Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
dan generasi awal umat ini benar-benar menyadari bahwa masyarakat
paganis ekstrim dari keturunan Quraisy -dan semua kelompok yang sejenis
dengannya- tidak akan pernah membiarkan umat Islam begitu saja
memperoleh kebebasan beragama mereka di Kota Yatsrib, setelah sebelumnya
mereka diusir beramai-ramai dari Kota Makkah dan sekitarnya. Untuk ini,
umat Islam pun mempersiapkan segalanya. Di Kota Madinah mereka berlatih
agar mereka tidak lagi dilecehkan. Selain agar orang musyrikin maupun
kabilah-kabilah lainnya, sadar akan kekuatan Islam yang selama ini
tersebunyi. Inilah yang sekiranya dapat menggetarkan mereka sehingga
mereka tidak menyerang umat Islam di Kota Madinah. Lebih dari itu, hal
ini agar masyarakat Quraisy paham bahwa orang-orang Muhajirin yang
selama ini lari dari tekanan penindasan bukanlah pada posisi yang lemah
dan hina. Namun kini mereka telah berubah menjadi satu komunitas yang
kuat yang mampu menggetarkan dan patut diperhitungkan.
Latihan dan Persiapan Berkala
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam segera
melatih para sahabatnya dan mengutus mereka untuk melakukan pengintaian
di sekitar Kota Madinah secara berkala. Tujuannya adalah sebagai
latihan, eksplorasi, dan persiapan peperangan. Beberapa tugas yang
pernah beliau delegasikan kepada para sahabat antara lain:
1. Pasukan yang dipimpin oleh Hamzah bin
‘Abdul Muththalib. Mereka sebanyak 30 orang penunggang dari kalangan
Muhajirin. Mereka diutus hingga daerah Al-‘Iish di tepi laut.
2. Pasukan yang dipimpin oleh ‘Ubaidah
bin Harits. Mereka sebanyak 60 orang penunggang dari kalangan Muhajirin
sampai ke daerah Raabigh.
3. Pasukan yang dipimpin oleh Sa'd bin
Abi Waqqash dengan kekuatan pengintai berjumlah 80 orang Muhajirin dan
bertugas sepanjang jalan yang menghubungkan Makkah dan Madinah.
4. Perang Wuddan. Pasukan di bawah
pimpinan Rasulullah saw. berjumlah 200 orang penunggang dan pejalan kaki
berjalan hingga daerah Wuddan. Pada peperangan ini Rasulullah saw.
mengadakan perjanjian dengan Bani Dhamrah. Salah satu tujuan peperangan
ini adalah untuk membangun sebuah aliansi dengan kabilah-kabilah yang
selama ini menguasai jalur yang menghubungkan antara Kota Makkah dan
Madinah.
5. Perang ‘Usyairah. peperangan dengan
jumlah pasukan sebanyak 200 orang penunggang dan pejalan kaki di bawah
kepemimpinan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Tujuan
dari peperangan ini adalah untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin di
hadapan orang-orang musyrikin serta membangun kesepahaman dengan
kabilah-kabilah yang terdapat di daerah jalur perdagangan orang Quraisy
di antara Kota Makkah dan Madinah.
6. Perang Buwaath. Peperangan dengan
jumlah pasukan sebanyak 200 orang penunggang dan pejalan kaki di bawah
kemimpinan Rasulullah saw. Tujuannya adalah untuk bisa sampai ke daerah
Buwaath dari sisi gunung Radhwa ke jalur perdagangan Quraisy di antara
kota Makkah dan Madinah, selain untuk menekan kegiatan perdagangan
mereka.
7. Pasukan di bawah pimpinan ‘Abdullah
bin Jahsy. Pengintaian berkekuatan delapan orang dari kalangan
Muhajirin. Bersama itu, ‘Abdullah membawa sepucuk surat dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Beliau berpesan untuk tidak membuka surat tersebut kecuali dua hari
setelah mereka melakukan perjalanan. Ketika surat itu dibuka, di
dalamnya terdapat tulisan, "Jika engkau telah membaca surat ini, maka
teruslah berjalan hingga engkau sampai di sebuah pohon kurma yang
terletak di antara Makkah dan Thaif. Lalu perhatikan gerak-gerik orang
Quraisy dan berikan informasinya kepada kami."[1] Abdullah segera
berangkat hingga akhirnya ia sampai di sebuah pohon kurma. Sebuah
kafilah Quraisy lewat dan langsung di serang oleh kaum muslimin. Pada
peperangan ini, orang-orang musyrikin yang tewas antara lain ‘Amr bin
Hadhrami, sementara kaum muslimin berhasil menawan dua orang dari
kalangan musyrikin, namun yang keempat berhasil melarikan diri.
8. Perang Badar Pertama. Prediksi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
dan para sahabat tentang kaum musyrikin benar-benar menjadi sebuah
kenyataan. Tak lama setelah beliau menetap di Kota Madinah, orang-orang
musyrikin di bawah pimpinan Karz bin Jabir Al-Fihry melakukan
penyerangan terhadap ladang pengembalaan hewan milik orang Madinah dan
merampas beberapa ekor unta dan kambing milik kaum muslimin. Rasulullah
saw. pun segera bergerak untuk mengusir agresor tersebut dan merebut
kembali unta maupun kambing milik kaum muslimin yang sempat mereka
rampas. Pasukan perang kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah saw.
ketika itu bergerak sampai ke daerahWadi Sufyan, dekat dengan Badar.
Namun demikian mereka tidak dapat mengejar agresor musyrikin sehingga
mereka pun harus kembali tanpa ada peperangan.
Latar Belakang Perang Badar Kubra
Perang Badar yang meletus antar kaum muslimin dan orang-orang musyrik dipicu oleh beberapa sebab, di antaranya:
1. Pengusiran Kaum Muslimin dari Kota Makkah Serta Perampasan Harta Benda Mereka
Genderang perang terhadap kaum muslimin sebenarnya sudah ditabuh oleh orang-orang musyrikin sejak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mengumandangkan risalah dakwah yang ia bawa. Mereka menghalalkan darah
kaum muslimin dan harta benda mereka di kota Makkah, khususnya terhadap
orang-orang Muhajirin. Mereka rampas rumah dan kekayaan kaum Muhajirin.
Orang islam pun melarikan diri dan menukarnya dengan keridhoan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kita dapat melihat sendiri bagaimana orang kafir Quraisy merampas dan
menguasai harta benda Shuhaib sebagai imbalan diizinkannya ia untuk
berhijrah ke Madinah. Kita pun dapat menyaksikan bagaimana mereka
menduduki rumah-rumah dan peninggalan kaum muslimin yang ditinggal oleh
pemiliknya.
2. Penindasan Terhadap Umat Islam Hingga Kota Madinah
Apa yang dilakukan orang Quraisy
terhadap umat Islam ternyata tidak hanya ketika mereka berada di Kota
Makkah. Di bahwa pimpinan Kurz bin Habbab Al-Fihri, mereka memprovokasi
kaum musyrikin lainnya untuk menyerang, menteror, dan menguasai harta
benda milik kaum muslimin yang ada di Kota Madinah (sebagaimana yang
terjadi pada Perang Badar Shughra). Oleh karena itu, sudah sewajarnya
apabila orang-orang musyrik menerima balasan atas semua permusuhan dan
penindasan mereka terhadap umat Islam selama ini. Mereka begitu sadar
bahwa banyak kepentingan dan hasil perdagangan mereka yang akan
berpindah ke tangan orang-orang Islam di sana, selain bahwa kini Islam
telah memiliki pasukan dan wilayah yang mampu memberikan perlawanan atas
kewenang-wenangan, menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan
meskipun orang-orang yang berhati durjana tidak menyukainya.
3. Memberi Pelajaran Kepada Quraisy dan Mengembalikan Harta Benda Milik Umat Islam
Oleh karena itu, begitu Rasulullah saw.
mendengar bahwa kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin
Harb dan ‘Amr bin Al-‘Ash bersama 40 orang bergerak dari Syam membawa
harta orang-orang Quraisy yang keseluruhannya mencapai seribu ekor unta,
maka beliau pun segera mengajak kaum muslimin untuk bergerak
mendatanginya. Rasulullah saw. mengatakan, "Ini adalah perdagangan
Quraisy. Maka keluarlah kalian, semoga Allah swt. akan memberikannya
kepada kalian."[2] Mendengar seruan ini, sebagian kaum muslimin
menyambutnya sementara yang lainnya merasa sedikit berat dengannya.
