Tauhid dan Jihad
Ikhwani fillah, materi kali adalah tentang hakikat Islam dan Hakikat syirik… dan kitab yang akan kita kaji kali ini berjudul Al Haqaiq Fit Tauhid yang ditulis oleh Asy Syaikh Ali Khudlair Al Khudlair.
Materi ini juga menjelaskan tentang
banyak kekeliruan dalam memahami hakikat tauhid dan hakikat syirik yang
diakibatkan pemahaman yang salah tentang keduanya, dan juga tidak bisa
membedakan antara hakikat nama sebelum hujjah dan nama sesudah hujjah.
Oleh sebab itu Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
“Allah telah membedakan antara nama-nama dan hukum-hukum sebelum dan
sesudah risalah. Dan Allah juga menyatukan antara hal-hal itu dalam
nama-nama dan hukum” (Majmu Al Fatawa, 20/37).
Dan beliau juga mengatakan: “Memahami
atau mengetahui batasan-batasan nama dalam dien ini adalah wajib,
terutama berkaitan dengan batasan apa yang telah Allah turunkan kepada
para Rasul-Nya, terutama yang paling penting adalah memahami batasan
antara hakikat tauhid dan hakikat syirik, karena di atas hal itu
dibangun hukum-hukum yang banyak, oleh karena itu kekeliruan dalam
masalah ini berbeda dengan kekeliruan dalam nama-nama yang lainnya”
Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah menjelaskan dalam tafsir firman Allah ta’ala:
فَرِيقًا
هَدَى وَفَرِيقًا حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلاَلَةُ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا
الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ اللّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم
مُّهْتَدُونَ [7:30]
“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan
sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka
menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka
mengira bahwa mereka mendapat petunjuk”. (QS al-A’raf 7:30)
Beliau mengatakan: “Sebagian kelompok,
Allah memberikan mereka hidayah dan kelompok lain telah tetap kesesatan
atas mereka karena mereka menjadikan setan sebagai pelindung (sembahan)
bagi mereka selain Allah, dan mereka menyangka bahwa mereka orang-orang
yang mendapat petunjuk”
Ibnu Jarir rahimahullah menjelaskan
bahwa ayat ini termasuk dalil yang paling jelas dalam menjelaskan
tentang kekeliruan ucapan orang yang mengklaim bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala
tidak akan mengadzab seorang atas maksiat yang dilakukannya atau
kesesatan yang diyakininya kecuali bila dia melakukannya setelah
mengetahui kebenaran, terus dia melakukannya sebagai bentuk
pembangkangan terhadap Tuhannya.
Jadi, pernyataan bahwa Allah tidak akan
mengadzab seseorang atas maksiat yang dilakukannya atau kesesatan yang
dia yakini kecuali kalau dia meyakini atau melakukan maksiat tersebut
setelah dia mengetahui kebenaran terus dia melakukannya sebagai bentuk
pembangkangan terhadap Allah, maka sesungguhnya pernyataan tersebut
adalah bathil dan digugurkan oleh firman Allah tadi. Karena jika
seandainya pernyataan itu benar, tentu tidak ada perbedaan antara
kelompok yang sesat di mana dia mengira bahwa dia berada di atas
kebenaran dengan kelompok yang memang berada di atas kebenaran,
sedangkan Allah telah membedakan antara keduanya di dalam nama dan dalam
hukum. Kemudian Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan: “Banyak sekali umat
ini binasa karena sebab mereka tidak mengetahui batasan-batasan dan
hakikat-hakikat suatu hal dan suatu perbuatan. Dan banyak sekali
kekeliruan, keraguan, penyimpangan yang terjadi dengan sebab orang tidak
mengetahui hakikat suatu nama atau suatu hal” (Minhajut Ta-sis, 12)
Contohnya di sini beliau menjelaskan
tentang nama Islam dan Syirik, yang mana banyak orang tidak mengetahui
hakikat Islam itu apa? dan hakikat syirik itu apa? Banyak orang yang
tidak mengetahui hakikat keduanya mereka jatuh ke dalam kemusyrikan.
Ketika melihat realita orang yang tidak
memahami apa itu hakiat Islam sedang dia mengira dirinya berada di atas
keislaman, ternyata realita dalam perbuatan yang dia lakukan itu adalah
kemusyrikan, dan dia tidak merasa bahwa dirinya syirik.
Karena tidak dapat memahami hakikat
Islam dan hakikat syirik maka dengan hal inilah banyak orang yang
terjatuh ke dalam kemusyrikan. Seperti realita zaman sekarang, ketika
orang tidak mengetahui kedua hakikat itu, apalagi syirik hukum yang
melanda pada zaman sekarang yaitu syirik demokrasi, banyak orang
terjatuh ke dalam kemusyrikan ini tanpa mereka sadari, sedangkan Al
Islam dan Asy Syirku itu adalah naqidlan (dua hal yang
kontradiksi), seperti siang dan malam, tidak bisa keduanya bersatu dan
tidak bisa kedua-duanya terpisahkan dari diri seseorang di dalam waktu
yang bersamaan, jika tidak Islam berarti syirik atau kebalikannya pasti
ada.
Seseorang tidak bisa dikatakan muslim
sekaligus juga dikatakan musyrik di dalam waktu yang bersamaan, di mana
jika bukan musyrik berarti dia muslim, dan jika dia bukan muslim maka
berarti dia musyrik, jika ada syirik akbar maka tauhid pasti hilang.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan berkata: “Jika syirik ada maka tauhid lenyap”.(Syarhu Ashli Dienil Islam).
Ketika orang menganut sistem syirik
demokrasi maka tauhidnya pasti hilang, ketika orang membuat tumbal dan
sesajian maka tauhidnya sudah pasti hilang.
Syaikh Abdullathif berkata: “Kejahilan
(kebodohan) terhadap dua hakikat ini (Islam dan Syirik) atau kebodohan
terhadap salah satunya menjerumuskan banyak manusia ke dalam
kemusyrikan, ke dalam peribadatan kepada orang-orang shalih”.
Jadi, yang menyebabkan orang
meminta-minta kepada kuburan, karena dia tidak mengetahui bahwa
perbuatan itu syirik, padahal dia tahu bahwa syirik itu dosa yang paling
besar, yang mana kalau dia mati di
atasnya maka tidak akan diampuni, oleh karena tidak paham hakikat syirik
maka dia tidak menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah kemusyrikan.
Dia tidak paham terhadap hakikat kemusyrikan ini, tidak paham akan
hakikat Islam, maka dia merasa bahwa dirinya sudah Islam dengan sekedar
mengucapkan Laa ilaaha illallaah, shalat, dan lain-lain, dia merasa dirinya Islam padahal perbuatan syirik sedang dia lakukan.
Ini adalah akibat kejahilan terhadap
hakikat Islam dan hakikat Syirik. Bila salah satunya tidak diketahui
maka hal itu menjerumuskan ke dalam kemusyrikan.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan dalam Syarh Ashli Dienil Islam mengatakan:
“Sesungguhnya orang yang melakukan
kemusyrikan maka dia itu telah meninggalkan tauhid, karena tauhid dan
syirik itu adalah dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu”.
