruhnya) telah menjadi sebuah pelajaran yang sangat jelas sekali bagi harakah Islamiah maupun bagi perjalanan sejarah ke depan. Allah swt. menyebut hari itu dengan nama "yaumul furqan yaum iltaqa al-jam'an" atau hari pembeda, hari dimana dua kekuatan bertemu. Peperangan ini sendiri memberikan beberapa buah hasil penting antara lain:
1. Perang Badar merupakan pembatas di antara dua ikatan dan menjadi pembeda antara yang haq dan yang bathil. Kekuatan umat Islam semakin kuat sehingga dataran Arab pun turut memperhitungkannya. Kebenaran muncul di permukaan dengan rambu-rambu akidah dan prinsip-prinsip dasar yang dibawanya.
2. Tergoncangnya kedudukan Quraisy di mata orang Arab serta kegalauan penduduk Makkah di hadapan tamparan yang tak diduga tersebut.
3. Tampilnya umat Islam sebagai sebuah kekuatan yang memiliki arti dan pengaruh. Hal ini menyebabkan banyak kabilah yang tinggal di sepanjang jalur Makkah dan Syam membuat perjanjian kesepakatan dengan mereka. Dengan demikian kaum muslimin sudah berhasil menguasai jalur tersebut.
4. Sebelum Perang Badar meletus, kaum muslimin mengkhawatirkan keberadaan orang-orang non muslim yang tinggal di kota Madinah. Namun setelah mereka kembali ternyata kenyataannya justru sebaliknya.
5. Semakin bertambahnya kebencian orang-orang Yahudi terhadap umat Islam. Sebagian mereka mulai menunjukkan permusuhannya secara terang-terangan. Sementara yang lainnya menjadi agen yang membawa berita seputar perihal kaum muslimin kepada orang-orang Quraisy serta memprovokasi mereka untuk menyerang umat Islam.
6. Aktivitas perdagangan Quraisy menjadi semakin sempit. Akhirnya mereka terpaksa menapaki jalur Irak melalui Najd karena takut apabila dikuasai oleh orang-orang islam. Dan jalur ini merupakan jalur yang panjang.
7. Pada Perang Badar, 14 orang dari kalangan umat Islam gugur sebagai syuhada; 6 orang dari kalangan Muhajirin dan 8 orang dari kalangan Anshar. Sementara dari pihak orang musyrikin tewas sebanyak 70 orang dan 70 orang lagi berhasil ditawan. Kebanyakan dari mereka adalah pemuka dan pembesar Quraisy.
Pelajarang Dari Perang Badar
Mereka yang mempelajari peristiwa Perang Badar dan merenungi kejadian demi kejadian dengan seksama, maka niscaya akan banyak sekali pelajaran yang dapat ia ambil. Antara lain:
1. Janji Allah swt. bagi orang-orang yang beriman dan berusaha dengan penuh kesungguhan berupa kemenangan pasti akan ditepati. Apa yang Ia inginkan pasti terjadi dan tidak satu pun yang dapat menolaknya.
2. Sesungguhnya Allah swt. tidak akan menegakkan yang hak dan meruntuhkan kebatilan kecuali melalui tangan orang-orang yang senantiasa sabar dan berjihad.
3. Kebersamaan, kesatuan garis komando (kepemimpinan), persatuan merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada kemenangan dan keberhasilan.
4. Strategi perang yang baru serta persiapan yang matang merupakan salah satu faktor kemenangan di dalam peperangan. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. pada Perang Badar. Beliau memerangi kaum musyrikin dengan strategi baru dan pengalaman dari kaum muslimin.
5. Kekokohan akidah mampu memberikan satu perasaan tsiqah yang sangat kuat, meningkatkan semangat, dan mendidik prajurit sejati. Allah swt. berfirman, "Berapa banyak kelompok dengan jumlah sedikit mampu mengalahkan kelompok dengan jumlah yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah benar- benar bersama orang-orang yang bersabar."[2]
________________________________________
[1] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Hal 145
[2] . Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq. Lihat kembali Sirah Ibnu Hisyam, 1/606
[3] . Ar-Raudh al Anf ; 2/32-38
[4] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam / 150
[5] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam / 156
[6] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam / 156
Perang Badar Kubra (bagian 2)
Sirah Nabawiyah
15/9/2008 | 14 Ramadhan 1429 H | Hits: 2,897
Oleh: Tim dakwatuna.com
________________________________________
________________________________________
[1] . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[2] . Surah Al Anfal9-10
[3] . Sirah Nabawiah, Ibnu Hisyam 1/627
[4] . Diriwayatkan oleh Imam Muslim 2/139
[5] . Ar-Rahiq Al Makhtum, hal 245
[6] . Yusuf 21
Perang Badar Kubra (bagian 4)
Sirah Nabawiyah
29/9/2008 | 28 Ramadhan 1429 H | Hits: 2,903
Oleh: Tim dakwatuna.com
________________________________________
________________________________________
[1] . At Taubah 23.