Mereka menggangap bahwa ketika itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
tidak bermaksud mengumandangkan sebuah peperangan. Karena beliau
mengatakan, "Barangsiapa yang saat ini memiliki tunggangan, maka
hendaklah ia ikut bersama kami." Beliau tidak menunggu sahabat yang
tunggangannya tidak ada pada saat itu.
Sekilas Sejarah Perang Badar
Ibnu Ishaq berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
pergi pada beberapa malam di bulan Ramadhan bersama
sahabat-sahabatnya." Ibnu Hisyam berkata, "Beliau pergi pada hari Senin
setelah delapan hari dari bulan Ramadhan. Beliau mengangkat ‘Amr bin
Ummi Maktum (dalam riwayat namanya adalah ‘Abdullah bin Ummi Maktum)
untuk menjadi imam di Madinah, dan mengangkat Abu Lubabah sebagai
pemimpin sementara kota Madinah."
Jumlah pasukan kaum muslimin pada saat
itu hanyalah 313 orang: 240-an orang dari kalangan Anshor, sisanya dari
kalangan Muhajirin. Mereka membawa 2 ekor kuda dan 70 ekor unta.
Sementara panji kaum muslimin di bawa oleh Mus'ab bin ‘Umair. Peristiwa
Badar sendiri meletus pada hari Jumat pagi tanggal 17 Ramadhan.[3]
Prediksi Abu Sufyan tentang Pasukan Islam
Waktu itu Abu Sufyan terkenal sebagai
seorang yang begitu ambisius dan cerdik. Ia selalu memperhitungkan
segala macam kemungkinan dan resiko yang dapat terjadi. Ia tahu benar
apa yang telah dilakukan penduduk Quraisy terhadap kaum muslimin selama
ini. Ia pun begitu menyadari akan kekuatan umat islam yang semakin hari
semakin mengalami peningkatan dan perkembangan. Ia mengorek informasi
dari setiap rombongan orang yang ditemuinya sebagai bukti
kekhawatirannya atas perdagangannya berikut harta orang-orang Quraisy
yang dibawanya. Hingga akhirnya ia mendengar kabar dari beberapa orang
yang ditemuinya bahwa Nabi Muhammad telah memobilisasi
sahabat-sahabatnya untuk mencegat rombongan yang sedang membawa harta
perdagangan. Mendengar hal ini, ia pun segera berhati-hati dan mengambil
jalur perjalanan yang lain seraya mengirim utusan kepada penduduk
Quraisy yang ada di Kota Makkah untuk meminta bantuan.
Mobilisasi Suku Quraisy
Abu Sufyan menyewa Dhamdham bin ‘Amr
Al-Ghifari agar segera menemui orang-orang Quraisy dan memberitahu
mereka situasi yang tengah terjadi. Ia pun bergegas menunggangi untanya.
Dengan berteriak ia berkata, "Wahai orang-orang Quraisy! Harta kalian
bersama Abu Sufyan terancam oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Kulihat kalian tidak akan memperolehnya. Tolonglah... tolonglah!"[4]
Mendengar berita ini, fanatisme mereka pun berkobar. Mereka begitu
khawatir akan perdagangan mereka. Dengan cepat mereka bergerak. Semuanya
pergi kecuali Abu Lahab bin ‘Abdul Muththalib. Ia mengirim Al-‘Ash bin
Hisyam bin Al-Mughirah sebagai pengganti. Orang-orang Quraisy sepakat
untuk bersama-sama pergi baik dalam keadaan susah maupun lapang. Di
depan barisan mereka terdapat biduan wanita yang bernyanyi mendendangkan
hinaan dan celaan bagi umat Islam.
"Dan (ingatlah) ketika setan memperindah
perbuatan-perbuatan mereka dan membisikkan bahwa tidak ada yang akan
mengalahkan kalian pada hari ini, dan aku akan benar-benar menjadi
pelindung kalian."
Selamatlah Kafilah Dagang Quraisy
Abu Sufyan tidak hanya berpangku tangan
menanti uluran bantuan dari penduduk Quraisy. Ia curahkan segenap
kepiawaian yang ia miliki agar mereka tidak jatuh ke tangan kaum
muslimin. Semua informansi dan peristiwa yang ada ia kumpulkan dan
dianalisis hingga akhirnya ia tahu kapan pasukan muslimin pergi
menghadang kafilah dagang mereka.
Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan bertemu
dengan Majdi bin ‘Amr dan bertanya kepadanya, "Apakah engkau berjumpa
dengan seseorang?" Ia menjawab, "Aku tidak menjumpai seorang pun yang
tidak kukenal kecuali dua orang penunggang unta yang berhenti di bukit
itu. Kemudian mereka mengambil air dan meletakkannya di tempat air
mereka lalu pergi." Abu Sufyan mendatangi tempat tersebut dan mengambil
beberapa buah sisa kotoran hewan mereka. Lalu ia pisahkan dan di
dalamnya terdapat biji. Ia berkata, "Demi Tuhan, ini adalah makanan
hewan penduduk Yatsrib (Madinah)." Ia pun akhirnya tahu bahwa kedua
orang tersebut tak lain adalah sahabat Nabi Muhammad saw. dan pasukan
kaum muslimin ternyata sudah begitu dekat dari tempat."[5] Abu Sufyan
segera kembali ke tengah kafilah sambil memukuli mukanya. Ia alihkan
jalur perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, yaitu pesisir
pantai demi menghindari daerah Badar menuju ke kiri sehingga kafilah pun
terselamatkan.
Sikap Keras Kepala Kaum Musyikin untuk Berperang
Pasukan musyrik Quraisy bergerak dengan
penuh kesombongan di tengah hamparan padang pasir, di antara sekian
banyak kabilah Arab yang terdapat di sepanjang jalur yang menghubungkan
Kota Makkah dan Madinah diiringi nyanyian biduan wanita. Mereka begitu
bangga dengan kekuatan dan pasukan yang ada. Mereka bermaksud hendak
menyelamatkan Abu Sufyan dan kafilah dagang dari tangan umat Islam.
Namun ternyata kafilah tersebut telah terselamatkan. Abu Sufyan sendiri
yakin bahwa ia telah berhasil menyelamatkan kafilah dagang mereka dari
kepungan dan incaran umat Islam. Ia pun mengirim pesan kepada pasukan
Quraisy, "Sesungguhnya kalian keluar untuk melindungi perdagangan,
orang-orang, dan harta benda kalian. Mereka semuanya telah
terselamatkan. Maka kembalilah!" Utusan Abu Sufyan pun akhirnya bertemu
dengan pasukan Quraisy di perjalanan. Ia sampaikan berita selamatnya
kafilah dagang mereka. Mendengar berita ini Abu Jahal berkata, "Demi
Tuhan! Kita tidak akan kembali kecuali setelah sampai di Badar dan
tinggal di sana selama tiga hari. Kita akan memotong hewan sembelihan,
memberi makan, menuangkan khamr, dan mendengarkan lagu dari para biduan.
Dan orang-orang Arab pun akan mendengar ekspedisi dan perkumpulan kita
ini sehingga mereka akan senantiasa segan kepada kita untuk
selama-lamanya."[6]
Rasulullah saw. keluar untuk mencegat kafilah
Quraisy yang membawa harta dagangan. Beliau benar-benar tidak
mengetahui keberadaan pasukan Quraisy yang sedang bergerak
mendatanginya. Beliau pun tinggal di luar kota Madinah, sambil
mempersiapkan pasukan dan mengembalikan mereka yang tidak memiliki
kemampuan untuk berperang.
Kekuatan Kaum Muslimin
Pasukan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
berjumlah 313 orang. Bersama mereka terdapat 2 ekor kuda, satu milik
Zubair bin ‘Awwam dan seekor lainnya milik Miqdad bin ‘Amr, serta 70
unta yang mereka tunggangi secara bergantian.
‘Abdullah bin Mas'ud berkata, "Ketika
Perang Badar, setiap tiga orang dari kami menungganngi seekor unta. Abu
Lubabah, ‘Ali, dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallambergantian menaiki unta. Ketika giliran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk berjalan kaki, keduanya berkata, ‘Kami akan menggantikanmu untuk berjalan kaki.' Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, ‘Kalian berdua tidaklah sekuat diriku, dan aku tidak lebih membutuhkan pahala dari kalian berdua.'"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mempercayakan panji berwarna putih kepada Mush'ab bin ‘Umair. Sementara
di hadapan beliau sendiri terdapat dua buah bendera. Di sebelah kanan
beliau terdapat Zubair bin ‘Awwam dan di sebelah kiri terdapat Miqdad
bin Al-Aswad, serta di belakangnya terdapat Qais bin Abi Sha'sha'ah.