Jadi, bila syirik dilakukan, seperti
orang menyembelih untuk tumbal atau sesajian atau membuat tumbal, atau
membuat undang-undang atau memutuskan dengan selain hukum
Allah atau merestui hukum buatan manusia
atau tunduk dan loyal kepadanya, atau mengikuti dan setuju dengannya,
maka tauhidnya lenyap, dia bukan seorang muslim lagi, tapi dia orang
musyrik.
Syaikh Abdullah Aba Bhutain rahimahullah
mengatakan: “Di antara hal yang wajib untuk diperhatikan adalah
mengetahui batasan-batasan apa yang telah Allah turunkan kepada
Rasul-Nya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencela orang yang tidak mengetahui batasan-batasan apa yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya :
الأَعْرَابُ
أَشَدُّ كُفْرًا وَنِفَاقًا وَأَجْدَرُ أَلاَّ يَعْلَمُواْ حُدُودَ مَا
أَنزَلَ اللّهُ عَلَى رَسُولِهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [9:97]
“Orang-orang Arab Badwi itu, lebih
sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajartidak mengetahui
hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya”. (QS. at Taubah
9:97).
Jadi, di sini orang yang tidak
mengetahui batasan-batasan apa yang telah Allah turunkan kepada
Rasul-nya adalah dicela oleh Allah, maka kita harus mengetahui
batasan-batasan tersebut agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang
kita tidak mengetahui bahwa itu bertentangan dengan apa yang Allah
perhatikan.
PERTAMA : HAKI IKAT I ISLAM
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَإنْ حَآجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ
“Bila mereka menghujjah kamu, maka
katakanlah: “Saya serahkan wajah saya hanya kepada Allah dan begitu juga
orang yang mengikutiku menyerahkan wajahnya kepada Allah saja”. (QS.
Ali Imran 3:20)
Di sini disebutkan bahwa hakikat Al
Islam adalah menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah, dalam arti
menujukan seluruh peribadatan, ketundukan, keberserahdirian hanya kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Andaikata orang beribadah kepada Allah
dan menujukannya kepada Allah, akan tetapi menuju kepada yang lain juga,
maka berarti dia tidak menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah,
berarti dia belum muslim…
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
menjelaskan: “Bila amalan kamu seluruhnya ditujukan kepada Allah maka
kamu ini orang yang bertauhid, dan bila ada penyekutuan di dalamnya
terhadap makhluk maka kamu ini adalah orang musyrik”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ [2:112]
“(Tidak), barangsiapa yang
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, sedang ia berbuatbaik, maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka
danmereka tidak bersedih hati”. (QS. al-Baqarah 2:112)
Ayat: “menyerahkan diri sepenuhnnya”
adalah sama dengan menyerahkan wajah sepenuhnya, dan ayat “berbuat baik
(muhsin)” maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul.
Di sini disebutkan bahwa Islam adalah menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala disertai dengan ihsan (ittiba = mengikuti) apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah
mengatakan Al Islam: “Islam itu adalah mentauhidkan Allah, ibadah hanya
kepada Allah tidak ada sekutu bagi-Nya. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul. Bila hal-hal ini tidak dibawa
oleh seorang hamba maka dia bukan seorang muslim”.(Thariqul Hujratain,
452).
Karena tidak memenuhi keberserahan diri kepada Allah dan tidak disertai dengan ihsan kepada tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Kemudian firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ
واتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللّهُ إِبْرَاهِيمَ
خَلِيلاً [4:125]
“Dan siapakah yang lebih baik
diennya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang diapun mukhlis (muhsin/ittiba), dan ia mengikuti agama Ibrahim
yang lurus ?” (QS. an-Nisaa’ 4:125)
P a s a l
Pasal ini akan mengutarakan syarat-syarat Islam atau syarat-syarat Laa ilaaha illallaah…
1. Al Ilmu (ilmu)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ
وَمَثْوَاكُمْ [47:19]
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecualiAllah” (QS. Muhammad 47:19)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: “Siapa yang mati sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah
yang berhak diibadati selain Allah, dia pasti masuk surga”(HR Muslim)
Kedua dalil di atas menjelaskan tentang syarat pertama diterimanya Laa ilaaha illallaah, yaitu al ilmu, mengetahui makna kandungan daripada Laa ilaaha illallaah. Seseorang harus mengetahui makna Laa ilaaha illallaah.
Banyak orang mengetahui terjemahannya
tapi tidak mengetahui maknanya, jika orang yang pernah mengkaji tauhid
mengartikannya: “tidak ada tuhan yang berhak diibadati selain Allah”,
sedangkan orang yang mengetahui sebatas terjemahannya mengatakan: “tidak
ada Tuhan selain Allah”. Sedangkan maknanya adalah harus mengetahu
hakikat uluhiyyah dan ubudiyyah, hakikat ibadah yang hanya boleh
ditujukan kepada Allah, sehingga ketika orang mengucapkan Laa ilaaha illallaah itu maka dia berada di atas ilmu, yaitu mengetahui apa yang harus dia tinggalkan dan apa yang harus dia lakukan.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa Laa ilaaha illallaah menuntut orang muslim dari menafikan empat hal, yaitu: Arbab, Alihah, Andad dan Thaghut. Dan berikut ini adalah penjelasannya:
a. Alihah
Alihah adalah kata jamak dari ilah yang
artinya tuhan. Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan
secara khusus tentang definisi ilah atau tuhan ini: “Sesuatu yang
engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta
manfaat”.
Contoh: Batu besar... batu dituju oleh
orang dengan suatu hal (yaitu sesajian atau yang sejenisnya), berarti
batu itu dituju oleh orang dengan maksud meminta manfaat atau meminta
dijauhkan dari bala (bencana). Maka di sini batu itu telah menjadi ilah
selain Allah atau telah dipertuhankan selain Allah.
Contoh: Pohon besar... orang datang ke
pohon itu dengan membawa sesajian atau berupa sembelihan atau yang
semisalnya. Maka ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin orang
membawa atau menyimpan sesaji-sesajian di pohon tersebut tanpa ada
maksud, sedang ini tidak akan lepas dari dua hal: minta untuk penolakan
bala atau minta manfaat. Ini berarti pohon tersebut telah diperlakukan
sebagai ilah (tuhan) selain Allah oleh orang tersebut.
Contoh: Kuburan... ia di tuju oleh orang
dengan suatu permintaan, dan ini tidak akan lepas dari dua hal, jika
tidak meminta manfaat maka ia minta ditolakkan dari bala, ketika orang
datang ke kuburan yang dikeramatkan itu maka berarti dia telah
menjadikan kuburan tersebut sebagai ilah (tuhan) selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Contoh: Jin... ketika orang mau
membangun sebuah rumah, kemudian ada yang mengatakan bahwa tanah atau
daerah yang akan dipakai untuk membangun rumah tersebut ada
“penunggunya”, lalu orang yang membangun rumah tersebut segera membawa
sembelihan ayam atau ternak apa saja untuk dikuburkan di tanah tersebut.
Berarti di sini, dia menuju ke yang menunggu tersebut (jin) dengan
sesuatu hal (tumbal sembelihan) dengan maksud agar ketika menempati
rumah tersebut dia tidak diganggu oleh jin si penunggu tersebut... dan
contoh lain yang mana antum juga bisa mengetahuinya jika dihubungkan
dengan realita.