[2] . Al Baqarah 249
Read More --►

Kemusyrikan dan Ziarah Kubur


ziarah-kubur
Menziarahi kubur orang Islam itu disyari'atkan bahkan disunnahkan. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasalam menziarahi kuburan di Baqi' (kuburan kaum muslimin di Madinah), dan demikian pula kuburan para syuhada' perang Uhud. Nabi shallallahu 'alaihi wasalam berkata:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَلاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.
artinya:"Semoga keselamatan (dilimpakan) atas kalian wahai penghuni kubur dari orang-orang Mukmin dan Muslim, sedangkan kami insya Allah akan menyusul kalian, kami mohon kepada Allah (semoga) untuk kami dan kalian (diberi) afiat. " (Hadits dikeluarkan oleh Muslim 975 dari Buraidah).
Pada mulanya dulu Nabi shallallahu 'alaihi wasalam melarang ziarah kubur, kemudian beliau membolehkannya dengan sabdanya:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمِ الآخِرَةَ
artinya: "Dahulu saya telah melarang kalian ziarah kubur, maka (kini) ziarahlah kalian padanya karena sesungguhnya itu mengingatkan akherat." (HR Muslim 977, At-Tirmidzi 1054, At-Thayalisi 807, Ibnu Hibban 3168, Al-Hakim 12/375, Abu Daud 3235, dan Ahmad 5/359).
Dan dalam riwayat yang lain:
« كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ ».
artinya:" Dahulu saya telah melarang kalian ziarah kubur, maka (kini) ziarahlah kalian ke kubur-kubur karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu menzuhudkan (menjauhkan diri dari kecintaan) terhadap dunia dan mengingatkan akhirat." (HR Ibnu Majah dalam sunannya, nomor 1571).
Hadits-hadits tentang ziarah kubur itu diriwayatkan dalam kitab Shahihain —Al-Bukhari dan Muslim—, Sunan At-Tirmidzi dan lainnya. Kese-luruhan hadits-hadits tersebut ada di kitab Misykatul Mashabih 1/154.
Ziarah kubur itu ada dua macam: Syar'iyah (di-syari'atkan) dan syirkiyah (termasuk kemusyrikan).
Ziarah kubur yang Syar'iyah
Ziarah kubur yang disyari'atkan dalam Islam adalah berziarah ke kubur Muslimin, dan mengucapkan salam atas mereka, mendo'akan untuk mereka agar diberi ampunan dan maghfirah, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits. Dan hendaklah kamu mengambil pelajaran (i'tibar) dengan keadaan mereka dahulunya bahwa mereka dulu begini dan begitu, mereka adalah nabi -nabi, wali-wali, orang-orang shalih, raja-raja, umara' (pemimpin pemerintahan) dan orang-orang kaya. Mereka telah mati, telah dipendam, telah menjadi tanah, dan mereka telah menjumpai apa yang telah mereka perbuat baik berupa kebaikan atau keburukan.
Jadi, ziarah kubur itu tidak untuk mengambil pelajaran dan menebalkan sikap meterialistis yang mementingkan kehidupan dunia ini. Karena kehidupan di dunia ini adalah tipuan dan tidak kekal, sedangkan kita semua akan mati dan akan dikubur. Maka sebaiknya kita tidak tertipu oleh gebyar dan kesenangan dunia. Inilah hakikat ziarah kubur yang syar'i itu.
Ziarah kubur yang syirkiyah
Adapun ziarah kubur yang syirkiyah atau menyekutukan Allah dan sangat dilarang dalam Islam adalah apabila peziarah menciumi kuburan, atau sujud di atasnya, atau mengusap-usapnya, atau memanggil-manggil penghuninya, atau minta pertolongan padanya (istighatsah dengan kubur), atau minta keselamatan (istinjad) padanya, atau bernadzar (misalnya kalau sukses usahanya maka akan mengadakan penyembelihan) untuk kubur, atau menyangka/ meyakini bahwa (mayit) yang dikubur itu bisa memberi manfaat atau mudharat padanya.
Ziarah kubur yang model ini adalah bertentangan dengan hikmah disyari'atkannya ziarah kubur itu sendiri. Bahkan itu adalah kenyataan yang dulunya diperbuat oleh ahli jahiliyah. Oleh karena itu dulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang ziarah kubur.
Menjauhi syirik itu mutlak
Allah memerintahkan semua manusia agar memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah, sedang Dia menciptakan seluruh manusia hanyalah untuk beribadah kepadaNya dengan ikhlas. Sebagaimana Allah firmankan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ [الذاريات/56]
artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat/ 51:56).