Kekuatan Kaum Musyrikin
Pasukan musyrikin berhasil memobilisasi
950 orang yang kebanyakan mereka berasal dari Quraisy. Bersama mereka
terdapat 200 ekor kuda dan unta dalam jumlah yang sangat banyak sekali
untuk mereka tunggangi sekaligus membawa perbekalan dan makanan mereka
selama di perjalanan.
Orang-orang musyrikin tidak memiliki
seorang pemimpin umum. Hanya saja di antara mereka terdapat dua orang
terpandang, yaitu ‘Utbah bin Rabi'ah dan Abu Jahal beserta sekian orang
pemuka Quraisy lainnya.
Tahap Intelejin dan Pengintaian
Pasukan muslimin menyusuri jalur yang
biasa dilalui oleh kafilah-kafilah dagang yang terbentang di antara
Badar dan Kota Madinah. Panjangnya sekitar 60 kilometer. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mengutus beberapa orang melakukan pengintaian untuk kepentingan
informasi dan keamanan dari kemungkinan serangan tiba-tiba yang kiranya
tidak dapat mereka tangani.
Tahap Pertama
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengutus
Basbas bin ‘Amr dan ‘Ady bin Abi Zaghba. Mereka pun pergi hingga sampai
ke wilayah Badar. Mereka singgah di sebuah bukit dekat dengan sumber
air. Lalu mereka mengambil air dan meletakkannya pada tempat air kecil
yang mereka bawa lalu meminumnya. Mereka berdua bertugas untuk
mengumpulkan informasi. Akhirnya ‘Ady dan Basbas mendengar dua orang
anak perempuan dari penduduk sekitar saling berselisih seputar air.
Salah seorang dari mereka berkata, "Besok akan datang rombongan dan aku
akan bekerja untuk mereka kemudian aku akan mengganti hari yang
seharusnya jadi milikmu." Mereka berdua kemudian memberitahukannya
kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya untuk memberikan analisis atas informasi tersebut.
Tahap Kedua
\Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mengutus ‘Ali bin Abi Thalib r.a., Zubair bin ‘Awwam, dan Sa'd bin Abi
Waqqash dalam satu regu untuk pergi ke sumber air di Badar sambil
mencari informasi. Mereka pun berhasil menawan beberapa orang Quraisy
yang bertugas untuk mengambil air. Beberapa dari mereka kemudian masuk
Islam, di antaranya budak Bani Hajjaj dan ‘Aridh Abu Yasar budak Bani
‘Ash bin Sa'd. Mereka membawanya kepada Nabi untuk diinterogasi.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
menanyai keduanya. Mereka menjawab, "Kami adalah milik pasukan Quraisy
dan kami tidak mengetahui apapun tentang Abu Sufyan." Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallamkembali
bertanya, "Berapa jumlah mereka?" Keduanya menjawab, "Banyak, kami
tidak tahu berapa jumlahnya." Rasulullah saw. melanjutkan, "Berapa
banyak unta yang mereka sembelih untuk dimakan?" Keduanya menjawab,
"Sembilan, dan hari lainnya sepuluh." Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, "Mereka sekitar 900 sampai 1.000 orang."
Beliau melanjutkan pertanyaannya, "Siapa
saja pemuka Quraisy yang ikut bersama mereka?" Keduanya menjawab,
"'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah, Abu Al-Buhturi bin Hisyam, dan Hakim bin
Hizam." Keduanya lalu menyebutkan beberapa orang pemuka Quraisy lainnya.
Kemudian Rasulullah saw. berkata, "Kota Makkah ini telah melemparkan
kepada kalian kepingan-kepingan hatinya." Beliau mengatakannya dengan
maksud untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Rasulullah Melakukan Pengintaian
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
pergi bersama Abu Bakar untuk melakukan pengintaian dan pengumpulan
informasi. Beliau berjumpa dengan seorang badui yang sudah tua dan
bertanya kepadanya tentang perihal Quraisy, Muhammad serta para
sahabatnya, dan semua berita yang berhubungan dengan mereka. Orang tua
itu pun menjawab, "Aku tidak akan memberitahu kalian sebelum kalian
mengatakan siapa diri kalian berdua?" Rasulullah saw. menjawab, "Jika
engkau memberitahu kepada kami terlebih dahulu, maka kami pun akan
mengatakannya kepadamu." Orang tua itu berkata, "Atau itu dengan itu?"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. menjawab, "Ya." Orang
tua itu berkata, "Aku dengar bahwa Muhammad dan sahabatnya keluar pada
hari fulan. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini
mereka telah sampai di tempat fulan (yaitu di tempat di mana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
ketika itu berada). Dan aku mendengar bahwa Quraisy keluar pada hari
fulan. Dan kalau orang yang memberitahuku jujur, berarti hari ini mereka
telah sampai di tempat fulan (yaitu tempat di mana pasukan Quraisy
berada.)" Setelah selesai berbicara orang tua itu pun bertanya, "Dari
mana kalian berdua?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab,
"Kami dari Maa` (air)" Kemudian ia pergi meninggalkannya. Orang tua itu
kembali bertanya, "Apa itu Maa`? Apakah Maa` yang ada di Irak?"
Kaum Muslimin Menganalisis Informasi
Semua informasi yang diperoleh dari
aktivitas intelejen menunjukkan bahwa rombongan kafilah dagang telah
selamat dan pasukan orang-orang musyriklah yang kini berada di hadapan
mereka. Pasukan Quraisy sekitar 900 hingga 1.000 orang. Di antara mereka
terdapat beberapa orang pemuka Quraisy. Jumlah mereka tidak dapat
disepelekan. Lalu apakah yang harus dilakukan umat Islam di hadapan
informasi-informasi seperti ini?
Demikianlah kedua pasukan semakin
berdekatan dan keduanya sama-sama tidak mengetahui apakah yang akan
terjadi di balik pertemuan yang menegangkan itu. Itulah latar belakang
meletusnya peperangan pertama di dalam sejarah Islam telah Allah swt.
susun sedemikan rupa. Sebuah peperangan antara kebenaran dan kebatilan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan (ingatlah) ketika
Allah menjanjikan kepada kalian salah satu dari dua kelompok bahwa ia
akan menjadi milik kalian. Kalian berharap bahwa kelompok yang tidak
memiliki kekuatanlah yang akan menjadi miliki kalian. Dan Allah swt.
ingin menegakkan yang haq dengan kalimatnya, dan memusnahkan orang-orang
yang kafir. Agar Ia menegakkan yang hak dan memusnahkan kebatilan
meskipun orang-orang berhati durjana tidak menyukainya." (Al-Anfal: 7-8)
Syuro
Semua yang telah direncanakan kaum
muslimin akhirnya berubah. Hal-hal baru yang tak terduga sebelumnya
tampak ke permukaan. Oleh karenanya ada penyikapan yang harus dipelajari
dengan mengacu kepada beberapa hal berikut:
1. Tujuan pertama kaum muslimin adalah untuk mencegat rombongan kafilah dagang, dan bukan untuk berperang.
2. Minimnya persiapan dan jumlah kaum muslimin ketika itu.
3.
Perjanjian yang mengikat antara Rasulullah saw. dan kaum Anshor pada
saat itu adalah memberikan pertolongan di Kota Madinah, bukan di luar
wilayah tersebut.
Hal-hal inilah yang sekiranya menuntut
seorang pemimpin untuk mendengar secara langsung masukan dari para
pasukannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. kemudian mengumpulkan orang-orang untuk bermusyawarah.
Beliau berkata, "Wahai sekalian orang,
berikanlah pendapat kepadaku!" Abu Bakar pun berdiri. Kemudian ia
berbicara dan memberikan masukan yang baik kemudian. Kemudian ‘Umar
berdiri lalu berbicara dan memberikan masukan yang baik. Kemudian Miqdad
bin ‘Amr bangkit seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
benar-benar telah beriman kepadamu. Maka laksanakanlah apa yang telah
diperintahkan oleh Tuhanmu dan kami akan bersamamu. Demi Allah, kami
tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang telah dikatakan oleh
para pengikut Musa kepadanya, 'Pergilah engkau bersama Tuhanmu! Dan
berperanglah kalian berdua. Kami akan duduk menunggu di sini.' Namun
kami akan mengatakan, 'pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah
kalian berdua. Sesungguhnya kami akan berperang bersama kalian.' Demi
Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau pergi
bersama kami ke wilayah Barkil Ghimaad (di ujung Yaman), niscaya kami
akan berperang bersamamu menghadapi orang yang menghalangimu hingga
engkau sampai ke sana."
Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
berkata kepadanya dengan perkataan yang baik serta mendoakannya.
Kemudian beliau kembali meminta, "Wahai sekalian orang, berikanlah
masukan kepadaku!" seakan-akan beliau memintanya dari kalangan Anshor.
Ia ingin mendengar pendapat mereka tentang apa yang sedang dihadapainya
saat itu. Sa'd bin Mu'adz berdiri dan berkata, "Demi Allah, wahai
Rasulullah, sepertinya engkau menginginkan kami?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
menjawab, "Tepat." Sa'd berkata, "Kami benar-benar telah beriman
kepadamu, kami membenarkanmu dan bersaksi bahwa engkau membawa
kebenaran. Kami berikan untuk semua itu janji dan kesetiaan kami untuk
mendengar dan taat. Maka laksanakanlah apa yang engkau mau. Dan kami
akan bersamamu. Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan kebenaran,
seandainya saja di hadapan kami terdapat lautan, niscaya kami akan
menyelaminya bersamamu. Tak seorang pun dari kami yang akan tinggal.
Kami tidak enggan untuk bertemu musuh esok hari. Kami adalah kaum yang
sabar dalam berperang dan menetapi ketika bertemu musuh. Semoga Allah
memperlihatkan kepadamu dari kami apa yang dapat menenangkan
pandanganmu. Maka pergilah dengan penuh keberkahan dari Allah!"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
pun merasa gembira. Lalu beliau berkata, "Pergilah kalian dengan penuh
keberkahan dari Allah dan berbahagialah karena sesungguhnya Allah telah
menjanjikan kepadaku salah satu dari kedua rombongan tersebut. Demi
Allah, seakan-akan sekarang aku sedang melihat kematian mereka."
Syuro Seputar Tempat dan Posisi Pasukan
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
hendak bergerak menghadapi pasukan musyrikin dan mendirikan kemah di
hadapannya serta mengambil posisi sebagai persiapan sebelum perang,
beliau masih terus mendengarkan saran dari para sahabatnya. Hubbab bin
Mundzir bin Jamuh berkata, "Wahai Rasulullah, apakah tempat ini adalah
wahyu yang Allah turunkan sehingga kami tidak punya hak untuk bergeser
maju ataupun mundur. Ataukah ini hanyalah pendapat pribadi, dan
peperangan adalah tipu daya dan strategi?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
menjawab, "Tidak. Ini hanyalah pendapat pribadi, dan peperangan adalah
tipu daya dan strategi." Hubbab kembali berkata, "Wahai Rasulullah, ini
bukanlah lokasi yang tepat. Pergilah bersama beberapa orang hingga kita
sampai lebih dekat dengan sumber air, lalu kita singgah di sana.
Kemudian kita gali beberapa sumur dan sebuah kolam, lalu kita isi air.
kemudian kita perangi mereka. Sehingga kita dapat minum dan mereka
tidak." Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, "Engkau benar-benar telah memberikan pendapatmu."
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam segera
bangkit beserta beberapa orang sahabatnya. Ia pun pergi hingga
mendekati sumber air suatu penduduk dan singgah di sana. Lalu beliau
memerintahkan sahabatnya untuk membuat sumur dan sebuah kolam besar pada
sumur tempat ia singgah serta mengisinya dengan air. Kemudian mereka
lemparkan ke dalamnya tempat air. Mereka pun akhirnya mendapatkan sumber
air, sementara kaum musyrikin tidak mendapatkannya. Sekelompok orang
musyrikin datang sambil menahan perih karena kehausan. Mereka ingin
mengambil air dan meminumnya. Seluruhnya terbunuh pada saat Perang
Badar, kecuali Hakim bin Hizam yang sempat masuk Islam setelah itu. Ia
begitu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas keselamatan dirinya pada saat Perang Badar. Karena kalau tidak, niscaya saat itu ia mati dalam keadaan kafir.
Allah Subhanahu wa Ta'ala Ingin Memenangkan Kebenaran
Tidak diragukan lagi bahwa pertempuran
antara pasukan muslimin dan musyrikin akan menjadi sebuah pertempuran
yang sangat dahsyat. Karena orang-orang Quraiys dengan kesombongannya
ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membinasakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
dan sahabat-sahabatnya sehingga hukum paganisme menjadi satu-satunya
aturan hukum yang berlaku. Namun demikian, Allah swt. menginginkan agar
kekuatan kaum muslimin yang telah dibangun di Kota Madinah dan dilatih
sedemikian rupa sehingga berhasil melahirkan pasukan-pasukan yang kokoh
mampu mengepakkan debu di medan perang, setelah selama lima belas tahun
berada di bawah tekanan penindasan dan kelaliman serta membela akidah
dan dakwah yang mereka bawa.
Oleh karenanya, terlihat kemudian bahwa
pertemuan antara keduanya benar-benar akan menyisakan kepahitan dan
keperihan yang teramat sangat. Namun di balik semua ini, Allah swt.
ingin menghancurkan kekuatan pendukung kebatilan dan meninggikan
kebenaran dan para pembelanya.
"Dan (ingatlah) ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan
kepada kalian salah satu dari dua kelompok bahwa ia akan menjadi milik
kalian. Kalian berharap bahwa kelompok yang tidak memiliki kekuatanlah
yang akan menjadi miliki kalian. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin
menegakkan yang haq dengan kalimatnya, dan memusnahkan orang-orang yang
kafir. Agar Ia menegakkan yang hak dan memusnahkan kebatilan meskipun
orang-orang berhati durjana tidak menyukainya."
"(yaitu hari) ketika kalian berada di
pinggir lembah yang dekat, sementara mereka berada di lembah yang jauh
sedang kafilah itu berada di bawah kalian. Sekiranya kalian mengadakan
persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), nicaya kalian akan
berselisih pendapat dalam menentukannya. Akantetapi (Allah mempertemukan
kedua pasukan itu) agar Ia melakukan suatu urusan yang harus
dilaksanakan. Yaitu agar orang yang binasa itu akan mendapatkan
kebinasaannya atas dasar keterangan yang jelas dan agar orang yang hidup
itu mendapatkan kehidupannya atas dasar keteranan yang jelas. Dan
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
"(Yaitu) ketika Allah menampakkan mereka
di dalam mimpimu (dalam jumlah yang) sedikit. Dan sekiranya Allah
memperlihatkan mereka kepadamu (dalam jumlah yang) banyak, tentu saja
kamu menjadi gentar dan berbantah-bantahan dalam hal tersebut.
Akantetapi Allah telah menyelamatkamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala yang apa yang terdapat di dalam hati. Dan ketika Allah
menampakkan mereka kepada kalian, seketika itu kalian berjumpa dengan
mereka dalam jumlah yang sedikit di hadapan matamu. Sementara Allah
menampakkanmu dalam jumlah yang sedikit di mata mereka. Karena Allah
hendak melakukan satu urusan yang harus dilaksanakan. Dan hanya kepada
Allah lah segala urusan dikembalikan"
Sebelum Peperangan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
dan para sahabat begitu bersemangat. Mereka memilih tempat yang tepat
di arena peperangan. Mereka mendirikan sebuah podium sebagai tempat
untuk pemimpin yang dijaga dengan ketat. Barisan pasukan mulai di atur
dan kalimat "Ahad... Ahad..." dipilih sebagai bahasa sandi di antara
sesama muslim. Hal ini untuk menghindari kesemerawutan, dimana pasukan
muslim menghantam saudaranya sendiri ketika perang sedang berkecamuk.
Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk tidak memulai penyerangan
kecuali setelah mendapatkan perintah. Hal ini agar mereka tidak
terpancing oleh orang musyrikin untuk berperang tanpa hasil. Rasulullah
saw. berpesan, "Jika mereka menyerang kalian, maka lemparlah mereka
dengan anak panah. Jangan kalian bergerak menyerang mereka sampai aku
mengizinkannya."
Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Beliau letakkan segala
sesuatunya sesui dengan tempat yang seharusnya. Beliau tidak menyisakan
celah untuk hal yang sifatnya tiba-tiba tanpa terencana. Kemudian beliau
bertawakkal menyerahkan semuanya kepada Allah swt. setelah berupaya
secara optimal sebatas kemampuannya sebagai manusia.