Jika orang tidak mengetahui bahwa ketika
dia membuat tumbal atau sesajian itu adalah bentuk pentuhanan selain
Allah, atau bentuk mempertuhankan selain Allah, maka berarti sebenarnya
dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah, dan jika dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah maka dia itu belum muslim.
Oleh karena itu aneh sekali apabila ada
orang yang mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan, karena
justeru di antara syarat Laa ilaaha illallaah adalah memahami atau mengetahui makna Laa ilaaha illallaah. Sedangkan jika orang melakukan kemusyrikan karena ketidaktahuannya berarti dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain dia belum merealisasikan salah satu syarat Laa ilaaha illallaah, yaitu al ilmu, dan jika demikian maka Islamnya belum sah.
Ini adalah makna Alihah, kata
jamak dari ilah yang artinya tuhan-tuhan selain Allah, yaitu orang
dituntut untuk meninggalkan atau berlepas diri dari pada ilah-ilah atau
tuhan-tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan ketika orang mengucapkan Laa ilaaha illallaah akan tetapi dia belum meninggalkan hal-hal tadi maka dia belum mengamalkan Laa ilaaha illallaah ini.
b. Arbab
Arbab adalah kata jamak dari
Rabb yang artinya pengatur, maka dari itu Allah disebut Rabbul ‘alamin
yang artinya Tuhan Pengatur alam semesta.
Rabb adalah pengatur. Ini berarti
berhubungan dengan aturan atau undang-undang. Karena Allah yang
menciptakan alam semesta, maka Allah-lah yang berhak menentukan hukum,
baik itu hukum kauni (hukum alam) maupun hukum syar’iy, karena Allah
adalah Rabbul ‘alamin…
Sebagai konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah, maka kita harus menafikan rububiyyah (pengaturan) dari selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
tidak ada yang berhak untuk mengatur, tidak ada yang berhak untuk
menentukan hukum, aturan, undang-undang selain Allah, karena Allah
adalah Rabbul ‘alamin…
Ketika sifat ini diberikan kepada selain
Allah, maka ini berarti telah memberikan salah satu sifat Allah kepada
makhluk-Nya. Jadi, orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak untuk
membuat hukum atau undang-undang maka berarti dirinya itu telah
memposisikan dirinya sebagai tuhan. Dan orang yang mengikuti aturan
orang yang mengklaim berhak membuat hukum tersebut berarti telah
beribadah kepada kepada si arbab (para pengaku tuhan selain Allah)
tersebut.
Kita akan mengetahui makna Rabb dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini:
اتَّخَذُواْ
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ
ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا
لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ [9:31]
“Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah
dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahalmereka
diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada
ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan”. (QS. at-Taubah 9:31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
- Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
- Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
- Mereka telah musyrik
- Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi rabb.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim (seorang sahabat yang asalnya Nashrani
kemudian masuk Islam), ‘Adiy Ibnu Hatim ketika mendengar ayat-ayat ini
dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang
Nashrani) tidak pernah beribadah kepada alim ulama dan rahib (pendeta)
kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa
Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah
beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau
memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka
(alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang telah Allah haramkan
terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah
mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut
mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah
bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama
dan para rahib).
Jadi, orang-orang Nashrani merasa bahwa
yang namanya ibadah itu adalah shalat, ruku, sujud, mereka tidak merasa
bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah sebagai bentuk kemusyrikan,
mereka juga tidak menyadari bahwa sikap setuju dan mengikuti dalam
pengharaman apa yang telah Allah halalkan dan penghalalan apa yang Allah
haramkan itu adalah sebagai bentuk kemusyrikan.
Di antara faidah yang bisa diambil dari
hadits di atas adalah bahwa vonis MUSYRIK di dalam ayat tersebut
bukanlah dengan sebab mereka shalat atau sujud kepada alim ulama dan
para rahib mereka, akan tapi dikarenakan ketika alim ulama membuat hukum
atau mengaku berhak membuat hukum, terus hukumnya diikuti, ditaati dan
di komitmeni oleh orang-orang yang ada di bawahnya, maka Allah memvonis
hal itu sebagai bentuk peribadatan. Jadi yang namanya arbab itu adalah yang membuat hukum selain Allah atau yang mengaku berwenang membuat hukum selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Arbab adalah tuhan-tuhan
pengatur yang membuat hukum selain Allah, dan dalam surat at- Taubah 9:
31 ini alim ulama dan para rahib adalah mereka yang membuat hukum di
samping Allah Subhanahu wa Ta'ala, kemudian hukum buatannya itu
diikuti oleh orang-orang Nashrani tersebut, maka perbuatannya ini
(membuat hukum) artinya telah memposisikan dirinya sebagai arbab
(tuhan-tuhan pengatur selain Allah). Sedangkan orang yang mengikuti
hukum tersebut atau komitmen untuk mentaatinya dan merujuk kepada
hukumnya itu maka Allah memvonisnya sebagai orang-orang yang telah
beribadah kepada alim ulama (ahli ilmu) dan para rahib (para pendeta),
atau dengan kata lain Allah memvonisnya sebagai orang musyrik.
Jadi, konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah
ini adalah berlepas diri dari segala pembuat hukum selain Allah dan
berlepas diri dari setiap hukum selain yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka jika orang tidak memahami bahwa penyandaran hukum kepada selain
Allah itu adalah termasuk kemusyrikan dan termasuk pelanggaran terhadap Laa ilaaha illallaah berarti keislamannya belum sah.
c. Andad
Andad adalah kata jamak daripada nidd yang
artinya tandingan, maksudnya di sini adalah sesuatu yang memalingkan
kamu dari Islam (tauhid), dan ini bisa berbentuk harta, isteri, anak,
suku/adat atau tanah air. Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman:
فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ [2:22]
“Maka janganlah kamu menjadikan andad selain Allah sedangkan kamu mengetahui”(QS. al-Baqarah 2:22)
Contoh: Seorang ayah punya anak yang
sakit, dia sudah berobat ke mana-mana, kemudian dia putus asa dan
akhirnya karena ada yang menyarankan untuk pergi ke dukun akhirnya dia
pergi ke dukun tersebut dan diapun mengikuti apa yang disarankan si
dukun itu, maka si anak ini telah menjadi andad bagi si ayah
yang menjerumuskannya ke dalam kekafiran, dan ketika dia mengikuti apa
yang disarankan si dukun demi kesembuhan anaknya itu, maka berarti dia
sudah keluar dari Islam karena sudah melanggar Laa ilaaha illallaah.
Contoh: Atau umpamanya orang tahu bahwa
demokrasi itu syirik, sumpah untuk loyalitas kepada hukum thaghut itu
syirik, akan tetapi karena gaji bulanan dan berbagai tunjangan yang
menggiurkan, akhirnya dia mengikrarkan sumpah setia kepada hukum thaghut
ini supaya mendapakannya. Ini berarti kecintaan kepada dunia telah
memalingkan dia dari tauhid dan Islam, dunia telah menjadi andad bagi
dia.