Ketahuilah bahwa ibadah itu tidak sah kecuali bersama tauhid (mengesakan Allah Ta'ala). Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali beserta thaharah (suci) dan wudhu'. Maka apabila kemusyrikan masuk ke dalam ibadah pasti rusaklah ibadah itu, seperti halnya hadats apabila masuk ke dalam wudhu' maka rusaklah wudhu'nya.
Syirik itu jika mencampuri ibadah maka merusak ibadah , dan menghapus pahala ketaatan, hingga pelakunya termasuk penghuni neraka yang kekal di dalamnya.
Ketahuilah bahwa di antara hal-hal penting yang wajib diketahui adalah: mengetahui syirik. Siapa yang tidak tahu syirik boleh jadi dia terjatuh di dalam kemusyrikan, sedangkan dia tidak tahu! Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ [النساء/48]
artinya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendakiNya." (QS An-Nisaa': 48, 116).
Dalam ayat tersebut Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia tidak mengampuni hamba yang mati dalam keadaan musyrik. Dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi hambaNya yang Ia kehendaki.
Ayat di atas menunjukkan bahwa syirik adalah sebesar-besar dosa. Karena Allah menjelaskan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik bagi orang yang belum bertobat (sebelum kematiannya). Sedangkan dosa selain syirik maka ada di bawah kehendak Allah, jika Dia berkehendak, maka Dia akan mengampuni, dan jika Dia berkehendak, Dia akan menyiksanya karena dosanya itu. Dengan demikian wajib bagi setiap hamba untuk takut pada kemusyrikan yang merupakan dosa terbesar itu.
Wajib sama sekali atas setiap Muslim mengetahui dan menghindari syirik itu. Untuk mengetahuinya di antaranya hendaklah dibaca risalah Al-Ushuuluts Tsalaatsah (sudah diterjemahkan dengan penjelasannya, berjudul Penjelasan Kitab 3 Landasan Utama), dan Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad At-Tamimi (keduanya diterbitkan oleh Darul Haq).
Dalam buku itu disebutkan firman Allah,
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ [المائدة/72]
artinya: "Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan Allah maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya adalah neraka, dan tidak ada seorang pun penolong bagi orang-orang yang dhalim." (QS Al-Maidah: 72).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ « أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ » .
Dari Abdullah, ia berkata, aku bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dosa apa yang paling besar di sisi Allah? Nabi bersabda: "(Dosa terbesar) adalah engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah sedangkan Dia lah yang menciptakanmu." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjeaskan firman Allah
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
yang artinya: "Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukanNya dengan sesuatu pun." (An-Nisaa': 36).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar manusia beribadah kepadaNya serta melarang berbuat syirik. Dan ini mengandung pengertian bahwa penyembahan itu hanyalah milik Allah semata.
Barangsiapa tidak menyembah Allah maka dia kafir dan sombong.
Barangsiapa menyembah Allah tetapi juga menyembah selainNya, maka dia kafir dan musyrik.
Barangsiapa menyembah Allah saja, maka dia orang Muslim yang sesungguhnya.
Syirik ada dua macam: besar dan kecil.
Syirik besar yaitu menyekutukan Allah dengan selainNya yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Lebih jelasnya, syirik akbar (besar) yaitu menjadikan tandingan atau sekutu terhadap Allah dalam hal beribadah, berdoa, atau mengharapkan, atau takut, atau cinta, dalam memperlakukan tandingan itu seperti memperlakukannya kepada Allah. Atau memperlakukan tandingan itu dengan perlakuan jenis ibadah.
Itulah syirik yang Allah haramkan atas pelakunya untuk masuk surga, sedang tempatnya adalah neraka.
Syirik kecil adalah setiap pekerjaan: ucapan atau tindakan yang dinyatakan oleh syara' bahwa termasuk perbuatan syirik, namun tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Lebih jelasnya, syirik ashghar (kecil) adalah seluruh perkataan dan perbuatan yang menjadi perantara kepada syirik besar, seperti bersumpah dengan selain Allah, riya' , beramal tidak ikhlas karena Allah.
Riya' yaitu menampak-nampakkan (pamer) kebaikan agar dipuji orang.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengungkapkan kekhawatirannya terhadap sahabatnya akan adanya riya' pada mereka, karena riya' itu paling banyak dan disenangi oleh jiwa manusia dan paling mudah dilakukan.
Kalau sahabat yang imannya sangat tebal saja diperingatkan dengan kekhawatiran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan adanya syirik kecil (riya') itu pada mereka, maka umat Islam hendaknya lebih khawatir adanya syirik besar dan kecil karena lemahnya iman. Sedangkan berziarah kubur yang sampai memberlakukan kuburan sebagai jenis yang diibadahi dan dimintai tolong itu jelas satu jenis kemusyrikan. Maka apakah tidak pantas untuk dikhawatiri.