Lawan Tanding
Kedua pasukan pun akhirnya saling
berhadapan. Fanatisme jahiliah begitu tampak jelas pada pada diri
orang-orang musyrik. Setiap orang ingin memperlihatkan kedudukan dan
keberaniannya. Muncullah kemudian Al-Aswad bin ‘Abdul Asad Al-Makhzumi.
Ia dikenal sebagai seorang yang sangat sadis dan biadab. Dengan nada
tinggi ia menantang, "Aku berjanji kepada Tuhan bahwa aku akan meminum
dari kolam mereka (yaitu kolam yang dibikin oleh orang-orang muslim),
atau aku akan menghancurkannya, atau aku akan mati karenanya." Ia pun
menyerang kolam tersebut. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib segera bergerak.
Ia ayunkan pedangnya hingga menebas setengah dari kaki bagian bawahnya
sebelum ia sempat sampai ke kolam tersebut. Namun demi keangkuhan
sumpahnya ia merayap. Hamzah pun langsung menenggelamkannya di dalam
kolam. ‘Utbah bin Rabi'ah terpancing emosinya. Ia ingin menunjukkan
keberaniannya. Tampil pula bersamnya saudaranya, Syaibah dan anaknya
Walid. Ia pun menantang untuk berduel. Tiga orang pemuda dari kalangan
Anshar gugur di hadapan mereka. Rasulullah saw. pun kembali menjawab
tantangan mereka. Maka majulah ‘Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah bin ‘Abdul
Muththalib, dan ‘Ali bin Abi Thalib, kesemuanya adalah dari keluarga
Rasulullah saw. Beliau mengutamakan kemampuan mereka atas dasar
keberanian dan pengalaman mereka dalam berperang sudah sangat masyhur.
Dengan izin Allah swt. pula akhirnya mereka berhasil mengalahkan
orang-orang Quraisy. Semangat kaum muslimin kembali terdongkrak dan
kekuatan orang-orang kafir pun mulai berjatuhan.
‘Ubaidah (prajurit
yang paling muda) berhadapan dengan ‘Utbah, Hamzah berhadapan dengan
Syaibah, sementara ‘Ali berhadapan dengan Walid bin ‘Utbah.
Hamzah
tidak mengulur-ulur waktu untuk membunuh Syaibah. Demikian pula halnya
yang dilakukan oleh ‘Ali terhadap Walid. Berbeda dengan ‘Ubaidah, baik
ia maupun ‘Utbah sama-sama terluka. ‘Ali dan Hamzah pun segera
mengayunkan pedang mereka hingga ‘Utbah tersungkur mati. Lalu keduanya
membawa ‘Ubaidah ke perkemahan pasukan untuk diobati. Peristiwa ini
merupakan satu awal yang baik bagi kaum muslimin sekaligus bencana bagi
orang-orang musyrikin. Awal yang memilukan ini benar-benar telah membuat
mereka berang. Mereka mencoba memancing emosi kaum muslimin, namun umat
Islam kala itu mampu menahan diri hingga datang perintah dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk melakukan penyerangan.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bermunajat Kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada saat kritis sudah seharusnya
seorang hamba kembali dan berlindung kepada Allah swt. Mereka harus
benar-benar memurnikan niat dan meluruskan tujuan serta menundukkan hati
agar Allah Subhanahu wa ta'ala berkenan memecah kesukaran dan menganugarahkan kemenangan. Oleh karena itu, di tempat peristirahatannya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghadapkan wajah ke kiblat sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun
berdoa memohon kepada Tuhannya, "Ya Allah, orang-orang Quraisy telah
datang dengan kesombongannya. Mereka ingin mendustakan Rasul-Mu. Ya
Allah, aku bermunajat memohon janji-Mu. Ya Allah, tunaikanlah apa yang
telah menjadi ketetapanMu. Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau
janjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok yang kecil dari umat ini
binasa sekarang, maka Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini."[1]
Demikianlah beliau terus bermunajat memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sambil
mengangkat kedua tangannya sampai sorbannya jatuh dari atas pundaknya.
Abu Bakar pun mendatanginya dan meletakkan sorban itu pada kedua
pundaknya. Lalu ia berkata dari belakangnya, "Wahai Rasulullah, cukuplah
apa yang telah kau minta kepada Tuhanmu karena sesungguhnya Ia akan
memberikan apa yang telah dijanjikannya kepada-Mu." Namun Rasulullah
saw. tidak berhenti berdoa kecuali setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan
firman-Nya, "Ingatlah ketika kalian memohon pertolongan kepada Tuhan
kalian. Maka Ia pun mengabulkannya bagi kalian. Sesungguhnya Aku
benar-benar membantu kalian dengan seribu malaikat yang berada di
belakang. Dan Allah tidaklah menjadikan hal tersebut kecuali sebagai
sebuah kabar gembira dan agar hati-hati kalian bisa tenang dengannya.
Dan tidaklah kemenangan itu kecuali hanya datang dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."[2]
Kemudian Rasulullah saw. berkata,
"Bergembiralah, wahai Abu Bakar, pasukan itu akan dilumatkan dan lari ke
belakang. Bergembiralah karena pertolongan Allah swt. telah datang. Ini
Jibril memegang kendali kuda dan menungganginya. Pada giginya terdapat
debu."[3]
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Memobilisasi Semangat Pasukan Untuk Bertempur
Meskipun Allah swt. telah menjamin
kemenangan bagi dirinya, namun Rasulullah saw. tidak tinggal diam
menunggu pertolongan dari langit. Karena beliau benar-benar sadar bahwa
kemenangan tidak akan datang kecuali dengan mengikuti semua perintah dan
ketentuan Allah swt., persiapan yang matang dan kejujuran hati. Karena
sesungguhnya Allah swt. tidak akan mengubah apa yang sedang menimpa
sebuah kaum hingga mereka berupaya untuk mengubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri. Oleh karenanya, harus ada satu upaya keras dan
pengorbanan yang berlipat hingga kaum muslimin memang benar-benar berhak
mendapatkan pertolongan dan kemenangan tersebut.
Untuk itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
pun turun ke tengah-tengah barisan pasukan dan memberikan khutbah
(orasi) militer sebelum peperangan dimulai, untuk menumbuhkan optimisme
dan menguatkan hati mereka.
"Demi zat yang jiwaku berada di antara
kedua tangan-Nya. Tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini,
kemudian ia terbunuh dengan penuh kesabaran dan mengharap keridhaan dari
Allah, maju dan tidak lari dari peperangan, niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga. Bangkitlah kalian menuju surga yang
luasnya seluas lapisan langit dan bumi!" ‘Umair bin Himam Al-Anshari
berkata, "Wahai Rasulullah, surga yang luasnya seluas lapisan langit dan
bumi?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya." ‘Umair menimpali, "Bakh...
bakh... (aku ridho... aku ridho)." Rasulullah saw. berkata, "Mengapa
engkau mengatakan bakh?" ‘Umair menjawab, "Tidak, demi Allah, wahai
Rasulullah. Aku hanya berharap agar aku akan menjadi penghuninya."
Rasulullah saw. menjawab, "Engkau akan menjadi penghuninya."[4] Kemudian
‘Umair mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempat anak panahnya yang
terbuat dari kulit. Ia pun mulai memakannya satu persatu, lalu berkata,
"Seandainya aku masih hidup hingga aku memakan seluruh kurma ini, tentu
itu adalah kehidupan yang sangat panjang sekali." Kemudian ia pun
melemparkan kurma-kurma yang ada di tangannya dan berkata,
Berpacu menuju Allah tanpa perbekalan
Kecuali takwa dan amal untuk hari akhir
Serta bersabar di dalam jihad karena Allah
Semua perbekalan pasti akan habis, kecuali takwa, kebaikan, dan keteguhan.
Peperangan
Faktor-faktor turunnya kemenangan bagi
kaum muslimin pun semakin matang dan sempurna, baik itu persiapan
strategis, rohani, maupun militer. Sementara orang-orang musyrikin tidak
mengetahui akan hal tersebut. Mereka pun tidak tahu taktik berperang
kaum muslimin yang baru. Sementara orang-orang musyrikin masih
menggunakan cara konvensional di dalam berperang, yaitu strategi "hit
and run" menyerang dan kemudian mundur ke belakang, menyerang ketika
dalam kondisi kuat, dan mundur ke belakang ketika kondisi mereka sudah
mulai lemah. Mereka berperang tanpa ada pengaturan strategi yang baik.