Sebagai konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah, maka orang harus menjauhi hal-hal seperti itu, jangan sampai hal tersebut memalingkan orang daripada tauhid…
d. Thaghut
Laa ilaaha illallaah menuntut untuk menafikan dan berlepas diri dari thaghut. Thaghut diambil dari kata thughyan yang
artinya melampaui batas. Batas makhluk adalah beribadah, batas makhluk
adalah mengikuti aturan Allah, batas makhluk adalah memutuskan dengan
hukum Allah, batas makhluk adalah berposisi di batas makhluk, tidak
mengklaim atau mengaku mengetahui hal yang ghaib apalagi memposisikan
diri sebagai Tuhan atau mengklaim berwenang membuat hukum. Batas makhluk
adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah.
Ketika batas ini dilampaui; di mana
orang yang seharusnya mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah tapi
dia malah mengajak untuk membuat tumbal, sesajian, atau untuk
melaksanakan hukum buatan manusia atau untuk mengikuti sistem selain
syari’at Allah atau mengajak untuk menganut idiologi selain ajaran
Islam, maka hal itu adalah thaghut.
Begitu juga orang yang seharusnya
mengikuti aturan Allah, tapi dia malah membuat hukum selain hukum yang
Allah turunkan, maka sipembuat hukum itu juga adalah thaghut.
Orang yang seharusnya memutuskan dengan
apa yang Allah turunkan -karena dia sebagai makhluk Allah-, akan tetapi
dia malah memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan maka dia juga
adalah thaghut.
Allah menetapkan bahwa pengetahuan
terhadap yang ghaib itu hanya milik Allah, akan tetapi ketika orang
mengklaim bahwa ia mengetahui hal yang ghaib, maka ia telah memposisikan
dirinya sebagai tuhan dan dia telah melampaui batasannya sebagai
makhluk, sedangkan konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah adalah kita harus menafikan hal-hal tersebut.
Jadi firman Allah: “Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali
Allah” (QS Muhammad 47:19), adalah penegasan prihal kewajiban untuk
mengetahui kandungan makna kalimat tauhid ini, yang mana ini adalah
syarat sah baginya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Siapa yang mati sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang
berhak diibadati selain Allah, dia pasti masuk surga” (HR Muslim)
Ini adalah syarat Laa ilaaha illallaah yang pertama…
2. Ikrar
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا [2:136]
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” (QS al-Baqarah 2:136)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah)
Ini adalah syarat yang kedua. Setelah orang mengetahui maknanya, maka selanjutnya dia harus ikrar (mengucapkannya), yaitu mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memerintahkan “katakanlah”, maka berarti Allah memerintahkan untuk
mengatakannya dan demikian juga dalam hadits yang telah lalu.
Para ulama sepakat bahwa; orang yang mampu mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah akan tetapi dia tidak mengucapkannya, maka dia belum muslim walaupun dia mengetahui makna Laa ilaaha illallaah.
Ini seperti Abu Thalib paman Rasulullah, di mana dia mengetahui makna Laa ilaaha illallaah dan dia juga meyakini kebenaran Laa ilaaha illallaah, akan tetapi dia tidak mau mengikrarkannya maka dia tidak memenuhi syarat ini.
Akan tetapi orang yang terlahir dari
keluarga yang muslim, maka ketika sudah dewasa dia tidak diharuskan
untuk mengucapkannya sebagai pertanda masuk Islam sebagaimana yang
disyaratkan oleh sebagian orang atau kelompok tertentu, karena dia
terlahir di atas fithrah, kemudian kedua orang tuanya tidak
menyelewengkan dia kepada Yahudi atau Nashrani atau yang lainnya.
Sehingga tidak disyaratkan apabila dia sudah dewasa untuk mengucapkan Laa ilaaha illallaah
Muhammad Rasulullah. Dan tidak pernah ada satu atsarpun yang
mengharuskan hal ini, dan tidak pernah seorang sahabatpun melakukannya
terhadap anak-anak mereka dalam rangka mengislamkan mereka.
3. Yakin
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا [49:15]
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu” (QS. al-Hujurat 49:15)
Tidak ragu artinya yakin, maka syarat
yang ketiga daripada Laa ilaaha illallaah adalah yakin, yaitu meyakini
makna dan kebenaran akan Laa ilaaha illallaah. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits Muslim dari Abu Hurairah
radliyallahu’anhu: “Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan
membawa dua kalimah syahadah itu seraya dia tidak meragukan kandungan
isinya melainkan dia masuk surga”.
Orang tidak akan meyakini sesuatu
kecuali setelah dia mengetahuinya. Jadi yakin adalah hasil dari ilmu.
Jika orang tidak mengetahui maka mana mungkin meyakininya.
4. Jujur
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ [63:1]
“Dan Allah bersaksi, sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar pendusta” (QS al-Munafiqun 63:1)
Orang munafiq ketika mengucapkan Laa ilaaha illallaah mereka berdusta, maka keimanan mereka itu tidak sah, sedangkan lawan dusta adalah jujur.
Laa ilaaha illallaah, ketika pengucapannya haruslah jujur dari lubuk hati yang paling dalam, bukan di lisan saja. Orang munafiq mengucapkan Laa ilaaha illallaah
di lisannya akan tetapi berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya.
Orang munafiq bukan orang muslim di hadapan Allah, akan tetapi dia
dihukumi muslim di dunia selama dia tidak menampakkan pembatal
keislaman.
Ini adalah syarat lahir bathin yang
harus direalisasikan oleh kita semuanya. Dan kita juga harus
menyampaikan kepada manusia Islam yang seperti ini, Islam lahir dan
bathin.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Mu’adz radliyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia bersaksi Laa ilaaha illallaah dengan penuh kejujuran dari hatinya, maka dia masuk surga”.
Jadi, pengucapan ini harus jujur,
sedangkan kejujuran tidak akan terealisasi kecuali berasal dari pada
suatu yang diyakini dan tidak mungkin dia yakin Laa ilaaha illallaah kecuali setelah dia mengilmui.
5. Mencintai
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ [2:165]
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan andad
selain Allah, mereka mencintai andad-andad itu seperti mereka mencintai
Allah. Dan orang-orang yang beriman adalah amat cinta kepada Allah”
(QS. al-Baqarah 2:165)
Orang tidak mungkin mencintai Laa ilaaha illallaahjika tidak memahami terhadap makna kandungan Laa ilaaha illallaah. Dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Anas radliyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: “Tiga hal yang mana bila ketiga hal itu ada pada diri
seseorang maka dia akan mendapatkan manisnya keimanan, pertama; Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya…”
Kecintaan kepada Allah tidak akan mungkin terjadi kecuali setelah mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
6. Qabul (Menerima terhadap konsekuensi) atau inqiyad (tunduk).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [37:35]
“Sesungguhnya mereka bila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallaah, mereka menolak (menyombongkan diri)” (QS. ash-Shafaat 37:35)
Orang-orang kafir Quraisy Allah katakan
bahwa mereka itu sombong, maka berarti mereka itu sebenarnya paham dan
mengerti, mereka itu mengetahui dan mereka itu yakin juga tidak
mendustakan. Di dalam hatinya mereka membenarkan akan tetapi mereka
menolak untuk mengucapkannya karena mereka memiliki sifat sombong
sehingga menolak tunduk kepada konsekuensinya…
Dalam hadits Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak mungkin masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar dzarrah daripada kesombongan”
Karena kesombongan itu adalah menolak
kebenaran dan menyepelekan orang lain. Jika seseorang menyepelekan atau
meremehkan orang lain maka dia tidak akan menerima kebenaran yang datang
dari orang tersebut.