Syirik yang kecil (ashghar) pun sangat ditekankan untuk dihindari, apalagi syirik besar (akbar). Maka perbuatan yang menjurus kepada kemusyrikan wajib dihindari.
Demikian pula ziarah kubur yang menjurus kepada kemusyrikan, wajib pula dihindari. Ketegasan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang pernah melarang ziarah kubur itu kaitannya adalah dengan dosa yang paling besar yakni syirik. Selama seseorang belum bisa membersihkan dirinya dari kemusyrikan dalam hal ziarah kubur, maka larangan berziarah kubur tetap berlaku pada orang itu. Dan dia baru tidak dilarang bila memang sudah jelas ziarah kuburnya itu tanpa tercampuri kemusyrikan sedikitpun.
(Hartono).
Sumber:
* Ajwibah al masaail atstsamaan fis sunnah wal bid'ah walkufr wal iimaan, oleh Al-'allamah as-syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma'shumi.
* Penjelasan Kitab 3 Landasan Utama, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
* Kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad At Tamimi.
* Al-Jami' Al-Farid lil as-ilah wal ajwibah 'ala kitab at Tauhid, oleh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al Jarullah.
Read More --►

Persatuan adalah Rahmat, Perpecahan adalah Adzab


DISKUSI

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
"Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka." (QS Hud 11: 118-119)
Penjelasan mufradat ayat
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
"Dia menjadikan manusia umat yang satu."
Kata ﭖ (umat) disebutkan dan terulang dalam Al-Qur'an dengan makna yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut tidak terlepas dari salah satu makna berikut ini:
- Bermakna thaifah, yaitu jamaah (kelompok orang). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu." (QS An-Nahl 16:36)
- Bermakna imam (pemimpin yang dapat dijadikan teladan). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah, lagi hanif." (QS An-Nahl 16:120)
- Bermakna millah (agama, ajaran). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ
"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama." (QS Az-Zukhruf 43:23)
- Bermakna zaman (masa, waktu). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ
"Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya." (QS Yusuf 12:45)
Adapun kata umat yang disebutkan dalam pembahasan tafsir ayat kali ini, mengandung arti millah (agama, ajaran).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu (ketika menafsirkan ayat ini) menyebutkan beberapa pendapat tentang makna umat dalam ayat ini. Sa'id bin Jubair rahimahullahu mengatakan bahwa maknanya adalah semua menganut agama Islam.
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata: "Semuanya menjadi penganut agama yang satu, baik sebagai penganut kesesatan atau sebagai penganut kebenaran."
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu (lihat pada tafsir ayat ini) berkata: "Mereka semua jamaah yang satu, menganut millah dan agama yang satu (sama)." Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Qatadah, ia berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan mereka muslim semuanya."
Pendapat yang semisal juga dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam kitab tafsirnya
.وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
"Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat."
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata berselisih dalam ayat ini:
  1. Ada yang berpendapat maknanya adalah berbeda-beda dalam hal agama, keyakinan, kepercayaan, dan madzhab mereka. Sehingga manusia senantiasa berada di atas (menganut) agama yang berbeda-beda, dari mulai agama Yahudi, Nashrani, Majusi, dan musyrik. Pernyataan ini diucapkan oleh Mujahid dan Qatadah rahimahumallah.
  2. Maknanya adalah berbeda dalam hal rezeki. Sebagian mereka ada yang kaya, ada yang miskin, sebagian mereka merendahkan sebagian yang lain. Al-Alusi rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: "Ini pendapat yang gharib (asing)."
  3. Maknanya adalah sebagian menjadi pengikut kebenaran dan sebagian menjadi pengikut kebatilan. Sehingga para pengikut kebatilan senantiasa menyelisihi pengikut kebenaran.
  4. Maknanya, ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) senantiasa menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan yang menyimpang, sehingga mengantarkan mereka ke dalam neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya. Adapun kesesatan (kesalahan) ada pada pendapat orang lain
.إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Kecuali orang yang dirahmati oleh Rabbmu."
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: "Akan tetapi orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih."
Al-Hasan rahimahullahu: "Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala rahmati tidak akan berselisih."
Mujahid rahimahullahu berkata: "Mereka adalah ahlul haq (pengikut kebenaran)."
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: "Orang yang dirahmati dalam ayat ini adalah mereka yang menjadi pengikut para rasul, berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama yang telah diberitakan para rasul kepada mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu' Fatawa (4/25): "Mereka adalah pengikut para nabi, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah ahlul Qur'an dan ahlul hadits dari kalangan umat ini. Maka siapa pun yang menyelisihi mereka dalam sebuah perkara, luputlah darinya rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan kadar penyelisihannya terhadap perkara tersebut.
وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
"Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka."