Semuanya berdasarkan atas fanatisme, kebencian, dan serba semerawut.
Sementara itu, kaum muslimin tetap diam sambil menembaki mereka dengan
anak panah. Mereka tidak melakukan penyerangan, menunggu perintah dari
Rasulullah saw. Sehingga banyak pasukan musyrikin yang tewas berjatuhan
terkena anak panah kaum muslimin. Hal ini pulalah yang membuat semangat
mereka semakin lemah dipenuhi rasa takut. Ketika itulah Rasulullah saw.
turun di tengah-tengah pasukannya untuk melihat persiapan terakhir
mereka sebelum melakukan penyerangan, sekaligus untuk memimpin sendiri
peperangan tersebut. Kemudian beliau memerintahkan pasukannya untuk
bergerak maju menghadapi pasukan Quraisy. Mulailah hunusan pedang umat
Islam menebas satu persatu kepala orang-orang kafir yang selama ini
melakukan pembangkangan penuh kesombongan.
Umat Islam benar-benar menunjukkan satu
keberanian yang sangat luar biasa. Dan ketika peperangan semakin
memuncak hebat, Rasulullah saw. justru maju ke depan barisan. ‘Ali bin
Abi Thalib berkata, "Jika keadaan semakin genting dan pandangan mata
memerah, maka kami pun berlindung di dekat Rasulullah saw. Tak seorang
pun yang berani lebih dekat dengan musuh selain dirinya. Aku melihat
sendiri ketika Perang Badar kami berlindung di dekat Rasulullah saw. dan
ketika itu ia adalah orang yang paling dekat dengan musuh di antara
kami."
Sikap Heroik di Medan Perang
Sikap heroik dan jiwa kepahlawanan di
medan perang ternyata bukanlah monopoli sahabat-sahabat senior dan
pemimpin pasukan semata. Namun hal tersebut ternyata juga menular kepada
sahabat-sahabat yang masih belia yang memang belum memiliki pengalaman
perang sebelumnya. Bahkan jiwa heroik mereka setara dengan keberanian
pemimpin pasukan Quraisy, seorang yang benar-benar memiliki kedudukan
yang tinggi di tengah komunitas masyarakat mereka. Sebagai contoh Abu
Jahal, seorang yang sudah sangat kaya akan pengalaman berperang. Ialah
sang pemimpin pasukan yang ketika Perang Badar berputar mengelilingi
pasukannya sambil memprovokasi mereka, "Jangan pernah merasa lemah atas
kematian ‘Utbah, Syaibah, dan Walid. Karena sesungguhnya mereka terlalu
tergesa-gesa. Demi Latta dan ‘Uzza, kita tidak akan kembali sebelum
berhasil mencerai-beraikan mereka di pegunungan. Aku tidak ingin melihat
salah seorang kalian membunuh salah seorang dari mereka. Namun habisi
mereka sekaligus sehingga kalian dapat mengajarkan kepada mereka arti
buruknya perbuatan mereka yang telah meninggalkan kalian dan keengganan
mereka untuk menyembah Latta dan ‘Uzza." Kemudian Abu Jahal membaca
sebuah syair:
Tidak sebuah peperangan yang keras merasa dendam kepadaku
Mengorbankan dua tahun umurku masih dini
Untuk iniliha ibuku melahirkanku.
Kematian Abu Jahal
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkatan, "Ketika
Perang Badar aku benar-benar berada di tengah barisan. Tiba-tiba saja
dari sisi kanan dan kiriku muncul dua orang pemuda yang masih sangat
belia sekali. Seakan-akan aku tidak yakin akan keberadaan mereka. Aku
berharap seandainya saat itu aku berada di antara tulang-tulang rusuk
mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku sambil berbisik,
‘Paman, tunjukkan kepadaku mana Abu Jahal.' Kukatakan kepadanya,
‘Anakku, apa yang akan kau perbuat dengannya?' Pemuda itu kembali
berkata, ‘Aku mendengar bahwa ia telah mencela Rasulullah. Aku pun
berjanji kepada Allah seandainya aku melihatnya niscaya aku akan
membunuhnya atau aku yang akan mati di tangannya.' Aku pun tercengang
kaget dibuatnya. Lalu yang lainnya langsung memelukku dan mengatakan hal
yang sama kepadaku. Seketika itu aku melihat Abu Jahal berjalan di
tengah kerumunan orang. Aku berkata, ‘Tidakkah kalian lihat? Itulah
orang yang kalian tanyakan tadi.' Mereka pun saling berlomba
menghayunkan pedangnya hingga keduanya berhasil membunuh Abu Jahal."
Dalam salah satu riwayat, ‘Abdurrahman
bin ‘Auf berkata, "Aku akan merasa senang sekali seandainya aku berada
di antara mereka berdua. Maka kutunjukkan kepada mereka yang mana Abu
Jahal. Mereka pun meluncur layaknya dua ekor elang hingga mereka
berhasil membunuhnya." Kedua pemuda belia itu adalah anak ‘Afraa.
‘Abdullah bin Mas'ud mendapati Abu Jahal dengan sisa-sisa nafas
terakhirnya. Kemudian ia pun langsung membunuhnya. Anas bin Malik
berkata, Rasulullah saw. pernah mengatakan, "Siapa yang pernah melihat
apa yang telah dilakukan oleh Abu Jahal?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Saya,
wahai Rasulullah." Ia pun bergegas pergi. Lalu ia menemukannya lemas di
tangan kedua anak ‘Afra. Ibnu Mas'ud berkata, "Aku pun menarik
jenggotnya. Dan kukatakan, ‘engkau Abu Jahal!" Ia menimpali, "Apakah di
atas Abu Jahal ada laki-laki lain yang telah kalian bunuh?"[5] kemudian
ia pun membunuhnya lalu memberitahukannya kepada Rasulullah saw.
Tewasnya Pemuka Quraisy
Peperangan Badar pun ternyata menyisakan
kepahitan bagi para pemuka dan pembesar Quraisy seperti ‘Utbah,
(saudaranya) Syaibah, dan (anaknya) Walid. Demikian pula bagi Abu Jahal,
Jam'ah bin Al-Aswad, Nabih dan Munabbih, Umayyah bin Khalaf serta Abu
Al-Buhturi.
Terbunuhnya Umayyah bin Khalaf
Umayyah bin Khalaf merupakan salah
seorang pemuka Quraisy di Kota Makkah yang pernah menyiksa Bilal dan
orang-orang mukmin yang tinggal di sana. Peperangan Badar benar-benar
telah membuatnya kehilangan akal dan pikiran. Sampai-sampai ia
berteriak-teriak meminta pertolongan agar menyelematkan dirinya dari
tengah peperangan tersebut.
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, "Aku
berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Ia berdiri bersama anaknya dengan
penuh kebingungan. Waktu itu aku membawa beberapa buah baju besi yang
telah menjadi harta rampasan perangku. Ketika ia melihatku, ia pun
memanggilku.
"Wahai hamba Tuhan!"
"Ya," jawabku.
"Apakah engkau
akan menjadikan kami berdua sebagai tawanan perang? Diriku lebih baik
dari baju-baju besi yang ada ditanganmu itu. Barangsiapa yang menawanku,
maka niscaya aku akan menebusnya dengan unta yang banyak susunya."
‘Abdurrahman
berkata, "Kulemparkan baju besi itu dan kuraih tangan mereka berdua.
Sementara itu ia berkata, ‘aku tidak pernah melihat situasi seperti hari
ini sebelumnya.‘ Kemudian ia berkata lagi, "Wahai ‘Abdullah, siapakah
orang yang dikenal dengan bulu yang lembut di dadanya?‘" ‘Abdurrahman
berkata, "Kukatakan kepadanya, ‘Hamzah bin Abi Muththalib." Lalu ia
berkata, "Itulah orang yang telah melakukan ini dan itu kepada kami."