7. Ikhlas
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَمُخْلِصِينَ [98:5]
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan)
ketaatan kepada-Nya”. (QS. al-Bayyinah 98:5)
Syarat di sini adalah ikhlas dan
maksudnya adalah tulus karena Allah sebagaimana dalam hadits Al Bukhariy
dan Muslim dari Utbah radliyallahu’anhu, Rasulullah mengatakan: Allah
mengharamkan atas mereka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah seraya menngharapkan Wajah Allah dengannya”.
8. Kafir kepada thaghut dan iman kepada Allah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Syarat yang terakhir dari Laa ilaaha illallaah adalah sebagaimana yang Allah firmankan:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا [2:256]
“Barangsiapa yang kafir kepada
thaghut dan iman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah memegang al
‘urwah al wutsqa (buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus)”.
(QS. al-Baqarah 2:256)
Laa ilaaha illallaah tidak akan
sah jika orang tidak kafir kepada thaghut, sebagaimana dalam hadits
Muslim dari Abu Malik Al Asyja’iy dari ayahnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengatakan: “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah maka haramlah darah dan hartanya”
Hadits “kafir terhadap segala sesuatu
yang diibadati selain Allah” maksudnya di sini adalah kafir kepada
thaghut. Di dalam hadits ini, orang ketika mengucapkan Laa ilaaha illallaah
maka dia haram darah dan hartanya, dalam arti dia itu muslim, tapi
syaratnya kufur terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah,
yaitu kufur kepada thaghut...
Itu adalah delapan syarat Laa ilaaha illallaah
yang mana di antara syaratnya ada yang bersifat bathin dan di antaranya
ada yang bersifat dhahir, sedangkan kita harus merealisasikan
syarat-syarat itu semuanya. Karena orang yang merealisasikan
syarat-syarat ini maka dia itu adalah orang muslim haqiqatan (orang
muslilm yang sebenarnya)
Bisa saja seseorang merealisasikan di
antara syarat-syarat itu hanya sebagiannya saja, umpamanya dia tidak
merealisasikan syarat ikhlas dalam pengucapan Laa ilaaha illallaah,
dia tidak tulus dalam mengucapkannya, maka jika dia tidak menampakkan
pembatal keislaman yang dhahir dia tetap hukumi muslim, tapi secara
bathin dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah. Ini
seperti layaknya orang munafiq, di mana dia adalah orang kafir di sisi
Allah, akan tetapi selama dia tidak menampakkan pembatal keislaman maka
dia dihukumi muslim di dunia.
Ketika kita merealisasikan dan ketika
kita mendakwahkan kepada manusia haruslah Islam secara haqiqi (Islam
lahir bathin). Adapun ketika kita bermu’amalah (berinteraksi) dengan
orang lain, maka atas dasar Islam hukmi karena kita tidak bisa
mengetahui apa yang ada di dalam hati orang lain, akan tetapi selama dia
tidak menampakkan pembatal keislaman maka kita hukumi dia sebagai orang
muslim secara hukum dunia. Adapun hakikat sebenarnya maka ia itu
diserahkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini sebagaimana hadits “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad
Rasulullah, mereka shalat dan zakat, bila merela melakukan itu maka
mereka menjaga harta dan dirinya dariku kecuali dengan hak Islam dan
penghisabannya adalah atas Allah”. (HR Al Bukhari Dan Muslim)
Sedangkan nestapa orang yang dihukumi
muslim namun hakikatnya dia orang kafir, maka keadaannya adalah seperti
apa yang Allah firmankan :
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ [4:145]
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka” (QS. an-Nisaa’ 4:145)
Ini adalah pasal tentang syarat Laa ilaaha illallaah,
yang mana Islam terealisasi apabila delapan syarat ini terpenuhi pada
diri seseorang. Dan yang harus diingat bahwa yang diharuskan adalah
merealisasikan hal-hal ini bukan sekedar menghapalnya saja, karena bisa
saja orang menghapalnya akan tetapi dia tidak merealisasikannya dan
orang yang seperti itu banyak, maka orang yang seperti itu tidak akan
mendapatkan janji-janji yang ada dalam hadits-hadits tadi. Dan bisa jadi
orang tidak hapal apabila disuruh untuk menyebutkan apa saja syarat Laa ilaaha illallaah itu, akan tetapi dia benar-benar merealisasikan Laa ilaaha illallaah dan itu juga banyak.
Jadi, yang diperintahkan adalah pengamalannya, jika bersifat teori saja dan tidak membuahkan amal maka itu adalah tidak manfaat.
Ijma-Ijma Ulama Tentang Hakikat Islam
Yang telah disebutkan tadi adalah
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka sekarang adalah ijma-ijma
dari para ulama tentang Hakikat Islam…
Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Fashl
jilid 4 hal 35 mengatakan: “Semua orang Islam sepakat bahwa setiap orang
yang meyakini dengan hatinya dengan keyakinan yang tidak ada keraguan
di dalamnya, kemudian mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad
Rasulullah, dan dia meyakini bahwa semua yang dibawa Muhammad itu
adalah haq (benar) dan dia berlepas diri dari setiap dien selain dien
Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka orang itu muslim mukmin tidak ada nama lain”
Syaratnya menyakini dengan hati dengan
keyakinan yang penuh, sedang hal itu tidak terjadi kecuali atas dasar
ilmu, tidak ada keraguan di dalamnya lalu mengucapkan (ikrar) dan
meyakini bahwa semua yang dibawa Muhammad itu benar, -dan tentunya ini
akan membuahkan amal- dan dia berlepas diri dari setiap dien (ajaran,
hukum, undang-undang, idiologi, falsafah, sistem, agama), maka dia
muslim mukmin.
Jika orang meyakini di dalam hatinya,
lalu mengucapkan dengan lisannya dan meyakini bahwa yang dibawa Muhammad
itu benar, akan tetapi dia tidak berlepas diri dari pada dien (ssstem)
demokrasi, falsafah Pancasila, undang-undang atau hukum-hukum selain apa
yang Allah turunkan, Nasionalisme atau ajaran lainnya, maka dia bukam
muslim meskipun dia mengaku sebagai seorang muslim dan dia melakukan
shalat, zakat, haji dan ibadah lainnya.
Meskipun dia mengaku muslim dan
melakukan amal-amalan shalih, akan tetapi bila dia tidak berlepas diri
dari dien atau ajaran syirik maka semua amalannya itu tidak bermanfaat
bagi dirinya.