Asyhab berkata: "Aku bertanya kepada Al-Imam Malik rahimahullahu tentang tafsir ayat ini, beliau menjawab: 'Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan mereka supaya ada kelompok yang masuk ke dalam jannah dan ada kelompok yang masuk ke dalam neraka'."
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: "Untuk ikhtilaf (berselisih)lah Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan mereka." Dalam riwayat lain, beliau berkata: "Untuk rahmat mereka diciptakan." Di sebagian riwayat lain beliau berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan mereka sebagian menjadi penduduk jannah, sebagian menjadi penduduk neraka. Sebagian ada yang celaka, sebagian ada yang bahagia."
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan mereka menjadi dua golongan. Hal itu seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
"Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia." (QS Hud 11:105)
Thawus rahimahullahu berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menciptakan mereka untuk berselisih, akan tetapi menciptakan mereka untuk bersatu dan rahmat."
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Untuk rahmatlah mereka itu diciptakan dan tidak untuk azab."Penjelasan makna ayat
Asy-Syaikh As-Sa'di rahimahullahu berkata: "Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwasanya kalau Ia menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia semuanya sebagai umat yang satu menganut agama Islam. Karena sesungguhnya kehendak-Nya tidak terbatas dan tidak ada suatu apapun yang menghalangi-Nya. Akan tetapi hikmah Allah menetapkan mereka senantiasa berselisih pendapat, menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan-jalan yang mengantarkan ke neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya, adapun kesesatan ada pada pendapat selainnya. "Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu" maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi petunjuk mereka kepada ilmu yang benar dan mengamalkannya serta memberi taufik di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Taufik-Nya senantiasa menyertai mereka. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang tertipu, menyandarkan urusannya kepada diri mereka masing-masing. "Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka," hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan bahwa mereka diciptakan agar ada dari sebagian mereka yang bahagia (selamat) dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala beri petunjuk dan ada pula golongan yang tersesat. Agar nampak jelas keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi pada tabiat manusia, berupa hal yang baik dan yang buruk. Juga untuk tegaknya jihad dan ibadah, yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan adanya sebuah ujian dan cobaan." (Taisir Al-Karimir Rahman, pada surat Hud 11:118-119)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: "Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa Ia mampu untuk menjadikan manusia semuanya menjadi umat yang satu, baik di atas keimanan ataupun di atas kekufuran. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا
"Dan jikalau Rabbmu menghendaki tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya." (QS Yunus 10:99)
Persatuan merupakan perkara yang prinsip dalam agama
Dalam Islam dikenal adanya perkara-perkara yang prinsip dan mendasar, yang sangat penting untuk diketahui bersama. Salah satu prinsip tersebut adalah persatuan (di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful ummah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu dalam risalahnya Al-Ushul As-Sittah (Enam Prinsip Agama) menyebutkan: "Adapun prinsip yang kedua adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan persatuan dalam agama dan melarang dari perpecahan." Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata dalam Silsilah Syarh Rasa'il (hal. 24-26): "Prinsip ini ada pada Al-Qur'anul Karim." Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat, di antaranya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS Ali 'Imran 3:103)
Kemudian beliau berkata: "Kaum muslimin tidak boleh bercerai-berai dalam agama mereka. Yang wajib adalah mereka menjadi umat yang satu di atas tauhid, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb kalian maka sembahlah Aku. (QS Al-Anbiya' 21:92)
Umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak boleh terpecah-belah dalam aqidah, ibadah, dan hukum agama mereka. Satu mengatakan halal, yang lain mengatakan haram tanpa disertai dalil. Yang demikian ini tidak diperbolehkan. Tidak diragukan bahwasanya perselisihan adalah bagian dari tabiat manusia, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu." (QS Hud 11:118-119)
Namun perselisihan hendaknya diselesaikan, yaitu diputuskan dengan mengembalikan perkaranya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga apabila terjadi perselisihan antara saya dengan anda, wajib atas kita semua untuk mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
"Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS An-Nisa' 4:59)
Adapun pernyataan bahwa masing-masing (berhak) mempertahankan madzhab (pendapat)nya, masing-masing (berhak) mempertahankan aqidahnya, manusia bebas dalam berpendapat, menuntut kebebasan dalam beraqidah, kebebasan dalam berucap; ini adalah kebatilan (tidak benar) dan termasuk perkara yang Allah Subhanahu wa Ta'ala larang, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS Ali 'Imran 3:103)
Persatuan adalah rahmat sekaligus karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala yang agung
Seperti yang tersebut dalam penjelasan di atas, persatuan umat adalah suatu perkara yang mulia, dan hal itu semata-mata rahmat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Sebagaimana yang tersebut dalam ayat:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu." (QS Hud 11:118-119)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: "Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih."