‘Abdurrahman berkata, "Demi Allah, aku akan benar-benar membalas mereka
berdua jika Bilal melihatnya bersamaku. Dialah yang dulu menyiksa Bilal
di Makkah karena ego jahiliah terhadap Islam. Ketika Bilal melihatnya,
ia pun berkata, "Pentolan orang kafir Umayyah bin Khalaf. Aku tidak akan
selamat jika ia selamat!" ‘Abdurrahman berkata, "Kukatakan, ‘wahai
Bilal, ia adalah tawananku." Bilal kembali berkata, "Aku tidak selamat
jika orang itu masih juga selamat." Kemudian dengan nada lantang ia
berteriak, "Wahai orang-orang Anshar, pentolan orang kafir adalah
Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika orang itu masih juga
selamat." Orang-orang pun berkumpul mengelilingi kami. Lalu aku ikut
bersama mereka. Salah seorang mengayunkan pedangnya ke kakinya hingga ia
terjatuh. Umayyah berteriak histeris, sesuatu yang belum pernah
kudengar sebelumnya. ‘Abdurrahman berkata, "Kukatakan kepada Umayyah,
"Selamatkanlah dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi keselamatan bagi
dirimu! Demi Allah, aku tidak akan menolongmu sedikitpun." Ia berkata,
"Orang-orang pun berkumpul dan menghajarnya dengan pedang-pedang mereka
sampai mereka membereskan keduanya."
‘Adurrahman berkata, "Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala
senantiasa merahmati Bilal, ia telah menyakitiku dengan baju besi dan
tawananku!!!" Demikianlah, barangsiapa yang berselisih dengan Allah,
maka ia pun akan kalah. Dan barangsiapa yang menantang Allah Subhanahu wa Ta'ala.
dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadi orang-orang yang begitu terhina.
Dan barangsiapa yang bersikap semena-mena terhadap hamba-Nya, maka
niscaya Ia akan membalasnya dengan balasan yang setimpal. Ia jadikan
dirinya sendiri sebagai pelajaran dan tanda kekuasaan-Nya. Dan azab
akhirat itu benar-benar lebih menyakitkan dan lebih dahsyat.
"Dan Allah Maha Menguasai urusan-Nya, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya."[6]
--Selama
Perang Badar berlangsung terjadi satu pergolakan antara ikatan
emosional dengan akidah yang perjuangkan selama ini. Tidak sedikit kaum
muslimin (demikian pula Rasulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam.)
yang harus mendapati keluarga mereka berada di tengah barisan kaum
musyrikin. Seseorang mungkin akan menemukan saudara, orang tua, paman,
atau bahkan menantunya. Antara akidah dan perasaan pun saling
berhadap-hadapan. Namun perasaan dan ikatan emosional harus lebur dan
tunduk di hadapan akidah dan keyakinan yang sudah tertanam begitu kuat.
Demikianlah karakter seorang mukmin adalah senantiasa komitmen dengan
aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.
"Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian jadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai
wali jika ternyata mereka lebih mencintai kekafiran daripada keimanan.
Dan barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai walinya
maka mereka itulah orang-orang yang zalim."[1]
Sebagai contoh Abu Hudzaifah bin ‘Utbah
yang berada di barisan kaum muslimin sementara orang tuanya ‘Utbah bin
Rabi'ah berada di pihak orang musyrik. Abu Hudzaifah mengajak ayahnya
untuk memenuhi seruan kebenaran. Namun sang ayah yang sudah begitu jauh
terjebak di dalam kejahiliyahan tetap kukuh di dalam kesesatan sampai
akhirnya kesesatan tersebut mengantarkannya kepada ujung kehidupan yang
sangat buruk sekali. Ia tewas di tangan kaum muslimin di tengah
peperangan. Setelah kemenangan menjadi milik kaum muslimin, Rasulullah
pun memerintahkan sahabatnya untuk memasukkan orang-orang musyrikin yang
telah tewas ke dalam kubangan besar.
Dan ketika tubuh ‘Utbah bin
Rabi'ah diangkat, beliau pun memandang ke arah Hudzaifah bin ‘Utbah.
Beliau tampak berubah. Ia berkata kepadanya, "Wahai Hudzaifah, mungkin
di dalam hatimu terdapat sesuatu tentang apa yang telah menimpa orang
tuamu?" Hudzaifah menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah. Aku tidak ada
keraguan sedikitpun pada diriku tentang ayahku dan kematiannya. Namun
aku tahu benar kelembutan, pandangan, dan kelebihannya. Aku begitu
berharap seandainya saja Allah memberikan hidayah kepadanya. Dan ketika
aku melihat apa yang telah menimpa dirinya, aku pun teringat bagaimana
ia mati dalam keadaan kafir setelah aku berharap sebaliknya, hal itulah
membuatku sedih." Maka Rasulullah saw. pun mendoakan dan menghiburnya
dengan kata-katanya.
Bersama Para Tawanan
Pada peperangan ini,
kaum muslimin berhasil membunuh 70 orang dari kalangan orang-orang
musyrikin dan menahan sekitar 70 orang. Rasulullah saw. memerintahkan
untuk membunuh 2 orang tawanan karena permusuhan dan kebencian mereka
yang sudah di luar batas, selain mereka berdua adalah orang yang paling
banyak melakukan kelaliman. Status keduanya lebih sebagai penjahat
perang, bukan lagi sebagai tawanan perang. Karena selama ini mereka
begitu berambisi untuk berbuat makar kepada umat Islam dan menyiksa
orang-orang yang lemah dari kalangan mereka. Keduanya terkenal begitu
menantang Allah swt. dan Rasul-Nya. Sehingga jumlah tawanan tersisa 68
orang.
Rasulullah saw. meminta pendapat para sahabatnya seputar apa
yang akan mereka perbuat terhadap tawanan perang tersebut. ‘Umar bin
Khaththab berkata, "Wahai Rasulullah, mereka telah mendustakan,
memerangi, dan mengusirmu. Menurutku sebaiknya kau izinkan aku untuk
menebas leher fulan (yaitu kerabatnya sendiri). Dan kau izinkan Hamzah
untuk membunuh ‘Abbas, dan ‘Ali membunuh ‘Uqail. Begitulah agar orang
tahu bahwa tidak ada kecintaan sedikitpun di dalam hati kami terhadap
orang-orang yang musyrik. Aku melihat bahwa engkau tidak perlu
menjadikan mereka sebagai tawanan. Tebaslah semua leher mereka.
Prajurit, para pemimpin, dan pemuka mereka." Usulan ini disetujui oleh
Sa'd bin Mu'adz dan ‘Abdullah bin Rawahah.
Sementara Abu Bakar
berkata, "Wahai Rasulullah, mereka itu adalah kaum dan keluargamu juga.
Allah swt. telah menganugerahkan kemenangan kepadamu. Menurutku
sebaiknya engkau biarkan saja mereka sebagai tawanan dan kau minta dari
mereka tebusan. Sehingga tebusan tersebut dapat menjadi sumber kekuatan
kita untuk menghadapi orang-orang kafir. Dan semoga Allah swt.
memberikan petunjuk-Nya kepada mereka melalui dirimu sehingga mereka pun
akan menjadi pembelamu."
Akhirnya Rasulullah saw. mengambil pendapat
Abu Bakar. Beliau pun membagi-bagikan sisa tawanan (68 orang) kepada
sahabat-sahabatnya sambil berpesan, "Perlakukanlah para tawanan itu
dengan baik" kemudian beliau menerima tebusan dari para tawanan
tersebut. Orang kaya akan membayar satu orang tawanan sebesar sekitar
1.000 hingga 4.000 dirham. Sementara orang-orang miskin, sebagian mereka
dibebaskan begitu saja tanpa dimintai tebusan. Beliau pun menuntut dari
para tawanan yang memiliki ilmu untuk mengajarkan kepada anak-anak kaum
muslimin membaca dan menulis sebagai tebusan bagi diri mereka.
Keutamaan Ukhuwah Imaniah
Abu
‘Aziz bin ‘Umair bin Hasyim, saudara Mush'ab bin ‘Umair, menjadi
tawanan Abu Yusr Al-Anshari. Suatu hari Abu ‘Aziz lewat dan bertemu
dengan saudaranya Mush'ab. Mush'ab pun berkata kepada Abu Yusr,
"Tahanlah tanganmu dari tawananmu, karena ibunya adalah seorang yang
kaya. Ia akan menebusnya untukmu dengan harta yang banyak. Abu ‘Aziz,
saudaranya berkata, "Wahai saudaraku, ini adalah perlakuanmu kepadaku?"
Mush'ab berkata kepadanya, "Sesungguhnya ia (Abu Yusr) adalah saudaraku
selain dirimu."
Dan ketika tebusannya diminta, ibunya bertanya berapa
tebusan terbesar yang diberikan untuk membebaskan orang Quraisy. Maka
dikatakan kepadanya 4.000 dirham. Wanita itu pun mengirim 4.000 dirham
dan menebus anaknya. Demikianlah bagaimana ukhuwah imaniah ternyata
lebih berharga dari sekedar jalinan persaudaraan yang dibangun atas
dasar pertalian darah dan keturunan. Karena ukhuwah imaniah adalah
persaudaraan yang dibangun di atas kebenaran dan di jalan Allah swt.
Menantu Rasulullah Menjadi Tawanan Perang
Abu
‘Ash bin Rabi' bin ‘Abdul ‘Uzza tertawan ketika Perang Badar. Ia adalah
menantu Rasulullah saw., suami dari putri beliau, Zainab. Abu ‘Ash
merupakan orang Makkah yang cukup diperhitungkan dari segi harga,
kejujuran, dan perdagangannya. Ibunya adalah Halah binti Khuwailid,
saudara perempuan Khadijah binti Khuwailid. Khadijahlah yang dulu
meminta kepada Rasulullah saw. agar menikahkan lelaki itu kepada putri
beliau, Zainab. Khadijah sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Dan
karena pertimbangan itulah Rasulullah saw. tidak menolak permintaan
istrinya tersebut. Hal ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi
seorang nabi.
Namun ketika wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah
saw. dan orang-orang Quraisy pun mulia memusuhinya, Abu Lahab berkata,
"Buatlah Muhammad sibuk dengan dirinya sendiri, dan ceraikanlah
putri-putrinya dari suami-suami mereka." Ia pun memerintahkan putranya,
‘Utbah hingga akhirnya ia menceraikan putri Rasulullah saw. Ia juga
mendatangi Abu ‘Ash bin Rabi'dan memintanya untuk menceraikan Zainab.
"Ceraikanlah istrimu, setalah itu kami akan menikahkanmu dengan
perempuan Quraisy mana saja yang kau inginkan." Abu ‘Ash menjawab,
"Tidak, demi tuhan, aku tidak akan menceraikannya. "Aku tidak ingin
wanita Quraisy menggantikan istriku."
Rasulullah saw. memuji sikapnya
kala itu. Dan ketika penduduk Makkah membawa tebusan bagi tawanan
perang, Zainab pun membawa harta untuk menebus suaminya, Abu ‘Ash. Ia
membawa sebuah kalung yang dihadiahkan oleh ibunya, Khadijah, ketika ia
menikah dengan Abu ‘Ash. Ketika Rasulullah saw. melihatnya, hatinya pun
langsung terenyuh dalam. Beliau berkata, "Jika kalian bersedia untuk
membebaskannya dan mengembalikan barang miliknya, maka lakukanlah."
Sahabat menjawab, "Baiklah, wahai Rasulullah." Mereka pun membebaskan
Abu ‘Ash dan mengembalikan kalung milik Zainab. Hal ini beliau lakukan
karena Abu ‘Ash membiarkan Zainab turut berhijrah ke kota Madinah.
Rasulullah saw. sendiri telah membebaskan beberapa orang tawanan perang
tanpa ada tebusan ataupun bayaran sedikitpun, mengingat kondisi mereka
yang menuntut untuk hal tersebut.
Hasil Perang Badar
Perang Badar
(dengan seluruh hasil yang ia torehkan bagi sejarah harakah Islamiah
maupun sejarah umat manusia seluruhnya) telah menjadi sebuah pelajaran
yang sangat jelas sekali bagi harakah Islamiah maupun bagi perjalanan
sejarah ke depan. Allah swt. menyebut hari itu dengan nama "yaumul
furqan yaum iltaqa al-jam'an" atau hari pembeda, hari dimana dua
kekuatan bertemu. Peperangan ini sendiri memberikan beberapa buah hasil
penting antara lain:
1. Perang Badar merupakan pembatas di antara dua
ikatan dan menjadi pembeda antara yang haq dan yang bathil. Kekuatan
umat Islam semakin kuat sehingga dataran Arab pun turut
memperhitungkannya. Kebenaran muncul di permukaan dengan rambu-rambu
akidah dan prinsip-prinsip dasar yang dibawanya.
2. Tergoncangnya
kedudukan Quraisy di mata orang Arab serta kegalauan penduduk Makkah di
hadapan tamparan yang tak diduga tersebut.
3. Tampilnya umat Islam
sebagai sebuah kekuatan yang memiliki arti dan pengaruh. Hal ini
menyebabkan banyak kabilah yang tinggal di sepanjang jalur Makkah dan
Syam membuat perjanjian kesepakatan dengan mereka. Dengan demikian kaum
muslimin sudah berhasil menguasai jalur tersebut.
4. Sebelum Perang
Badar meletus, kaum muslimin mengkhawatirkan keberadaan orang-orang non
muslim yang tinggal di kota Madinah. Namun setelah mereka kembali
ternyata kenyataannya justru sebaliknya.
5. Semakin bertambahnya
kebencian orang-orang Yahudi terhadap umat Islam. Sebagian mereka mulai
menunjukkan permusuhannya secara terang-terangan. Sementara yang lainnya
menjadi agen yang membawa berita seputar perihal kaum muslimin kepada
orang-orang Quraisy serta memprovokasi mereka untuk menyerang umat
Islam.
6. Aktivitas perdagangan Quraisy menjadi semakin sempit.
Akhirnya mereka terpaksa menapaki jalur Irak melalui Najd karena takut
apabila dikuasai oleh orang-orang islam. Dan jalur ini merupakan jalur
yang panjang.
7. Pada Perang Badar, 14 orang dari kalangan umat Islam
gugur sebagai syuhada; 6 orang dari kalangan Muhajirin dan 8 orang dari
kalangan Anshar. Sementara dari pihak orang musyrikin tewas sebanyak 70
orang dan 70 orang lagi berhasil ditawan. Kebanyakan dari mereka adalah
pemuka dan pembesar Quraisy.
Pelajarang Dari Perang Badar
Mereka
yang mempelajari peristiwa Perang Badar dan merenungi kejadian demi
kejadian dengan seksama, maka niscaya akan banyak sekali pelajaran yang
dapat ia ambil. Antara lain:
1. Janji Allah swt. bagi orang-orang
yang beriman dan berusaha dengan penuh kesungguhan berupa kemenangan
pasti akan ditepati. Apa yang Ia inginkan pasti terjadi dan tidak satu
pun yang dapat menolaknya.
2. Sesungguhnya Allah swt. tidak akan
menegakkan yang hak dan meruntuhkan kebatilan kecuali melalui tangan
orang-orang yang senantiasa sabar dan berjihad.
3. Kebersamaan,
kesatuan garis komando (kepemimpinan), persatuan merupakan jalan yang
akan mengantarkan kepada kemenangan dan keberhasilan.
4. Strategi
perang yang baru serta persiapan yang matang merupakan salah satu faktor
kemenangan di dalam peperangan. Hal inilah yang telah dilakukan oleh
Rasulullah saw. pada Perang Badar. Beliau memerangi kaum musyrikin
dengan strategi baru dan pengalaman dari kaum muslimin.
5. Kekokohan
akidah mampu memberikan satu perasaan tsiqah yang sangat kuat,
meningkatkan semangat, dan mendidik prajurit sejati. Allah swt.
berfirman, "Berapa banyak kelompok dengan jumlah sedikit mampu
mengalahkan kelompok dengan jumlah yang banyak dengan izin Allah. Dan
Allah benar- benar bersama orang-orang yang bersabar."[2]
________________________________________
[1] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Hal 145
[2] . Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq. Lihat kembali Sirah Ibnu Hisyam, 1/606
[3] . Ar-Raudh al Anf ; 2/32-38
[4] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam / 150
[5] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam / 156
[6] . Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam / 156
Perang Badar Kubra (bagian 2)
Sirah Nabawiyah
15/9/2008 | 14 Ramadhan 1429 H | Hits: 2,897
Oleh: Tim dakwatuna.com
________________________________________
________________________________________
[1] . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[2] . Surah Al Anfal9-10
[3] . Sirah Nabawiah, Ibnu Hisyam 1/627
[4] . Diriwayatkan oleh Imam Muslim 2/139
[5] . Ar-Rahiq Al Makhtum, hal 245
[6] . Yusuf 21
Perang Badar Kubra (bagian 4)
Sirah Nabawiyah
29/9/2008 | 28 Ramadhan 1429 H | Hits: 2,903
Oleh: Tim dakwatuna.com
________________________________________
________________________________________
[1] . At Taubah 23.
[2] . Al Baqarah 249