Dien itu bukan hanya diterjemahkan
sebagai agama saja. Seperti orang kafir quraisy… mereka juga memiliki
dien, tapi namanya bukan dien quraisy, mereka tidak menyebutkan:
“kami menganut dien Quraisy!”, akan
tetapi mereka punya ajaran seperti yang berlaku seperti yang ada pada
adat-adat di kampung-kampung yang ada di Indonesia ini. Ajaran yang
seperti itu dinamakan dien, makanya Rasulullah diperintahkan untuk
mengucapkan: “lakum dienukum waliya dien” kepada mereka. Jadi, kita
harus berlepas diri dari setiap ajaran selain dien Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab At Taisir:
“Mengucapkan dua kalimah syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa
mengamalkan konsekuensinya, yaitu berupa iltizam (komitmen)
dengan tauhid, meninggalkan segala syirik akbar dan kafir terhadap
thaghut, maka sesungguhnya pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan
ijma”
Syaikh Abdullah Aba Buthain mengatakan:
“Sungguh telah banyak sekali dalil-dalil dari Al Kitab, As Sunnah, dan
ijma umat ini yang mensyaratkan ikhlas untuk segala amalan dan ucapan”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Ulama telah ijma dari
kalangan salaf, khalaf, semenjak zaman shahabat, tabi’in, para imam, dan
seluruh Ahlus Sunnah, bahwa seseorang tidak disebut muslim kecuali
dengan mengosongkan diri daripada syirik akbar dan berlepas diri
darinya…” (Ad Durar As Saniyyah, 11/545-546)
Islam itu adalah berserah diri kepada
Allah, memurnikan ketundukan hanya kepada Allah, menujukan seluruh
ibadah hanya kepada Allah dengan ittiba (mengikuti) kepada tuntunan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
KEDUA : HAKIKAT SYIRIK
Sekarang adalah Hakikat Syirik, ini juga dalilnya dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma Ulama
Dalil Dari Al Qur’an
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّالْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا [72:18]
“Dan Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah” (QS. al-Jin 72:18)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan bahwa mesjid-mesjid itu adalah tempat milik Allah, maksudnya
peribadatan yang dilakukan di dalam mesjid hanya ditujukan kepada
Allah, maka janganlah kalian menyeru yang lain bersama Allah.
Di sini maksudnya adalah Ad Du’a
ma’allah (menyeru yang lain bersama Allah), dengan arti bahwa di samping
seseorang beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang
lainnya. Allah menetapkan dan melarang manusia menyeru yang lain, baik
itu malaikat, nabi, orang shalih atau siapa saja… yang jelas selain
Allah. Jadi, yang namanya syirik di sini adalah Ad Du’a ma’allah
(menyeru yang lain bersama Allah).
Orang ketika melakukan shalat, shaum,
zakat, haji… semua itu adalah ibadah kepada Allah, akan tetapi jika di
samping dia melakukan hal itu dia juga membuat sesajian atau
menyandarkan hukum kepada selain Allah, atau tunduk kepada selain aturan
Allah, ini berarti dia di samping ibadah kepada Allah juga dia ibadah
kepada yang lain-Nya, maka dia masuk kedalam larang surat Al Jin tadi:
“janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah”
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Dan Allah berfirman:
لاَ تَتَّخِذُواْ إِلـهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلهٌ وَاحِدٌ فَإيَّايَ فَارْهَبُونِ [16:51]
“Janganlah kalian menyembah dua Tuhan;
sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja
kamu takut”. (QS. an-Nahl 16:51)
“Janganlah kalian menyembah dua tuhan”,
yaitu menduakan Allah, atau di samping ibadah kepada Allah juga
beribadah kepada yang lain, maka itu adalah dilarang karena itu adalah
kemusyrikan.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا [24:55]
“Mereka menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun”. (QS. an-Nur 24:55)
Syirik adalah menyekutukan Allah, di samping beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang lainnya.
Jika alasan orang; bagaimana kamu
mengatakan si fulan ini musyrik, padahal dia orang yang rajin shalat,
zakat, shaum, haji…”, maka kita katakan: yang namanya ibadah itu hanya
kepada Allah saja, itu yang dituntut.
Adapun jika dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya namun juga
dia mengikuti hukum thaghut atau meminta hajat kepada mayit atau membuat
tumbal maka itu telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
bahkan sebenarnya hakikat ibadah yang dilakukan orang musyrik kepada
Allah jika disertai dengan kemusyrikan maka peribadatan kepada Allah
yang dilakukannya itu adalah tidak dianggap.
Jadi, ketika orang melakukan shalat,
shaum, zakat, haji dan yang lainnya, namum di samping itu dia juga
membuat tumbal dan sesajian, membuat hukum tandingan bagi hukum Allah,
memutuskan dengan selain hukum Allah, maka dia itu adalah musyrik.
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ [1] لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ [109:2]
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. (QS. Al Kafirun 109:1-2)
Ini adalah apa yang Allah perintahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
padahal kita mengetahui bahwa orang Quraisy itu beribadah kepada Allah,
akan tetapi kenapa Rasul diperintahkan demikian? Ibnul Qayyim
rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memerintahkan Rasulullah untuk mengatakan demikian karena sebenarnya
peribadatan kepada Allah ketika disertai dengan peribadatan kepada
selainnya, maka peribadatannya itu tidak dianggap apa-apa, seolah mereka
tidak beribadah kepada Allah” (Badaaiul Fawaaid)
Seseorang yang melakukan shalat, shaum,
zakat, haji dan yang lainnya akan tetapi dia juga setia atau loyal
kepada hukum thaghut, maka pada hakikatnya dia itu tidak beribadah
kepada Allah, tapi dia itu ibadah kepada thaghut.
5. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ [42:21]
“Apakah mereka mempunyai
sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) yang mensyari’atkan bagi mereka dari
dien (ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan?” (QS. asy-Syura 42:21)
Orang yang memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum di samping Allah, maka Allah telah mencapnya sebagai syuraka
(sekutu-sekutu), dan bentuk peribadatannya adalah ketaatan terhadap apa
yang telah mereka syari’atkan di luar syari’at Allah tersebut.
Jadi, yang membuat hukum itu disebut
sekutu-sekutu Allah yang diibadati, dan bentuk peribadatannya adalah
dengan cara mengikuti hukum tersebut. Dan ayat tersebut juga menjelaskan
bahwa penyekutuan itu tidak terbatas hanya kepada dua tuhan yang lain
selain Allah, akan tetapi meskipun banyak tuhan yang diikuti maka itu
adalah termasuk menyekutukan Allah, menserikatkan makhluk-makhluk
bersama Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain:
اتَّخَذُواْ
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ
ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا
لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ [9:31]
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan
(juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka
diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada
ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan”. (QS. at-Taubah 9:31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
- Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib,
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib,
- Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah,
- Mereka telah musyrik,
- Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim (seorang sahabat yang asalnya Nashrani
kemudian masuk Islam), ‘Adiy Ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan
vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani)
tidak beribadah kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”. Jadi
maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis
kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau
penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah
kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau
memohon-mohon kepada mereka?. Maka Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan
apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah
mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut
mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah
bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama
dan para rahib).
Ketika hak kewenangan pembuatan hukum
disandarkan kepada selain Allah, seperti kepada alim ulama dan para
pendeta, maka itu disebut sebagai bentuk penuhanan atau peribadatan
kepada mereka, dan orang yang menyandarkannya atau orang yang mengikuti
dan merujuk kepada hukum buatan disebut orang musyrik yang beribadah kepada hukum
tersebut dan juga telah mempertuhankan
si pembuat hukum tersebut yang mana si pembuat hukum itu disebut arbab
(tuhan-tuhan pengatur).