Termasuk karunia agung yang Allah Subhanahu wa Ta'ala anugerahkan kepada hamba-Nya adalah Allah menurunkan syariat kepada mereka dengan sebuah agama terbaik dan termulia, yang paling bersih dan paling suci, yaitu agama Islam. Agama tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi hamba-hamba pilihan-Nya dan yang bagus, bahkan yang paling bagus dan yang paling terpilih. Mereka adalah ulul azmi dari para rasul. Mereka adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dan paling sempurna dari segala sisi. Maka, agama yang Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan untuk mereka, mengharuskan adanya sisi keserasian dengan keadaan mereka. Sesuai dengan kesempurnaan mereka. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menyempurnakan dan memilih mereka, karena mereka menegakkan (menjalankan) agama itu. Kalau bukan agama Islam, tidaklah seorang pun terangkat derajatnya dari yang lain. Ia merupakan inti kebahagiaan, poros utama kesempurnaan.
Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menegakkan (melaksanakan) syariat-syariat agama, baik yang prinsip maupun yang cabang. Ditegakkan pada diri mereka masing-masing dan berupaya untuk ditegakkan pada yang lainnya. Saling menolong di atas kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran. Maka Allah perintahkan agar tidak berselisih di dalamnya, untuk meraih kata sepakat di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.
Oleh karena itu, berupayalah agar setiap permasalahan tidak menyebabkan berpecah-belahnya dan terkotak-kotaknya kalian. Masing-masing membanggakan kelompoknya. Sebagian memusuhi yang lain, meskipun di atas agama yang satu.
Di antara jenis persatuan di atas agama dan tidak mengandung perselisihan adalah apa yang diperintahkan syariat untuk bersatu pada perkumpulan yang bersifat umum. Seperti persatuan dalam pelaksanaan ibadah haji, pelaksanaan Iedul Fitri, Iedul Adha dan shalat Jum'at, shalat berjamaah lima waktu, jihad, dan ibadah-ibadah lainnya, yang tidak sempurna kecuali dengan persatuan dan menghindari perselisihan padanya. (Taisir Al-Karimir Rahman pada ayat 13 dari surat Asy-Syura)
Perpecahan adalah suatu kepastian
Salah satu ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tidak bisa diingkari yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan manusia dalam keadaan senantiasa berselisih pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat
:وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
"Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat." (QS Hud 11:118)
Hal ini juga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
"Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan." (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2778 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Hikmah dari ketetapan bahwa umat ini akan senantiasa berselisih, Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan dalam firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
"Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah akan menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlombalah berbuat kebajikan." (QS Al-Maidah 5:48)
Asy-Syaikh As-Sa'di rahimahullahu berkata pada tafsir surat Hud ayat 119: "Hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan bahwa mereka diciptakan (senantiasa berselisih) agar ada dari sebagian mereka yang bahagia dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala beri petunjuk dan ada golongan yang tersesat. Demikian pula agar nampak keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi dari tabiat manusia berupa hal yang baik dan yang buruk, serta tegaknya jihad dan ibadah yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan melewati sebuah ujian dan cobaan."
Perpecahan adalah azab
Sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan akan terjadinya perselisihan pada hamba-hamba-Nya. Namun hal ini bukanlah menjadi hujjah (alasan) untuk senantiasa bangga dan senang hidup di atas perselisihan. Karena pada ayat-ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan celaan terhadap perselisihan dan melarang menyerupai kaum musyrikin serta memerintahkan kepada persatuan.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
"Janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (QS Ar-Rum 30:31-32)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasa'il (hal. 27-28): "Perselisihan bukanlah rahmat. Perselisihan adalah azab."
Kemudian beliau menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih." (QS Ali 'Imran 3:105)
Maka perselisihan mengakibatkan tercerai-berainya hati dan terpecah-belahnya umat. Apabila telah terjadi perselisihan, tidak mungkin bagi manusia untuk tolong-menolong, bantu-membantu. Bahkan yang akan terjadi sesama mereka adalah permusuhan, fanatisme (ta'ashub) kepada golongan dan kelompoknya. Tidak akan pernah terjadi bentuk ta'awun. Karena ta'awun itu akan terjadi apabila mereka bersatu, berpegang teguh kepada tali (agama) Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini pulalah yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah meridhai atas kalian tiga perkara: beribadah hanya kepada-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, berpegang teguh semuanya kepada tali agama Allah dan tidak bercerai-berai, serta menaati orang yang Allah menguasakan padanya urusan kalian kepadanya." (HR. Muslim dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini, yang menjadi pembahasan kita adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: "berpegang teguhlah kepada tali agama Allah semuanya dan jangan bercerai-berai." Hadits ini bukanlah bermakna tidak akan dijumpai perselisihan dan perpecahan, karena tabiat manusia adalah adanya perselisihan. Namun maknanya adalah apabila terjadi perselisihan atau perbedaan, hendaknya diselesaikan dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga berakhirlah perseteruan dan perselisihan. Inilah yang benar.