Dan dalam ayat yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ
تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ [6:121]
“Dan janganlah kalian memakan
sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya itu adalah perbuatan kefasikan. Sesungguhnya setan
membisikkan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) agar mereka membantah
kalian; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. al-An’am 6:121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan
tentang tipu daya setan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram,
namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai
sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu
'anhu: Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkata: “Hai Muhammad, ada kambing mati pagi hari, siapa
yang membunuhnya ?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya
(mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing
yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal,
sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya Yang Mulia
kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada
sembelihan Allah”.
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada
kaum muslimin, Allah katakan bahwa ucapan itu adalah bisikan setan
terhadap mereka: “Dan sesungguhnya setan itu membisikkan (mewahyukan)
kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu” untuk mendebat kaum
muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah
peringatkan kepada kaum muslimin jika seandainya menyetujui dan mentaati
mereka meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja dengan firman-Nya
“Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga
mencap bahwa orang yang membuat hukum selain Allah disebut sebagai wali
setan, dan produk hukum yang buat itu pada hakikatnya adalah hukum
setan.
6. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى
الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ
أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا [4:60]
“Tidakkah engkau (Muhammad)
perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah
diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu, dan setan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”. (QS.
an-Nisaa’ 4:60)
Orang yang tahakum (merujuk
hukum) atau orang yang mengajukan perkaranya kepada thaghut disebut
orang yang tidak beriman. Ini berarti orang tersebut telah menanggalkan
ketauhidan, dengan kata lain bahwa berhakim kepada thaghut ini adalah
bentuk penyekutuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika
orang berhakim kepada Allah maka dia telah beribadah kepada Allah. Dan
bila orang menjadikan hukum selain hukum Allah atau hukum thaghut
sebagai acuan, maka dia telah beribadah kepada selain Allah atau telah
beribadah kepada thaghut tersebut.
Perujukan hukum kepada selain hukum
Allah itu bertentangan dengan tauhid, dan itu sebagai bentuk
kemusyrikan. Karena ketika merujuk kepada hukum itu berarti dia
mengikuti hukum tersebut dan dia masuk ke dalam syirik tha’ah
(ketaatan), sebagaimana orang Nashrani melakukan syirik karena mereka
mengikuti hukum yang dibuat para pendetanya.
Orang ketika bertahakum kepada hukum
thaghut dikatakan bahwa keimanannya telah lepas dan hanya sekedar klaim
saja. Penyekutuan itu bukan hanya terbatas pada do’a, nadzar,
istighatsah, shalat dan lainnya, akan tetapi mencakup berbagai macam
bentuk penyekutuan kepada Allah yang di antaranya adalah mengikuti,
tunduk, patuh kepada yang bukan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kemudian dalil-dalil dari As Sunnah
1. Hadits marfu’ dari Abdullah Ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
ditanya: “Dosa apa yang paling besar?”, Beliau menjawab: “Kamu
menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dia yang telah menciptakan
kamu” (HR. Bukhari Muslim)
Jadi, dosa yang paling besar adalah
“kamu menjadikan tandingan bagi Allah” dalam arti di sampaing kamu
beribadah kepada Allah, kamu juga beribadah kepada yang lainnya.
2. Dari Abu Bakar radliyallahu’anhu:
Kami berkata: “Ya Rasulullah, dan apakah
syirik itu adalah apa yang diibadati selain Allah, atau yang diseru
bersama Allah?” (Hadits dari Abu Ya’ala, dan ada kelemahan dalam hadits
ini)
Dalil-dalil di atas menyebutkan bahwa syirik itu ada dua macam: yaitu pertama, orang
yang tidak beribadah kepada Allah tapi dia hanya beribadah kepada
selain Allah, ini seperti para penganut animisme, dinamisme dan yang
serupa dengannya dimana mereka hanya menyembah berhala-berhala. Mereka disebut musyrik juga meskipun mereka hanya menyembah kepada selain Allah. Dan kedua adalah seperti orang yang beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia juga beribadah kepada selain-Nya.
Di dalam Al Qur’an, larangan syirik itu
adalah untuk kedua-duanya dan vonis bagi orang musyik juga diperuntukan
bagi kedua-duanya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ [10:106]
“Dan janganlah kamu menyeru selain
Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan madlarat buat kamu, jika
kamu melakukannya berarti kamu tergolong orang-orang yang dzalim”. (QS
Yunus 10:106)
Dan firman-Nya dalam surat yang lain :
وَمَن
يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا
حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ [23:117]
“Dan barangsiapa menyeru tuhan yang
lain bersama Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang
itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (QS al-Mukminun 23:117)
Maka syirik itu bukan hanya ibadah
kepada selain Allah saja, akan tetapi juga beribadah kepada Allah di
samping beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan kemusyrikan yang
dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim adalah macam yang kedua,
yaitu di samping dia beribadah kepada Allah dia juga beribadah kepada
selain-Nya.
3. Hadits Al Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu secara mu’alaq:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman:
لَهُ
دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ لاَ يَسْتَجِيبُونَ
لَهُم بِشَيْءٍ إِلاَّ كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاء لِيَبْلُغَ فَاهُ
وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاء الْكَافِرِينَ إِلاَّ فِي ضَلاَلٍ [13:14]
“Hanya bagi Allah-lah (hak
mengabulkan) doa yang benar, dan berhala-berhala yang mereka sembah
selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka,
melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam
air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai
ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia
belaka”. (QS. ar-Ra’du 13:14)
Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhu
mengatakan: “Perumpamaan orang musyrik, di mana dia ibadah kepada Allah,
juga dia beribadah kepada yang lainnya adalah seperti orang haus yang
melihat air dikejauhan (dikhayalnya ada air), lalu dia membentangkan
tangannya untuk mengambil air tersebut sedangkan dia tidak mampu untuk
mendapatkannya”.
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan:
“Jika amalan kamu seluruhnya untuk Allah maka kamu adalah muwahhid, dan
bila di dalamnya ada penyekutuan terhadap makhluk maka kamu adalah
orang musyrik”.
Jika seandinya 99% dari semua ibadah itu
ditujukan kepada Allah akan tetapi walaupun hanya 1% atau sekian persen
ditujukan untuk selain Allah maka hal itu disebut syirik, karena
menduakan atau menyeru yang lain bersama Allah.
Kemudian dalil dari ijma para ulama:
Al Qadli ‘Iyadl, dalam kitab Asy Syifa
pada pasal tentang keyakinan-keyakinan atau pernyataan-pernyataan yang
merupakan kekafiran, beliau mengatakan bahwa: “Setiap ucapan yang
menafikan ke Esaan Allah atau yang terang-terangan beribadah kepada
selain Allah atau bersama Allah, maka ia adalah kekafiran dengan ijma
kaum muslimin”.
Di sini disebutkan bahwa peribadatan
kepada sesuatu di samping ibadah kepada Allah. Dan di sini juga
disebutkan kedua macam syirik.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya syirik itu adalah peribadatan
kepada selain Allah, penyembelihan, nadzar untuknya dan menyerunya”.
Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui seorangpun dari kalangan ulama
berselisih dalam hal itu”.(Tarikh Nejed. Hal: 223)
Di sini disebutkan bahwa peribadatan
kepada selain Allah, membuat tumbal, nadzar, atau menyeru selain-Nya itu
adalah kemusyrikan.