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah." (QS Al-An'am 6:159)
Orang yang dirahmati dijauhkan dari perselisihan
Qatadah rahimahullahu berkata: "Orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah orang-orang yang bersatu, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka berjauhan atau berpisah. Adapun orang-orang yang durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah orang yang berselisih walaupun tempat tinggal dan badan mereka bersatu."
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: "Orang yang dirahmati (yakni yang terhindar dari perselisihan) adalah pengikut para rasul yang berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama-Nya, yaitu agama yang ajarannya telah diberitakan para rasul kepada mereka. Keteguhan ini terus senantiasa terjaga hingga datangnya Rasul dan Nabi yang terakhir (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam). Mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menolongnya, sehingga mereka menjadi orang yang beruntung dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu karena mereka adalah kelompok yang selamat (Al-Firqatun Najiyah), seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Musnad dan Sunan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan." Para sahabat bertanya: "Siapa mereka, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Siapapun yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku ada padanya." (HR. Abu Dawud no. 3980, At-Tirmidzi no. 2778)
Hakikat persatuan dan solusi dari perpecahan
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasail (hal. 26-27): "Sesungguhnya Allah Jalla wa 'Ala tidaklah membiarkan hamba-Nya berselisih dan berbeda pendapat tanpa meletakkan kepada kita timbangan dan solusi guna memperjelas kebenaran dari suatu kesalahan. Bahkan Al-Qur'an dan Sunnah menjelaskan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
"Kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)." (QS An-Nisa 4:59)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, jika kalian berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku." (HR. Malik)
Seolah-olah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu ada di antara kita, dengan adanya Sunnah (hadits) yang jelas dan terjaga keshahihannya. Ini merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta'ala atas umat ini, di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan mereka dalam kebingungan. Namun beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan mereka dalam keadaan di sisi mereka ada sesuatu yang membimbing mereka di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kebenaran.
Adapun orang yang tidak menghendaki kebenaran dan ingin agar masing-masing dibiarkan pada madzhab, kepercayaan, dan keyakinannya, berkata: "Kita bersatu dalam perkara yang kita sepakat padanya dan kita saling memberikan toleransi atas sebagian yang lain dalam hal yang kita berselisih padanya." Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah ucapan yang batil dan keliru. Yang wajib adalah bersatu di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak boleh sebagian kita memberikan udzur atas sebagian yang lain dalam keadaan tinggal di atas perselisihan. Yang wajib adalah mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang sesuai dengan kebenaran, kita ambil. Sedangkan yang salah harus kembali kepada kebenaran. Inilah yang wajib atas kita semua. Jangan biarkan umat dalam keadaan berselisih.
Mungkin mereka, para penyeru persatuan yang semu ini dan yang membiarkan umat dalam kondisi berselisih, berhujjah dengan hadits:
اخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
"Perselisihan yang terjadi pada umatku adalah rahmat."
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan, tetapi tidak shahih1.
Kemudian Al-Qur'an dan As-Sunnah bukanlah sebagai penengah atau pemutus perkara sebatas pada perselisihan yang terjadi dalam hal harta manusia, dan menjadi penegak hukum bagi mereka dalam harta serta perselisihan mereka dalam hal yang sifatnya dunawi semata. Bahkan keduanya adalah penegak hukum di antara mereka dalam setiap perselisihan dan pertentangan. Pertentangan dalam urusan aqidah lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam perkara harta. Pertentangan dalam urusan ibadah, urusan halal dan haram lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam urusan harta. Urusan pertentangan dalam masalah harta hanyalah bagian atau sebagian kecil dari perselisihan yang putusannya wajib berdasarkan Kitabullah.
Pada masa dahulu, terjadi perselisihan di antara para sahabat. Akan tetapi begitu cepatnya mereka itu menyelesaikan dan mencari solusinya, dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga berakhirlah perselisihan mereka.
Terjadi perselisihan di antara mereka setelah meninggalnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seputar masalah siapa yang pantas menjadi Khalifah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun betapa cepatnya mereka memutuskan perselisihan dan mengembalikan serta memercayakan urusan tersebut kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu. Mereka pun menerima dan menaati Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dan sirnalah perselisihan.
Sesungguhnya, kembali kepada Kitabullah akan menghilangkan sifat dendam dan dengki, maka tidak boleh seorang pun menyanggah Kitabullah. Karena jika Anda mengatakan kepada seseorang: "Mari kita berpegang kepada pendapat Imam Fulan atau 'Alim Fulan," tentunya dia tidak akan merasa puas. Akan tetapi kalau Anda katakan kepadanya: "Mari kita kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya," jika dalam dirinya ada keimanan ia akan merasa puas dan rujuk dari kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum dan mengadili di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An-Nur 24:51)
Inilah jawaban orang-orang mukmin (jika diseru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya). Adapun orang-orang munafik, apabila kebenaran bermanfaat dan membenarkan apa yang pada mereka, mereka akan datang dan mendengarkan dengan saksama. Akan tetapi jika kebenaran menyalahi mereka, mereka akan berpaling dan menentang, sebagaimana yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan tentang keadaan mereka.
Sehingga tidak ada celah bagi kaum mukminin untuk tetap mempertahankan dan tinggal pada perselisihan, tidak dalam perkara ushul (pokok) dan tidak pula dalam perkara furu' (cabang). Jika terjadi perselisihan hendaknya semuanya diputuskan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian apabila tidak nampak jelas dalil bersama salah satu ulama yang berijtihad, dan masalah menjadi seimbang, tidak ada yang dikuatkan atau tidak menguatkan pendapat salah seorang pun atas yang lain, maka pada kondisi seperti ini seseorang tidak boleh mengingkari pendapat imam tertentu. Dari sinilah ulama berkata:
"Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah ijtihad," yaitu masalah yang tidak nampak jelas kebenarannya bersama salah satu dari kedua belah pihak.Faidah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, pada pasal yang menjelaskan macam-macam perselisihan: "Adapun jenis perselisihan pada asalnya dibagi dua; ikhtilaf tanawwu' (perbedaan keberagaman) dan ikhtilaf tadhad (perbedaan yang saling bertolak belakang).
Ikhtilaf tanawwu', ada beberapa bentuk, di antaranya:
  1. Keadaan di mana masing-masing pihak membawa kebenaran yang disyariatkan. Seperti perselisihan dalam qiraat (Al-Qur'an) yang terjadi di kalangan para sahabat. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan dengan keras tentang perselisihan ini, namun beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Kedua-duanya bagus."
  2. Keadaan di mana masing-masing pendapat pada kenyataannya sama secara makna, akan tetapi ungkapan yang dipakai atau digunakan berbeda.
  3. Apabila terjadi perbedaan dan masing-masing menggunakan ungkapan yang maknanya berbeda, akan tetapi tidak bertolak belakang, maka pendapat yang ini benar dan pendapat yang itu juga benar. Makna ungkapan yang dipakai pihak satu berbeda dengan pihak yang yang kedua, dan hal ini cukup banyak terjadi pada perdebatan.
  4. Keadaan di mana masing-masing menempuh jalan yang disyariatkan, namun satu kaum menempuh satu jalan, kaum yang lain menempuh jalan yang lainnya, dan keduanya bagus dalam agama. Kemudian kejahilan atau kezaliman mendorong mereka untuk mencela terhadap salah satunya, atau memuliakan tanpa maksud yang benar, atau karena ketidaktahuan atau tanpa kesengajaan.
Adapun ikhtilaf tadhad adalah dua pendapat yang bertolak belakang, baik dalam perkara ushul maupun perkara furu', menurut jumhur ulama, mereka mengatakan yang benar hanya satu. Adapun pendapat yang mengatakan setiap mujtahid benar, maka ini maknanya mujtahid yang berselisih dalam ikhtilaf tanawwu', bukan ikhtilaf tadhad. Perkara ikhtilaf tadhad ini lebih sulit, karena kedua belah pihak membawa pendapat yang bertentangan (saling menjatuhkan). Misalnya antara sunnah dan bid'ah, antara halal dan haram.
Ikhtilaf yang kita sebut ikhtilaf tanawwu', masing-masing dari kedua belah pihak benar tanpa diragukan. Namun celaan tetap tertuju kepada orang yang membenci pendapat yang lain, karena Al-Qur'an telah memuji kedua belah pihak, selama tidak terjadi penentangan dari salah satu pihak.
Kemudian, jenis ikhtilaf yang ketiga adalah ikhtilaf afham (perbedaan pemahaman). Hal ini sebagaimana yang disepakati Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari penyerangan terhadap Bani Quraizhah di mana beliau berpesan agar tidak boleh seorang pun shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah. Maka sebagian mereka melakukan shalat ashar pada waktunya, sedangkan yang lain mengakhirkannya hingga sampai ke Bani Quraizhah. Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar ijtihadnya, dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila berijtihad dan tidak benar ijtihadnya, dia mendapatkan satu pahala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits yang semisal ini cukup banyak.
Jenis ikhtilaf yang tidak tercela adalah ikhtilaf tanawwu' dan ikhtilaf afham. Adapun yang tercela dan diharamkan adalah ikhtilaf tadhad. Jenis ikhtilaf inilah yang Al-Qur'an dan As-Sunnah menyebutnya dengan ancaman yang keras bagi pelakunya.
Wallahu a'lam.
Read More --►