Syaikh Ishaq Ibnu Abdurrahman
rahimahullah dalam risalah Takfir Mu’ayyan mengatakan: “Menyeru ahli
kubur, memohon kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah kaum
muslimin tidak berselisih di dalamnya, bahkan sesungguhnya hal itu
adalah termasuk syirik yang mengkafirkan”
Peribadatan kepada selain Allah,
permohonan, meminta, istighatsah atau meminta tolong kepada selain Allah
(kepada penghuni kubur) itu adalah termasuk kemusyrikan yang membuat
pelakunya kafir, ini kesepakatan kaum muslimin.
Beliau juga menjelaskan bahwa menyeru
ahli kubur, meminta kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah
bukan termasuk masalah yang dipertentangan bahwa itu bukan termasuk dosa
besar biasa yang pelakunya tidak dikafirkan, dan tidak ada pertentangan
di antara kaum muslimin di dalamnya, akan tetapi memohon kepada
penghuni kubur atau istighatsah kepada mereka itu termasuk kemusyrikan
yang mengkafirkan, sebagaimana yang dihikayatkan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah dan beliau menjadikannya sebagai sesuatu yang
tidak diperselisihkan tentang pengkafiran dengannya.
Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh dalam
Kitab Taisir hal: 117 mengatakan: “Para ulama mufasirin sepakat bahwa
taat dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau taat
dalam pengharaman apa yang telah Allah
halalkan adalah bentuk ibadah kepada yang menghalalkan atau mengharamkan
tersebut, dan itu merupakan syirik dalam ketaatan”
Mengikuti atau tunduk patuh kepada hukum
selain hukum Allah itu termasuk syirik tha’ah yang Allah jelaskan dlam
surat At Taubah: 31 yang telah lalu. Dan beliau juga menukil ijma bahwa
dalam sahnya tauhid ini harus ada kufur terhadap thaghut.
Dalam bab ini dijelaskan dalil dari Al
Qur’an, As Sunnah, dan Ijma yang menjelaskan bahwa syirik itu ada syirik
yang sifatnya syirik kuburan (menyeru, istighatsah, do’a, atau memohon
kepada selain Allah), dan ada yang sifatnya merupakan syirik aturan
(hukum dan perundang-undangan) dan ini bentuknya adalah dengan
mengikuti, tunduk dan setuju kepada hukum yang bukan berasal dari Allah
ta’ala. Dan selain itu bentuk syirik juga ada yang murni peribadatan
kepada selain Allah dan yang kedua adalah bentuk ibadah kepada Allah
namun di samping itu juga beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan realita
orang musyrik yang mengaku Islam pada zaman sekarang, mereka terjatuh
ke dalam kemusyrikan yang kedua.
Mereka di samping ibadah kepada Allah
juga beribadah kepada selain-Nya, dan itu adalah termasuk kemusyrikan
dengan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan ijma dari para ulama.
KETIGA : ISLAM DAN SYIRIK ADALAH DUA HAL YANG KONTRADIKTIF - TI IDAK BISA BERSATU -
Dliddan adalah dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama.
Dan Naqidlan adalah dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Contoh dliddan: Seperti warna
merah dengan warna putih … apabila ada tembok yang bercatkan putih lalu
diberi dengan warna merah, maka putih akan hilang. Apabila dicampurkan
maka warna putih tidak akan menjadi putih lagi dan warna merah tidak
akan berwarna merah lagi, akan tetapi yang ada adalah warna selain warna
merah dan putih, menjadi hitam umpamanya. Ini adalah dliddan.
Dan naqidlan adalah seperti
siang dan malam, tidak ada siang dan malam berbarengan dalam satu waktu.
Jika tidak disebut siang, maka berarti malam atau sebaliknya jika bukan
malam berarti siang. Tidak bisa dalam satu waktu disebut siang juga
disebut malam, akan tetapi harus ada salah satunya.
Bagitu juga Islam dan Syirik, seseorang
tidak mungkin dikatakan muslim sekaligus musyrik juga, atau sebaliknya
orang musyrik dikatakan juga muslim. Maksudnya, Islam dan syirik tidak
bersatu dalam diri seseorang. Jika syirik ada maka Islamnya hilang, atau
jika dia seorang muslim muwahhid maka syiriknya harus tidak ada.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ [10:32]
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah
Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan”. (QS. Yunus 10:32)
Jadi, tidak ada perantara di antara keduanya… dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :
إِنَّاهَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا [76:3]
“Sesungguhnya Kami telah menunjukan
kepada dia jalan yang lurus; bisa jadi dia bersyukur dan bisa jadi dia
kufur”. (QS. al-Insan 76:3)
Ada yang bersyukur dan ada pula yang
kafir, baik itu bersyukur terhadap nikmat Allah, ataupun kufur
terhadapnya. Sedangkan orang muslim adalah orang yang bersyukur terhadap
nikmat Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُممُّؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [64:2]
“Dia-lah yang menciptakan kalian,
maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang
mukmin”. (QS. ath-Thagabun 64:2)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mengatakan: “Oleh sebab itu maka setiap orang yang tidak
beribadah kepada Allah maka dia itu mesti ibadah kepada selain Allah
yang mana dia ibadah kepada selain-Nya, sehingga dia musyrik. Di tengah
Bani Adam ini tidak ada macam yang ketiga, hanya ada muwahhid atau
musyrik, atau yang mencampurkan ini dengan yang itu, seperti orang-orang
yang merubah ajaran dari kalangan agama-agama yang ada, Nashara dan
yang lainnya dari kalangan orang yang mengaku dirinya Islam” (Al Fatawa,
14/282,284)
Bila seseorang, dia di samping mengaku
Islam namun dia juga seorang demokrat misalnya, maka itu bertentangan,
karena jika dia seorang Demokrat berarti dia bukan Muslim, atau jika dia
seorang Komunis tapi mengaku Islam maka dia itu bukan orang Islam.
Tidak ada yang namanya seorang Muslim yang Demokrat atau Muslim
Nasionalis atau Muslim Komunis !! karena itu seperti seorang Muslim yang
menganut agama Budha atau Kristen atau agama lainnya.
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah di dalam Syarh Ashli Dienil
Islam dan Syaikh Abdullathif di dalam Minhajut Ta-sis, keduanya
menjelaskan: “Siapa yang melakukan
syirik, maka dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya (tauhid dan
syirik ini) adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu
(pada satu waktu dalam satu objek) dan tidak bisa kedua-duanya hilang
(dalam satu waktu dari objek itu)”.
Seseorang tidak bisa dikatakan dia itu
muwahhid juga sekaligus musyrik… tapi yang ada adalah jika dia bukan
musyrik maka dia seorang muslim muwahhid, dan sebaliknya jika dia
bukan seorang muwahhid maka dia adalah
orang musyrik. Tidak bisa kedua-duanya hilang dari orang tersebut dan
tidak bisa kedua-duanya menyatu dalam diri orang tersebut pada waktu
yang bersamaan.
Ini adalah hakikat tauhid dan hakikat syirik, di mana kedua-duanya adalah dliddan, yaitu dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama.
Dan naqidlan, yaitu dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta
para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillaahirrabbil
’aalamiin…1)
0 komentar: