::
Start
sumber informasi dan persahabatan

Navbar3

Search This Blog

Selasa, 08 Mei 2012

Membongkar Syubhat Para Pembela Thaghut


كشف شبهات المجادلين عن عساكر الشرك وأنصار القوانين
SYAIKH ABU MUHAMMAD AL MAQDISIY
Alih Bahasa
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
******
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 
MUQADDIMAH
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah dan orang-orang yang loyalitas kepadanya, wa ba’du:
Ini adalah salah satu risalah penjara yang telah saya tulis saat saya mendekam di penjara Sawwaqah tahun 1416 H untuk membantah syubhat-syubhat terbesar orang-orang yang membela-bela[1] bala tentara[2] dan pengusung[3] qawaaniin (undang-undang) buatan.
Dan syubhat-syubhat itu ada setelah tersebarnya dakwah kami – dengan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala– di dalam dan di luar penjara, sehingga dengan tersebarnya dakwah itu kaum muwahhidiin mendapatkan angin segar dan orang-orang mulhidiin serta kaum musyrikin pun merasa kepanasan lagi berang.
Maka semenjak itu mulailah berbangkitan orang-orang yang membela mereka, orang-orang yang ciut dari mengkafirkan dan menjihadinya dari kalangan jama’ah Tajahhum dan Irja[4], mereka mendengung-dengung syubhat-syubhat semacam ini, dan mereka berusaha dengannya untuk menghalangi dakwah tauhid, dan menambal/menutupi/melenggangkan jalan bagi para pengusung kemusyrikan.
Saya telah menulis lembaran-lembaran ini dengan uslub/metode yang sesuai dengan keadaan untuk memudahkan bantahan terhadap mereka serta terhadap syubhat-syubhatnya, juga untuk mempermudah bagi ikhwan-ikhwan yang baru bergabung dengan dakwah yang penuh berkah ini. Dan apa yang saya harapkan itu dengan karunia Allah alhamdulillah bisa terealisasi, sehingga orang-orang ‘awam dari kalangan muwahhidiin mampu mematahkan dengan telak dalam masalah ini dalih orang-orang yang merasa bangga bahwa mereka itu adalah alumni fakultas syari’ah dan fakultas lainnya. Ini semua sebagai pembuktian ucapan Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Kasyfusysyubhat:  (Bisa jadi musuh-musuh tauhid itu memiliki ilmu yang banyak sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ 
”Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepadanya) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka, dan mereka di kepung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olok,” (QS. Ghafir 40:83)
Dan wajib atas setiap muslim untuk mempelajari dari dien Allah ini apa yang bisa menjadi senjata baginya, yang dengan senjata itu dia bisa menghadang dan menghadapi setan-setan itu,[5] sehingga dia tidak merasa takut dan sedih karena:

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا 
”Sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah,” (QS. An Nisa 4: 76).
(Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Dan satu orang awam dari kalangan muwahhidiin mampu mengalahkan seribu orang dari kalangan ulama kaum musyrikin, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ 
”Dan sesungguhnya tentara kami itu lah yang pasti menang,” (QS. Ash Shaffaat 37:173).
Tentara Allah itu merekalah yang menang dengan hujah dan lisan sebagaimana mereka itulah yang menang dengan pedang dan tombak.
Pada saat itu ikhwan kami di penjara memperbanyak tulisan ini dan menyebarkannya di kalangan para penghuni penjara yang sangat beragam masalah dan kasus yang mereka alami, sebagaimana kami juga membagi-bagikannya kepada banyak para polisi, tentara dan para perwira yang kami dakwahi mereka itu untuk baraa’ah dari kemusyrikan-kemusyrikan undang-undang mereka serta dari kekafiran para thaghutnya. Kemudian ternyata banyak di antara mereka malah berlindung di balik syubhat-syubhat semacam ini. Saat saya menulisnya, sama sekali tidak ada dugaan bahwa tulisan ini akan di cetak dan disebarkan secara luas, karena sebenarnya sudah ada tulisan saya yang lebih lengkap dan lebih terperinci seperti risalah Imtaa’un Nadhri Fi Kasyfi Syubuhaati Murji’atil ‘Ashri dan risalah lainnya, apalagi tulisan ini saya tulis dengan sangat ringkas dan hanya berpegang kepada ma’lumat yang ada di benak dan di kepala, ini karena susahnya mencari rujukan di dalam penjara, kemudian setelah dibebaskan saya dikagetkan dengan keberadaan tulisan itu telah disebarkan lewat internet dan dicopy serta beredar luas di kalangan para pemuda karena statusnya yang ringkas dan mudah, padahal masih adanya salah cetak, kalimat yang gugur, dan kekurangan yang nampak di sebagian tempat. Dan hal itulah yang mendorong saya untuk mengkoreksi ulang cetakan itu atas permintaan sebagian ikhwan untuk menjaga dari kalimat yang gugur dan kekurangan sesuai dengan kemampuan serta mempersiapkannya untuk di cetak, ”Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah...”
Saya memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar menjadikan risalah ini bermanfaat, meneguhkan kami serta menolong kami untuk selalu bisa membela agama-Nya, dan menerima segala upaya dan usaha kami karena sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi-Nya Muhammad, keluarganya dan seluruh para sahabatnya.
Shafar 1420 H.
******
MUQADDIMAH
Segala puji hanya milik Allah Rabul ‘aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para nabi dan rasul, wa ba’du:
Ini adalah syubhat-syubhat yang selalu didengung-dengungkan oleh orang-orang yang membela para tentara thaghut dan para pengusung qawaaniin, sehingga pada akhirnya syubhat-syubhat ini dipegang dan diambil pula oleh para pengusung/pasukan yang musyrik itu, yang di mana mereka itu tidak mengetahui dari dien ini kecuali nama saja, dan tidak mengetahui dari syi’ar-syi’arnya kecuali sekedar ritual belaka. Kemudian dengan syubhat-syubhat itu mereka mendebat kaum muwahhidiin, dan menghujat kaum muslimin dalam rangka melegalkan kemusyrikan mereka, kebatilannya, serta pembelaannya terhadap thaghut yang padahal sesuatu yang paling pertama Allah Subhanahu Wa Ta’ala fardlukan atas mereka adalah menjauhi thaghut itu dan kafir terhadapnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ 
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu,” (QS. An Nahl 16:36).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ  
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk kafir kepada Thaghut itu.” (QS. An-Nisaa’ 4:60)  [6]
(Lalu orang-orang yang dhalim mengganti perintah dengan (mengajarkan) yang tidak diperintahkan kepada mereka), yang seharusnya mereka itu kafir terhadap thaghut itu, malah mereka justru menjaganya, melindunginya, membela untuk mempertahankannya, dan menjadi pasukan yang selalu siap, dan garda yang selalu setia setiap saat, mereka mengorbankan jiwa raga demi mempertahankannya, serta mereka mengerahkan waktu dan usia demi menjaga keutuhannya.
Dan saat kami mendakwahi banyak dari kalangan mereka untuk bertauhid, dan baraa’ah dari kemusyrikan dan tandiid (penetapan tandingan bagi Allah), ternyata mereka mendebat (kami) dengan syubhat-syubhat yang telah dibisikan oleh setan-setan jin dan manusia kepada mereka, yang dengannya mereka kaburkan yang hak dengan kebatilan, serta cahaya dengan kegelapan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ (112) وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ  
“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan,” (QS. Al An’aam 6:112-113).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan bahwa hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhiratlah yang cenderung kepada perkataan-perkataan yang indah (yang mengandung tipuan). Hati semacam itulah yang rela dengan syubhat-syubhat tersebut dalam rangka menyembunyikan kebathilan mereka, dan dengan mereka menyembunyikan kemusyrikan mereka itu, serta supaya bisa mengerjakaan apa yang mereka kerjakan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain:

لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلا خَبَالا وَلأوْضَعُوا خِلالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ 
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah 9:47).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa di antara barisan kaum muslimin ada orang yang terkadang mendengarkan penggembosan orang-orang munafiq dan syubhat-syubhat para penebar kebohongan.
Karena alasan itu semua, kami dalam lembaran-lembaran ini ingin membantah syubhat-syubhat mereka terbesar, dengan sedikit ringkas yang sesuai dengan keadaan, tempat dan zaman, sehingga memungkinkan untuk ditelaah oleh para tentara thaghut itu, juga oleh orang-orang yang membela mereka serta yang lainnya dari kalangan orang-orang yang terpengaruh oleh syubhat-syubhat itu. Padahal hakikatnya syubhat-syubhat tersebut adalah sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
Syubhat-syubhat yang gugur bagaikan kaca yang engkau kira benar
sedangkan setiap sesuatu yang bisa memecahkan itu bisa dipecahkan.
Mudah-mudahan dengan lembaran-lembaran ini Allah membukakan telinga-telinga yang tuli, mata-mata yang buta, dan hati-hati yang tertutup; karena sesungguhnya Dia itu yang berwenang untuk itu dan kuasa atasnya, Dia-lah Penolong kita, sebaik-baiknya Yang Mengasihi dan Yang Menolong.
Penjara Sawwaqah, Rabi’ul Awwal 1416 H
Abu Muhammad Al Maqdisiy
******
POKOK SYUBHAT-SYUBHAT
Syubhat-syubhat yang kami bantah dalam lembaran-lembaran ini adalah:
  • Penguasa itu tidak kafir kufrun akbar tapi kufrun duuna kufrin.
  • Sesungguhnya mereka itu mengucapkan laa ilaaha Illallah.
  • Sesungguhnya mereka itu shalat dan shaum
  • Siapa yang mengkafirkan orang Islam maka dia telah kafir.
  • Udzur jahil.
  • Terpaksa, tertindas, sumber pencaharian, dan mashlahat.
SYUBHAT PERTAMA
Penguasa itu Tidak Kafir Kufrun Akbar Tapi Kufrun Duuna Kufrin.
Al Mujaadiluun (orang-orang yang membela) bala tentara qawaaniin itu berkata: kami tidak sepaham dengan kalian dalam ashl (pokok) yang kalian jadikan sebagai landasan untuk mengkafirkan para pendukung penguasa/pemerintah dari kalangan intelejen, para tentara/polisi dan yang lainnya, karena kekafiran pemerintah-pemerintah ini menurut kami adalah sekedar kufrun duuna kufrin sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘‘Abbas radliyallahu ‘anhuma. Sehingga setiap cabang yang kalian bangun di atasnya untuk mengkafirkan para penguasa dengan kufrun akbar adalah tidak benar menurut hemat kami.[7]
Maka kita jawab: Tidak ada satu masalahpun melainkan pasti ada perselisihan pendapat manusia di dalamnya, akan tetapi hal itu tidak berarti boleh dipelintirkan dan tidak boleh mengetahui yang benar di dalamnya, sebab tidak setiap perbedaan itu bisa dianggap. Kebenaran itu hanyalah satu tidak berbilang, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ 
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (QS. Yunus 10:32).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا 
“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An Nisa 4:82).
Oleh sebab itu para ulama berkata bahwa ikhtilaf tanawwu’ itu bisa saja, karena itu adalah ikhtilaf dalam furuu’ yang bisa bersumber dari perbedaan dalam penilaian shahih atau dha’ifnya suatu hadits, atau karena tidak sampainya hadits itu kepada si ahli fiqh dan sebab-sebab lainnya.
Adapun ikhtilaf tadhaadd terutama dalam masalah yang paling penting dalam dien ini seperti syirik dan tauhid, iman dan kafir, maka tidak boleh dan tidak halal bagi seorangpun untuk rela dengannya, atau mengakuinya, atau menjadikannya sebagai jalan dan udzur/alasan untuk loyalitas kepada kaum murtaddin dan ahli syirik, atau membelanya, atau berkasih sayang dengannya. Dan justeru harus divonis tuntas dengan tegas dalam masalah-masalah yang dibangun di atas autsaqu ‘ural iimaan (ikatan iman yang paling kokoh), serta cepat sampai kepada kebenaran di dalamnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak membiarkan kita begitu saja dan tidak menciptakan kita sia-sia belaka:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ 
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?,” (QS. Al Mukminuun 23:115).
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengalpakan sesuatupun dalam Al Kitab, Dia berfirman:

مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ث 
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,” (QS: Al An’aam 6:38).
Tiada satupun kebaikan melainkan Allah telah memberikan petunjuk kita atas hal itu dan menganjurkan untuk meraihnya. Dan tidak ada satu keburukanpun melainkan Allah telah mengingatkan kita dari hal itu dan menghati-hatikan dari bahayanya:

لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَا مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ 
“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (QS. Al Anfaal 8:42).
Dan masalah ini –yaitu kafirnya para penguasa dan thaghut-thaghut itu– bagi orang yang telah paham terhadap diennya dan telah mengetahui tauhidnya adalah lebih terang daripada matahari di siang bolong. Akan tetapi tidak aneh apabila cahaya matahari itu menjadi tersamar atas orang yang ada penyakit belek di matanya.[8]
Dan maksud kami di sini –Insyaa Allah ta’ala– adalah mengobati belek itu dan menghilangkan apa yang mengaburkannya dengan pancaran tauhid dan dengan obat itsmid dari Al Kitab dan Assunnah.
Maka kami katakan: Ketahuilah terlebih dahulu bahwa sesungguhnya thaghut-thaghut itu tidak dikafirkan dari satu sisi saja sehingga pengkafirannya bisa dibantah dengan syubhat yang rapuh yang dibangun di atas ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, kufrun duuna kufrin, akan tetapi thaghut-thaghut itu dikafirkan dari banyak sisi yang beraneka ragam:
  • Di antaranya: Sesungguhnya syahadat tauhid laa ilaaha Illallah itu memiliki dua rukun yang sangat mendasar yang di mana salah satunya tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang satunya lagi.
Untuk diterima dan sahnya syahadat ini harus didatangkan kedua rukun itu seluruhnya, yaitu penafian (Laa ilaaha) dan penetapan (illaallaah) atau al kufru bith thaghut wal iimaan billah, sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al Baqarah 2:256)
Siapa orang yang tidak menggabungkan antara dua rukun ini maka dia itu tidak berpegang pada al ‘urwah al wutsqaa (tauhid), dan sedangkan orang yang tidak berpegang kepada al ‘urwah al wutsqaa maka dia itu binasa bersama orang-orang yang binasa, karena dia bukan tergolong dalam jajaran kaum muwahhidiin, akan tetapi dia berada dalam deretan kaum musyrikin atau orang-orang kafir.
Para penguasa yang telah menjadikan bersama Allah tandingan-tandingan yang membuat hukum dan perundang-undangan itu, kalau seandainya kita percaya klaim mereka bahwa mereka itu beriman kepada Allah, tentu ini tidak cukup untuk masuk di dalam lingkaran tauhid, sebab masih ada satu rukun lain yang Allah sebutkan di dalam ayat itu sebelum rukun beriman kepada-Nya karena keberadaannya yang sangat penting, yaitu al kufru bith thaghut (kafir terhadap thaghut).
Jadi iman mereka terhadap Allah tanpa kufur terhadap thaghut adalah sama seperti imannya orang-orang kafir Quraisy terhadap Allah tanpa disertai kafir terhadap thaghut-thaghut mereka.
Dan merupakan suatu yang maklum bahwa iman semacam ini sama sekali tidak bermanfaat bagi orang-orang Quraisy, darah dan harta mereka tidak terjaga dengannya sehingga mereka menyertakan dengannya baraa’ah dan kafir terhadap thaghut-thaghut mereka. Dan adapun sebelum itu dilakukan maka keimanan mereka yang masih bercampur dengan kemusyrikan yang nyata itu sama sekali tidak berguna bagi diri mereka, baik di dunia[9] ataupun di akhirat[10], Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf 12:106).
Syirik itu membatalkan keimanan dan menghapuskan seluruh amalan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az Zumar 39:65).
Dan suatu yang maklum bahwa para penguasa itu tidak kafir terhadap thaghut-thaghut Timur dan Barat, serta mereka itu tidak berlepas diri darinya. Bahkan justeru mereka itu beriman kepada thaghut-thaghut itu, loyalitas terhadapnya, dan berhakim kepada mereka dalam menyelesaikan persengketaan dan perselisihan, mereka rela dengan hukum thaghut-thaghut yang kafir itu dan dengan undang-undang internasionalnya yang kafir itu.[11]
Dan begitu juga thaghut-thaghut Arab dan perjanjian/kesepakatan mereka yang sama persis dengan kesepakatan Internasional PBB yang mulhid lagi kafir.
Mereka (para penguasa) terhadap semua thaghut-thaghut itu adalah teman dekat, auliyaa, dan budak-budak yang tidak menjauhinya, dan tidak menjauhi pembelaan terhadap mereka dan dukungannya terhadap kemusyrikan mereka itu, sehingga mereka bisa keluar dari kemusyrikan yang dimana mereka telah masuk dikubangannya, dan setelah (melakukan) itu semua baru mereka bisa dihukumi sebagai orang Islam.
Bila saja status thaghut-thaghut Arab itu masih samar/kabur di mata orang yang berbelek, akan tetapi status thaghut-thaghut kekafiran Barat dan Timur dari kalangan Nashrani, Budha, Komunis, Hindu, dan yang lainnya adalah tidak samar lagi demi Allah kecuali atas orang yang buta. Namun demikian para penguasa (thaghut-thaghut) Arab[12] itu adalah saudara dan sahabat karib bagi thaghut-thaghut tadi, mereka tidak kafir terhadapnya, dan justeru mereka diikat dengan hubungan persaudaraan, kedekatan dan saling menyayangi, mereka diikat dengan perjanjian kafir PBB, dan saat terjadi persengketaan merekapun merujuk ke mahkamah kafir internasional yang bersarang di Denhag.[13]
Mereka tidak merealisasikan rukun tauhid yang paling pertama dan paling penting (al kufru bith thaghut) sehingga dengannya mereka bisa dihukumi muslim. Ini bila kita mengalah mau menerima bahwa mereka itu telah mendatangkan rukun tauhid yang lain yaitu (al iman billah), maka bagaimana keadaannya bila di samping itu semua sesungguhnya diri mereka itu juga adalah thaghut yang diibadati selain Allah,[14] mereka membuat hukum dan perundang-undangan bagi manusia, mereka mengajak rakyat untuk mentaatinya, serta memaksa mereka untuk mematuhi undang-undangnya yang bathil ini sebagaimana yang akan datang penjelasannya.
  • Mereka dikafirkan juga dari status istihzaa’ (perolok-olokan) mereka terhadap Allah dan syari’at-Nya.
Dan pelegalan yang mereka berikan kepada setiap orang yang memperolok-olok (syari’at) Allah lewat koran, siaran radio, atau televisi, dan yayasan-yayasan pemberitaan yang serba boleh dan bebas lagi kafir lainnya yang mereka lindungi dan mereka jaga dengan undang-undang dan aparat hukumnya.
Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengatakan:

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” tidak usah kalian mencari-cari alasan, karena kalian kafir sesudah beriman“ (QS. At Taubah 9:66-65).
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang asalnya muslim, mereka shalat, shaum, zakat, dan keluar ikut dalam peperangan yang tergolong peperangan terbesar bagi kaum muslimin, namun demikian Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkafirkan mereka tatkala muncul dari mereka ungkapan-ungkapan yang dengannya mereka memperolok-olok para penghapal Al Qur’an (para sahabat). Maka apa gerangan dengan makhluk-makhluk hina itu (para penguasa sekarang maksudnya) yang tidak menghargai keagungan agama Allah, dan mereka telah menjadikan dien ini sebagai mainan dan bahan perolok-olok bagi setiap orang hina, serta mereka meletakannya di belakang punggungnya.
Dan lebih dahsyat dari itu semua adalah mereka itu mensejajarkan dien ini dengan undang-undang dan hukum-hukum mereka yang hina. Mereka bertarung suara di atasnya, dan meminta pendapat dalam hal perintah-perintah dan larangan-larangannya bersama orang-orang sekuler, orang-orang Nashrani, dan orang-orang mulhid. Maka apakah ada bentuk perolok-olokan dan penghinaan yang lebih besar dari ini???
  • Mereka dikafirkan juga dari sisi loyalitas mereka terhadap orang-orang musyrik Barat dan Timur, serta kerjasama mereka dengan orang-orang musyrik itu untuk menghabisi/membungkam kaum muwahhidiin.
Baik itu dengan akad kesepakatan keamanan yang dengan jalur ini mereka saling tukar menukar informasi tentang kaum muwahhidiin yang mereka cap sebagai teroris dan Islam militan (garis keras). Dan dengan jalur kesepakatan ini diserahkanlah kaum muwahhidiin dan mujahidin kepada musuh-musuh mereka dari kalangan thaghut-thaghut negara-negara lain.[15] Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al Maaidah 5:51)
Oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam hal-hal yang membatalkan ke Islaman: Pembatalan yang ketiga: Mendukung dan bekerja sama dengan orang-orang musyrik untuk membinasakan/membabat kaum muwahhidiin adalah kekafiran.
Cucu beliau Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalahnya Hukmu Muwaalaati Ahlil Isyraak saat menjelaskan firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya Kamipun akan keluar bersama kalian; dan Kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi pasti Kami akan membantu kalian.” dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al Hasyr 59:11)
Sesungguhnya ayat-ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang mereka itu menampakan keislaman, dan hal itu diterima dari mereka di dunia ini sehingga mereka itu diperlakukan layaknya kaum muslimin, karena orang-orang muslim itu diperintahkan untuk menghukumi sesuai dhahir, akan tetapi tatkala mereka mengadakan kesepakatan kerjasama saling membantu bersama orang-orang Yahudi untuk melawan kaum muwahhidiin – padahal Allah mengetahui bahwa mereka itu dusta dalam kesepakatan ini –, telah dijalin di antara mereka dengan ahli kitab kesepakatan ukhuwwah dan Allah mensifati mereka bahwa mereka itu adalah saudara-saudara ahli kitab, dan ini adalah takfir bagi mereka. Ini adalah makna ucapan beliau rahimahullah.
Maka apa gerangan dengan orang yang mengikat berbagai macam kesepakatan saling membantu dengan kaum musyrikin dari kalangan budak undang-undang, baik dari timur atau dari barat, dia memerangi kaum muwahhidiin, dan menyerahkan mereka kepada pemerintah-pemerintahnya? Maka tidak diragukan lagi, bahwa ini lebih utama untuk masuk dalam hukum tersebut.
  • Mereka dikafirkan dari sisi bawa mereka menjadikan demokrasi sebagai dien yang mereka anut pengganti dienullah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS: Ali Imran 3:19)
Islam adalah dienullah yang haq yang dengannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus.
Adapun demokrasi adalah dien yang telah diciptakan oleh orang-orang Yunani. Dan ini tidak diragukan lagi bukanlah bagian dari dienul Islam, sehingga secara pasti bukanlah bagian dari kebenaran.

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (QS. Yunus 10:32)
Sedangkan para penguasa itu menyatakan dan selalu meneriakan dalam keadaan rela lagi tidak terpaksa, bahkan mereka merasa bangga dan girang bahwa demokrasi adalah pilihan mereka satu-satunya dan bukan Islam.
Demokrasi dengan Islam itu tidak bisa kedua-duanya bersatu,[16] sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan menerima kecuali Islam yang khaalish (murni tidak bercampur syirik). Sedangkan Islam yang merupakan dienullah al khaalish telah menjadikan tasyrii’ (wewenang membuat aturan/perundang-undangan/hukum) serta putusan hanya milik Allah saja, sedangkan demokrasi adalah dien syirik lagi kafir yang telah menjadikan putusan tasyrii’ hanyalah milik rakyat bukan milik Allah, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menerima dan tidak rela bila seseorang menggabungkan antara kekafiran dengan Islam atau antara tauhid dengan syirik.
Bahkan Islam dan tauhid itu tidak sah kecuali bila seseorang kafir dan berlepas diri dari setiap paham (dien) selain dien Al Islam Al Khaalish.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang yusuf ‘alaihissalam:

إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَهُمْ بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ (37)وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ مَا كَانَ لَنَا أَنْ نُشْرِكَ بِاللَّهِ مِنْ شَيْءٍ
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” (QS. Yusuf 12:37-38).
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadist shahih yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim:

من قال لا إله إلا الله وكفر بما يُعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله)، وفي رواية عند مسلم أيضاً: (من وحّد الله… الحديث).
“Siapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haram harta dan darahnya, sedangkan penghisabannya adalah atas Allah”
Dan dalam riwayat Muslim yang lain: “siapa yang mentauhidkan Allah….”
Yang disebut agama itu bukanlah hanya Nashrani dan Yahudi saja, akan tetapi juga termasuk Komunisme, Demokrasi dan ajaran-ajaran serta paham-paham kafir yang ada di bumi ini. Wajib baraa’ah dari seluruh ajaran-ajaran, agama-agama, paham-paham yang bathil agar Allah menerima Dien Al Islam.
Sebagaimana tidak boleh dalam dienullah ini seseorang berstatus sebagai muslim Nashrani, atau Muslim,  Yahudi, maka begitu juga Allah tidak rela bila seseorang berstatus sebagai muslim demokrat, karena Islam adalah dienullah, sedangkan demokrasi adalah agama kafir:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran 3:85).
Ini bila mereka menggabungkan antara Islam dengan demokrasi, maka bagaimana halnya bila mereka itu telah meninggalkan Islam dan berpaling dari syari’atnya, hukum-hukumnya, huduudnya, dan mereka justeru memilih demokrasi, hukumnya dan tasyrii’nya.
  • Mereka dikafirkan dari keberadaan mereka yang mensetarakan diri mereka dan tuhan-tuhan mereka yang beragam itu dengan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Bahkan mereka itu dalam agama (paham) yang mereka anut tersebut lebih agung dari Allah. Hukum-hukum Allah ditelantarkan dan dilempar begitu saja, dan siapa orangnya yang menentang hukum-hukum Allah itu, atau menyalahinya, atau memeranginya, atau memperolok-oloknya, maka dia itu adalah kekasih mereka, wali mereka yang dilindungi undang-undang mereka. Dan undang-undang itu menjamin baginya kebebasan i’tiqad, dan hak hidup padahal orang itu adalah murtad dalam Agama Allah ini.
Adapun orang yang menyalahi undang-undang mereka atau mencaci dustuur-dustuurnya, atau mencela arbaab mereka yang beragam itu, maka orang itu adalah orang yang dibenci, disiksa, dipenjara, dan diintimidasi. Di antara fenomena-fenomena itu adalah banyak sekali:
Sesungguhnya orang yang mencela Allah dan Rasulullah dalam ajaran mereka bila orang itu diadukan kasusnya, maka sesungguhnya mahkamah yang menanganinya adalah mahkamah madaniyyah (perdata), dan hukumnya tidak lebih dari satu bulan atau dua bulan (penjara), berbeda dengan orang yang mencela/mencaci aalihah (tuhan-tuhan) mereka yang diada-adakan dan arbaab mereka yang beragam, dari kalangan raja (presiden/emir) atau para menteri-menterinya, atau para kaki tangannya, maka orang yang mencacinya itu akan disidang di mahkamah keamanan Negara, dan biasanya dipenjara sampai tiga tahun.
Mereka itu tidak mensetarakan diri mereka dan para arbaabnya dengan Allah saja, akan tetapi mereka berbuat lebih dari itu dan mengagungkannya lebih dari pengagungan terhadap Allah – ini bila memang itu adalah bentuk pengagungan mereka terhadap Allah –.
Sungguh kemusyrikan orang-orang musyrik terdahulu adalah bahwa mereka itu mencintai tuhan-tuhan mereka sama seperti kecintaan mereka kepada Allah, atau mereka mensetarakan para tuhan tersebut dengan Allah dalam hal ta’dhim, tasyrii’, hukum, atau ‘ibadah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah” (QS. Al Baqarah 2:165)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (97) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Demi Allah: Sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”. (QS. Asy Syu’araa’ 26:97-98).
Adapun orang-orang musyrik zaman kita sekarang ini, maka sesungguhnya mereka itu sudah kelewatan, dan aniaya, mereka mencintai aalihah dan arbaab mereka dan mengangkatnya di atas kedudukan Allah, maha suci Allah dari apa yang mereka katakan, Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ini adalah hal yang tidak dibantah oleh seorangpun yang mengetahui kenyataan mereka dan undang-undangnya.
Dan engkau akan mengetahui nanti bahwa sang hakim yang sebenarnya, dan sang pembuat aturan yang inti, serta bosnya yang mengesahkan undang-undang adalah bukan Allah dan dien-Nya akan tetapi itu adalah thaghut mereka dan tuhan mereka yang selalu mereka cintai dan selalu mereka agungkan lebih dari pengagungan terhadap Allah. Mereka marah karenanya. Karena ajarannya, dan karena hukumnya, mereka mengintimidasi, mereka memenjarakan, dan mereka melakukan pembelaan dengan apa yang tidak pernah mereka lakukan bila dien Allah dilanggar dan syari’at-Nya dihina. Dan kenyataan yang selalu berulang yang kita alami adalah saksi dan bukti yang paling nyata akan hal itu.
  • Mereka dikafirkan dari sisi tasyrii’ (membuat hukum) bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ini adalah syirik modern yang selalu mereka promosikan, dan mereka mengajak orang kepadanya, bahkan mereka mamberikan dorongan orang-orang untuk masuk didalam (parlemen) nya dan ikut serta di dalamnya, juga memperindahnya di hadapan mereka.
Dalam undang-undangnya itu mereka menetapkan hukum-hukum yang bertentangan dengan dienullah dan tauhid-Nya, di mana undang-undang itu menjadikan bagi mereka hak (wewenang) tasyrii’ (membuat hukum/aturan secara muthlaq) dalam setiap permasalahan.
Sebagaimana bunyi pasal 26 dalam UUD Yordania:
  1. Kekuasaan tasyrii’ (legislatif) berada di tangan raja dan anggota Majelis Rakyat.
  2. Kekuasaan legislatif menjalankan wewenangnya sesuai dengan ketentuan UUD.
Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman seraya mengingkari orang-orang musyrik:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuura 42:21)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf 12:39)
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang taat dalam tasyrii’ meskipun dalam satu masalah saja:

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
”Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al  An’am 6:121)
Maka apa gerangan dengan wewenang membuat hukum secara muthlaq, dan di antara yang memperjelas bahwa mereka itu telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan syirik akbar yang jelas dalam segala tasyrii’ adalah bahwa sesungguhnya UUD mereka telah menegaskan bahwa (syari’at islamiyyah adalah sumber inti dari sekian sumber-sumber tasyrii’ (hukum)), dan ini berarti bahwa mereka itu tidak mentauhidkan Allah dalam tasyrii’,[17] bahkan justeru tasyrii’ itu bagi mereka memiliki banyak sumber hukum yang inti dan yang cabang, sedangkan syari’at islamiyyah menurut mereka tidak lain adalah salah satu sumber dari sekian sumber hukum itu, atau dengan ungkapan kafir yang lebih tegas adalah: (Sesungguhnya aalihah dan arbaab yang membuat hukum di sisi mereka itu banyak lagi beraneka ragam, di antaranya ada yang sebagai pimpinan dan ada yang sekedar cabang saja, sedangkan Allah menurut mereka tidak lain adalah salah satu Tuhan dari sekian tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu) Maha Suci Allah dari apa yang mereka ada-adakan dan dari apa yang mereka katakan.
Orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum mereka tentu dia bakal mengetahui bahwa tuhan mereka terbesar yang di mana suatu hukum tidak diakui dan tidak disahkan kecuali dengan tanda tangannya pada hakekatnya adalah thaghut mereka, baik itu raja, emir, atau presiden. Sedangkan syari’at Allah Yang Maha Esa yang berada di atas langit, bila saja dipakai dalam sebagian permasalahan, ini tidak diterapkan di tengah-tengah mereka dan tidak bisa menjadi hukum resmi dan baku kecuali dengan kerelaan, persetujuan, dan pengesahaan tuhan mereka yang berada di bumi ini, Maha Suci Allah dari apa yang mereka ada-adakan.[18]
Ketahuilah sesungguhnya kekafiran mereka itu adalah lebih busuk dari kekafiran orang-orang kafir Quraisy adalah ruku’ dan sujud, sedangkan ibadah mereka itu adalah taat dalam tasyrii’ di semua permasalahan. Kami katakan bahwa kekafiran mereka itu lebih busuk, karena sesungguhnya orang-orang musyrik Quraisy itu telah menjadikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai tuhan mereka yang paling tinggi dan paling agung di antara tuhan-tuhan yang lainnya, dan mereka mengklaim bahwa mereka tidak menyembah tuhan-tuhan itu kecuali supaya tuhan-tuhan tersebut mendekatkan diri mereka kepada Al Ilaah Yang Paling Agung yang ada di atas langit, sehingga talbiyah sebagian mereka yang mereka suarakan saat haji adalah: Labbaikallaahummalabbaik, labbaika Laasyariikalaka illaa syarikan huwalaka tamlikuhuu wa maa malaka.
Adapun orang-orang musyrik dustuur (undang-undang/aturan), maka sesungguhnya mereka itu meskipun menerima bahwa Allah itu adalah Sang Pemberi rizki, Dia yang menghidupkan yang mati, Dia yang menurunkan hujan dari atas, Dia tumbuhkan rerumputan, Dia yang menyembuhkan, Dia yang memberikan anak perempuan kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan memberikan anak laki-laki kepada yang Dia kehendaki atau Dia menggabungkan antara anak laki-laki dan perempuan bagi mereka, serta Dia yang menjadikan mandul orang yang Dia kehendaki. Ya, mereka itu meyakini bahwa semua itu di Tangan Allah, tidak ada raja atau emir mereka, akan tetapi tasyrii’, perintah, putusan yang berlaku di antara mereka yang berada di atas segala putusan dan tasyrii’ pada hakekatnya adalah wewenang milik raja mereka, sang thaghut atau tuhan mereka yang ada di bumi.
Dalam kemusyrikan ini mereka sama seperti orang-orang kafir Quraisy, akan tetapi mereka melebihi kekafiran orang Quraisy dengan keberadaan mereka yang mengagungkan perintah, hukum, tasyrii’ aalihah dan arbaab mereka yang beraneka ragam yang ada di bumi ini melebihi pengagungan mereka terhadap Allah, hukum-Nya serta tasyrii’-Nya.
Enyahlah… enyahlah… dan binasalah orang yang lebih kafir dari Abu jahal dan Abu Lahab !!

أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).” (QS: An Naml 27:63).
Dan ketahuilah sesungguhnya sisi-sisi kemusyrikan dan kekafiran yang nyata mereka itu adalah sangatlah banyak, seandainya kita sebutkan seluruhnya tentulah pembahasan menjadi panjang. Mereka itu tidak membiarkan satu macam dari macam-macam kakafiran yang ada melainkan mereka memasukinya. Akan tetapi apa yang telah di sebutkan sudahlah cukup bagi orang yang mencari hidayah. Adapun orang yang hatinya sudah Allah kunci rapat, dia itu seadainya gunung-gunung saling berbenturan di hadapannya, tentulah itu tidak bermanfaat atau dia mendapat hidayah.
Dan ingin saya beritahukan kepada akhi muwahhid di sini adalah bahwa kekafiran mereka itu tidaklah terbatas pada satu sisi saja sehingga bisa ditolak dengan syubhat atau ucapan orang.
Mereka itu telah dipenuhi dengan berbagai macam kemusyrikan dan kekafiran. Dan yang penting di sini adalah engkau mengetahui bahwa sisi kemusyrikan dalam tasyrii’ itu bukanlah sisi meninggalkan berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena syahwat, atau hawa nafsu yang sifatnya terkadang yang bisa diterapkan padanya perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘‘Abbas kufrun duuna kufrin, dan juga bukan sisi yang di mana orang-orang Khawarij pernah mendebat Ibnu ‘‘Abbas dan para sahabat lain di dalamnya. Karena pada zaman Ibnu ‘‘Abbas dan zaman Khawarij tersebut tidak pernah ada dari kalangan penguasa kaum muslimin seorangpun yang mengklaim bahwa dirinya memiliki wewenang membuat hukum/undang-undang, dan tidak ada di antara mereka seorangpun yang membuat hukum/undang-undang meskipun dalam satu masalah saja, sebab hal ini menurut mereka adalah kekafiran dengan ijma.
Sedangkan Ibnu ‘‘Abbas yang di mana ungkapan kufrun duuna kufrin itu dinisbatkan kepadanya, beliaulah juga yang meriwayatkan sebab turun firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang taat kepada orang musyrik meskipun dalam satu kasus pembuatan satu hukum saja[19]:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS: Al-An’aam 6:121)
Seandainya yang digambarkan oleh orang-orang Khawarij itu adalah al hukmu yang bermakna tasyrii’ (membuat hukum/undang-undang), tentulah Ibnu ‘‘Abbas tidak berkata kufrun duuna kufrin tentangnya, dan mana mungkin beliau mengatakan itu tentangnya sedangkan beliau adalah pakar Al Qur’an.
Dan yang dikeritik dan dicela oleh orang-orang Khawarij itu hanyalah sebagian penyimpangan dan ijtihad-ijtihad yang di mana mereka menilainya keliru.
Di antara contohnya adalah kisah al hakamain (dua sahabat yang memutuskan perselisihan) yang telah terjadi dalam tahkiim antara pasukan Ali dengan Mu’awiyah, serta yang berlangsung di dalamnya di mana orang-orang Khawarij protes dan berkata kalian telah menjadikan orang sebagai pemutus permasalahan, serta mereka berdalil dengan keumuman firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS: Al-Maa-idah 5:44)
Mereka mengklaim bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah berarti dia telah memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan. Mereka mengkafirkan Al Hakamain dan orang-orang yang rela dengan putusan keduanya, mereka mengkafirkan Mu’awiyah dan Ali radiayallahu ’anhum. Dan itu adalah awal mula munculnya mereka, dan oleh sebab itu firqah mereka yang paling pertama dinamakan Al Muhakkimah. Mereka didebat oleh para sahabat, dan orang yang paling sering mendebat mereka adalah Ibnu ‘‘Abbas, beliau memberikan hujah/alasan kepada mereka bahwa hal itu (tahkimul hakamain) adalah termasuk ash shulhu (mendamaikan) antara sesama kaum muslimin dan bukan termasuk memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan dengan maknanya yang kafir, Ibnu ‘‘Abbas berdalih untuk menguatkan ungkapannya dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang pertikaian antara suami isteri:

فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
“Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan” (QS: An Nisaa’ 4:35)
Dan bila boleh tahkimur rijaal (mengutus orang-orang sebagai juru damai) untuk mendamaikan antara suami isteri, maka hal itu lebih lagi dilakukan untuk menjaga pertumpahan darah umat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.
Dan Ibnu ‘Abbas mendebat mereka dengan dalil-dalil lainnya sebagaimana yang dijabarkan dalam tarikh dan firaq, beliau menjelaskan kepada mereka bahwa masalah ini meskipun terjadi kekeliruan dan pelanggaran di dalamnya, maka itu bukan termasuk kekafiran yang mereka yakini, sehingga kepada makna inilah perkataan (kufrun duuna kufrin) yang dinisbatkan kepada beliau itu ditempatkan/ditafsirkan. Dan banyak yang rujuk dari kalangan Khawarij itu, dan yang lainnya tetap bersikukuh, sehingga Ali dan para sahabatpun memerangi mereka, sehingga terjadilah apa yang sudah ma’lum dalam buku-buku sejarah.
Maka apakah yang dilakukan oleh para penguasa/pemerintah pada masa sekarang berupa klaim/tindakan pembuatan hukum/undang-undang di samping Allah, mengganti hukum-hukum Allah, serta mencari hakam, musyarri’ selain Allah dan juga mencari dien dan manhaj selain Islam, apakah ini seluruhnya wahai orang-orang yang berakal termasuk dalam kasus yang terjadi di antara sahabat itu dan yang diingkari oleh orang-orang Khawarij, serta yang di perdebatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan Khawarij, sehingga apa yang diucapkannya itu bisa dikaitkan kepadanya ?
Tapi yang jelas bahwa firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS: Al-Maa-idah 5:44)
Itu adalah umum mencakup putusan yang dhalim (kufrun duuna kufrin) dan mencakup al hukmu yang bermakna tasyrii’ (membuat hukum/undang-undang/aturan) yang merupakan kufrun bawwah.
Oleh sebab itu para salaf sesungguhnya bila membahas ayat tersebut dan orang berdalil dengannya memaksudkan makna pertama (dhalim) maka mereka menta’wilkan dan membawa ayat itu pada kufur ashghar, dan bila orang itu menginginkan makna yang kedua (tabdiil dan tasyrii’) maka mereka membiarkan ayat itu di atas dhahirnya yaitu kufrun bawwaah yang hakiki.
Padahal hukum asal pada ayat-ayat itu adalah berkenaan pada kekafiran akbar yang nyata yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, saat mereka bersepakat dan bersekongkol (untuk menerapkan) hukum-hukum selain hukum-hukum Allah.
Oleh sebab itu Al Baraa Ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata sebagaimana dalam Shahih Muslim setelah menyebutkan firman Allah ta’aala:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maa-idah 5:44)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maa-idah 5:45)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS: Al-Maa-idah 5:47)
Beliau berkata: Seluruhnya berkenaan dengan orang-orang kafir.
Seandainya orang-orang Khawarij menuturkan ayat-ayat itu pada tempatnya terhadap orang yang membuat hukum/undang-undang atau terhadap orang yang terjatuh dalam kasus yang di mana orang-orang Yahudi jatuh di dalamnya, tentulah para salaf tidak bakalan mengingkari mereka, tentulah mereka membiarkan kekafiran di dalam ayat itu pada hakikatnya dan tentulah mereka tidak menta’wilnya.[20]
Akan tetapi hal itu belum pernah ada pada zaman mereka itu sehinggan mereka perlu mengomentarinya, dan seandainya hal itu ada tentu mereka tidak bakalan mengutarakan terhadapnya seperti ayat ini yang masih dhanniy dilalahnya yang mengandung dua makna, akan tetapi mereka tentu mengutarakan nash-nash yang qath’iy dilalahnya yang tidak mengandung kecuali makna tasyrii’ lagi tabdiel, seperti firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (ajaran) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuura 42:21)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’aam 6:121)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki” (QS: Al Maa-idah 5:50)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,” (QS. Ali Imran 3:85).
Akan tetapi satupun dari hal itu tidak pernah ada pada diri khalifah di zaman Khawarij dan Ibnu ‘Abbas itu, oleh sebab itu tidak boleh menuturkan bantahan para sahabat terhadap Khawarij di tempat itu dan mendudukannya terhadap kemusyrikan para pemerintah itu dan kekafirannya yang nyata pada masa sekarang.
Siapa orang yang melakukan hal itu, maka sesungguhnya dia itu telah mentalbis yang hak dengan kebatilan dan cahaya dengan kegelapan,[21] bahkan dia itu –Demi Tuhan Ka’bah– berada di atas bahaya yang sangat besar, karena sesungguhnya konsekuensi hal itu adalah bahwa apa yang dikritikan oleh Khawarij terhadap para sahabat dan Al Khulafaa Ar Rasyidiin adalah sama sejenis dengan kemusyrikan para penguasa kafir itu, dan dalam keyakinan ini terkandung pengkafiran terhadap para sahabat seluruhnya pada zaman sekarang.
Maka tidak diragukan lagi bahwa siapa yang mengkafirkan para sahabat dan para Al Khulafaa Ar Rasyidiin itu maka sungguh dialah orang kafir, karena para sahabat itu telah diridlai Allah dan mereka ridla terhadap-Nya dengan nash Al Qur’an.
Menuduh mereka dengan sesuatu dari kemusyrikan dan kekafiran para penguasa itu adalah takdzib (pendustaan) terhadap penegasan Al Qur’an atau merupakan penetapan sifat bagi Allah bahwa Dia ridla terhadap orang-orang kafir, sedangkan semua ini merupakan kekafiran.
Maka hendaklah setiap orang khawatir terhadap diennya dari jurang-jurang kebinasaan, dan hendaklah takut kepada Allah orang yang menuduh para sahabat dengan kekafiran dan kemusyrikan demi menutupi (kekafiran) para thaghut itu.
******

SYUBHAT KE DUA
Sesungguhnya Mereka Itu Mengucapkan Laa Ilaaha Illallah
Mereka berkata: Bagaimana kalian mengkafirkan para tentara, atau para intelejen, polisi, dan para pengusung undang-undang lainnya, kemudian kalian tidak mau mengucapkan salam terhadap mereka, dan kalian memperlakukan mereka sebagai orang-orang kafir padahal mereka itu bersaksi tidak ada tuhan yang berhak diibadati kecuali Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengingkari Usamah atas vonis kafirnya terhadap seorang laki-laki yang mengucapkan laa ilaaha illallah, terus dia membunuhnya, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

كيف قتلته بعد أن قال لا إله إلا الله؟
“Bagaimana kamu membunuh setelah dia mengucapkan Laa ilaaha Illallah?
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: An Nisaa 4:94)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من مات وهو يشهد أن لا إله إلا الله دخل الجنة
“Siapa yang mati sedang dia bersaksi bahwa tidak ada ilaah yang berhak dibadati kecuali Allah, maka dia masuk surga”
Dan hadits bithaaqah yang di dalamnya disebutkan bahwa ada seseorang yang datang pada hari kiamat dengan membawa 99 catatan dosa, sampai-sampai dia mengira bahwa dirinya pasti binasa, terus catatan-catatan ini ditimbang dengan bithaaqah yang tertera laa ilaaha illallah di dalamnya, kemudian bithaaqah itulah yang lebih berat.
Dan begitu juga hadits yang diriwayatkan dari Huzaifah secara marfuu’, berkata:

يُسرى على كتاب الله في ليلة فلا تبقى في الأرض منه آية وتبقى فئام من الناس ما يدرون ما صلاة وما صدقة وما نُسُك يقولون هذه الكلمة “لا إله إلا الله” أدركنا آباءنا عليها فنحن نقولها)، قال صِلَة: (فما تنفعهم لا إله إلا الله وهم لا يدرون ما صلاة وما صدقة وما نُسُك؟)، قال حذيفة: (تنجيهم من النار).
Dihapus Kitabullah dalam satu malam, sehingga tidak tersisa darinya satu ayatpun, dan tersisalah sekelompok orang-orang yang tidak mengetahui apa itu shalat, apa itu shadaqah, apa itu nusuk, mereka mengatakan kalimat ini (laa ilaaha illallah), kami mendapatkan bapak-bapak kami di atasnya, kamipun mengatakannya, “Shilah[22] berkata: apa manfaat laa illaaha illallah bagi mereka sedang mereka tidak mengetahui apa itu shalat, shadaqah, dan nusuk?” “Huzaifah berkata: Itu menyelamatkan mereka dari api neraka.”
Dan hadits-hadits lainnya.[23]
Jawabannya adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman di dalam Kitab-Nya:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu, di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. ‘Ali Imran 3:7)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia menguji hamba-hambanya-Nya dengan cara menjadikan dalam syari’at yang Dia turunkan kepada mereka itu ada ayat-ayat muhkamat, kaidah-kaidah yang baku, dan perintah-perintah yang jelas yang merupakan putaran roda syari’at dan kapadanyalah segala urusan di kembalikan saat terjadi perselisihan dan pertentangan.
Dan di sana ada ayat-ayat mutasyaabihaat atau dhanniy dilalah yang mengandung banyak makna di dalam benak.
Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang sesat lagi menyimpang mereka adalah orang-orang yang mengikuti apa yang masih samar (mutasyabih) dan meninggalkan yang muhkam dalam rangka ingin memalingkannya dari makna yang dimaksud Allah yang telah diturunkan kepadanya, ini dilakukan dalam rangka talbiis (mengkaburkan kebenaran) dan mencari fitnah di antara hamba-hamba Allah.
Adapun jalan para pencari kebenaran dan para ulama yang kokoh keilmuannya, maka mereka itu mengembalikan yang mutasyaabih yang mereka anggap sulit kepada nash muhkam yang merupakan inti Al Kitab dan induknya yang setiap ta’wil harus berpatokan di atasnya dan setiap perselisihan harus dikembalikan kepadanya.
Asy Syathibiy telah menjelaskan di dalam kitab Al I’tishaam bahwa kaidah ini bukanlah khusus berkenaan dengan Al Kitab saja, akan tetapi menjadi kaidah baku yang diberlakukan di dalam Assunah An Nabawiyyah dan Sirah Muhammadiyyah. Karena di sana banyak hadits-hadits dan kejadian-kejadian individu yang dikatakan atau terjadi di munasabat-munasabat tertentu yang bila diambil secara menyendiri saja tanpa disertakan dengan dalil-dalil yang menjelaskannya, maka itu termasuk cara mengikuti yang mutasyaabih dan meninggalkan yang muhkam.
Begitu juga mengambil dalil umum tanpa yang mengkhususkannya, atau yang muthlaq tanpa yang membatasinya, atau mencomot/serabutan mengambil satu nash dari nash-nash yang ada yang di mana semuanya berbicara tentang satu masalah, dia mengambil (satu saja) dan meninggalkan yang lainnya yang padahal berkaitan dengannya, dan perbuatan seperti ini termasuk mengikuti yang mutasyaabih dan meninggalkan yang muhkam, juga termasuk berbicara atas nama Allah tanpa ilmu dan menisbatkan kepada syari’at apa yang tidak pernah dikatakannya.
Jadi wajiblah beriman kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya secara keseluruhan, mengambilnya semua, serta masuk ke dalam Islam ini secara kaaffah.
Adapun selalu mengambil apa yang selaras dengan keinginan (hawa nafsu), maka itu adalah jalan orang-orang yang menyimpang dan sesat, dan itulah penyebab utama sesaatnya mayoritas ahlil bid’ah.
Khawarij telah sesaat tatkala mereka menelantarkan nash-nash wa’d (janji) dan mereka memfokuskan terhadap nash-nash wa’iid (ancaman), mereka mengambil firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka Sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS: Al Jinn 72:23)
Ini adalah nash yang umum, yang tergolong mutasyabih bila tidak di kembalikan kepada yang membatasinya dan yang menjelaskannya yang mereka tinggalkan, yaitu firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ 4:48)
Begitu juga Murji’ah mereka berpegang dengan sebagian nash-nash yang lalu yang memberikan kabar gembira bagi orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan surga, terus mereka menangguhkan amal-amal dan menelantarkannya, serta merasa cukup ketika menghukumi keislaman seseorang dan masuknya ke dalam surga dengan sekedar ucapan (Laa ilaaha illallah) tanpa merealisasikan konsekuensi-konsekuensinya dan tanpa komitmen dengan lazimnya, meskipun hal-hal itu mampu dilakukan dan bisa dilaksanakan.
Padahal para ulama telah menjelaskan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya dari Wahb Ibnu Munabbih bahwa:

لا إله إلا الله مفتاح الجنة، لكن لكل مفتاح أسنان فمن جاء بمفتاح له أسنان فتح، ومن جاء بمفتاح ليس له أسنان لم يفتح
“Laa ilaaha illallah itu adalah kunci surga, akan tetapi setiap kunci itu ada gigi-giginya, siapa orangnya yang membawa kunci yang memiliki gigi maka dia bisa membuka pintu surga, dan barang siapa membawa kunci yang tidak bergigi maka tidak bisa membukannya” sedangkan gigi laa ilaaha illallah itu adalah merealisasikan syarat-syaratnya dan menjauhi pembatalan-pembatalannya.
Karena orang berakal yang mengetahui hakikat dienul Islam tidak meragukan lagi bahwa yang dimaksud dari laa ilaaha illallah adalah maknanya yang terdiri dari nafyu dan itsbaat. Adapun sekedar mengucap tanpa memaksudkan maknanya dan atau tanpa merealisasikan tuntutan-tuntutannya serta tanpa meninggalkan pembatalan-pembatalannya, maka ini bukanlah yang dituntut oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.[24]
Oleh sebab itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah“ (QS. Muhammad 47:19)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az Zukhruf 43:86)
Dan adapun hadits yang tadi:

من مات وهو يعلم أنّه لا إله إلا الله؛ دخل الجنة
“Siapa yang mati sedang dia bersaksi bahwa tidak ada ilaah yang berhak diibadati kecuali Allah, maka dia masuk surga,”

Ini juga merupakan dalil yang menunjukan bahwa mengetahui makna kalimat ini –yang mengandung tauhid dan baraa’ah dari syirik serta bermaksud akan maknanya dalam syahadat itu – merupakan syarat untuk merealisasikannya dan untuk meraih apa yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala atasnya.[25]
Untuk hal ini An Nawawiy telah membuat bab dalam Syarah Shahih Muslim (Bab Siapa orangnya yang mati di atas tauhid maka dia masuk surga).
Jadi yang dituntut itu adalah tahqiiq (merealisasikan) tauhid yang dikandung oleh kalimat ini, dan bukan sekedar melafalkannya tanpa menjauhi pembatal-pembatalnya serta tanpa istislaam akan hak-haknya.
Sebagaimana dalam hadits Mu’adz yang diriwayatkan dalam Ash Shahihain bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat kepadanya dan mengajarkannya metode dakwah saat beliau bersabda:

فليكن أوّل ما تدعوهم إليه “لا إله إلا الله”)، وفي رواية: (إلى أن يوحِّدوا الله
“Hendaklah yang paling pertama kamu dakwahkan kepada mereka adalah iaa ilaaha illallah,” dan dalam satu riwayat: “Mereka agar mentauhidkan Allah,
ini menunjukan bahwa yang dimaksud dari hakikat kalimat adalah apa yang dinafikannya dan apa yang ditetapkannya, bukan hanya sekedar mengucapkan belaka.
Dan telah kami jelaskan kepada engkau makna tauhid dalam tulisan kami yang diberi judul Haadzaani Khashmaani Ikhtashamuu Fii Rabbihim, dan engkau telah mengetahui bahwa tauhid adalah makna laa ilaaha illallah dan al ‘urwatul wutsqaa, dan sesungguhnya itu memiliki dua rukun: Yaitu An Nafyu dan Al Itsbat.
Adapun An Nafyu itu adalah (Laa ilaaha), yang maknanya adalah al kufru bith thaghut.
Dan adapun Al Itsbaat itu adalah (illallah), yang maknanya adalah ibadah hanya kepada Allah, sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam definisi Al ‘Urwatul Wutsqaa, Dia berfirman:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al Baqarah 2:256)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjadikan syarat bagi keselamatan dan keberpegangan dengan al ‘urwatul wutsqaa dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain (al kufru bith thaghut) dan (al iimaan billaah), tidak cukup (al kufru bith thaghut) saja tanpa (al iimaan billaah), sebagaimana tidak cukup (al iimaan billah) saja tanpa (al kufru bith thaghut), akan tetapi wajib menggabungkan dua hal itu.[26]
Selama para tentara/polisi dan yang lainnya itu tidak kafir terhadap thaghut terlebih dahulu bahkan justeru mereka malah menjadi pengawalnya, pengusungnya, pasukannya, barisannya, dan pelindungnya, maka mereka itu bukanlah sebagai kaum muslimin, bukan pula sebagai kaum mu’minin, serta bukan pula tergolong orang-orang yang berpegang teguh dengan al ‘urwatul wutsqaa, akan tetapi mereka itu adalah tergolong orang-orang yang binasa bila mati di atas kemusyrikan mereka meskipun mereka itu mengucapkan laa ilaaha illallah beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali.[27]
Dan sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya sesungguhnya para pengikut Musailamah Al Kadzdzaab mereka itu mengucapkan laa ilaaha illallah, mereka shalat, shaum, dan bersaksi bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah akan tetapi mereka menyertakan seseorang bersama Rasulullah dalam risalah, maka mereka itu menjadi kafir dengan (perbuatan itu), darah dan harta mereka menjadi halal, dan laa ilaaha Illallah yang mereka ucapkan itu tidak berguna bagi mereka dengan sekedar perbuatan mereka menyertakan (menyekutukan) orang dari kalangan suku mereka bersama Rasulullah dalam nubuwwah dan risalah.[28]
Maka apa gerangan dengan orang yang menyertakan raja, emir, presiden, atau orang ‘alim bersama Allah dalam ibadah, dia memalingkan kepada makhluk tadi satu macam ibadah dari ibadah-ibadah yang beragam, baik itu sujud atau ruku’ atau tasyrii’ (wewenang menetapkan hukum/undang-undang) sebagaimana yang terjadi pada syirik para penguasa/ pemerintah itu?
Dan definisi hal ini, yaitu al kufru bith thaghuut beserta al iman billah tidak lain adalah salah satu syarat dari syarat-syarat laa ilaaha illallah yang banyak itu. Para ulama telah membahas syarat-syarat ini dan mereka mengemukakan dalil-dalil atas hal itu supaya orang muslim tahu bahwa kalimat ini bukan hanya sekedar pengucapan dengan lisan dan cukup, (akan tetapi memiliki syarat-syarat dan rukun-rukun), mereka menyebutkan syarat-syaratnya:
  1. Al Ilmu (mengetahui) akan konsekuensinya, baik itu penafian atau penetapan.
  2. Al Inqiyaad (tunduk) terhadap hak-haknya.
  3. Ash Shidqu (jujur) yang menafikan dusta.
  4. Al Ikhlash yang menafikan syirik.
  5. Al Yaqiin yang menafikan keraguan.
  6. Al Mahabbah (cinta) akan kalimah ini dan kandungannya.
  7. Al Qabuul (menerima) yang menafikan penolakan akan sesuatu dari lawazimnya.
Dan pembahasan rinci hal itu bisa didapatkan dalam pembahasan khusus beserta dalil-dalilnya.
Dan yang dimaksud dari penyebutannya di sini adalah engkau mengetahui bahwa hadits-hadits semacam itu yang disebutkan dalam syubhat ini memiliki nash-nash lain dari Al Qur’an dan Assunnah yang menjelaskannya.
Maka hadits: “Siapa yang mati sedang dia bersaksi bahwa tidak ada ilaah yang berhak diibadati kecuali Allah, maka dia masuk surga,” adalah harus ditafsirkan dan dihubungkan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah 2:256)
Dan wajib dikembalikan kepada firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ 4:48)
Seandainya orang musyrik mengucapkan laa ilaaha iIllallah seribu kali, dan dia itu mengetahui maknanya, akan tetapi dia tidak meninggalkan kemusyrikannya dan tidak berlepas diri dari thaghutnya yang dia ibadati dan dia bela, maka sesungguhnya dia itu tidak berpegang teguh dengan al ‘urwatul wutsqaa, Allah tidak bakal mengampuninya, serta tidak mungkin masuk surga, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga” (QS. Al Maa-idah 5:72)
Begitulah setiap hadits yang berbicara tentang masalah ini wajib dihubungkan dengan nash-nash itu agar kita menguasai materi dari semua sisi-sisinya dan kita tidak termasuk orang-orang yang mengikuti nash yang masih samar (mutasyaabih). Digabungkan kepada hadits tadi hadits Ash Shahihain:

أشهد أن لا إله إلا الله وأنّني رسول الله لا يلقى اللهَ بهما عبدٌ غير شاكّ بهما إلا دخل الجنة
“Saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak diibadati selain Allah dan bahwa sesungguhnya saya adalah Rasulullah, tidaklah seorang hamba bertemu Allah dengan membawa keduanya tanpa ada sedikitpun keraguan akan keduanya melainkan dia (pasti) masuk surga.”
Dan hadits serupa dengannya:

ما من أحد شهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله صدقاً من قلبه؛ إلا حرّم الله عليه النّار
“Tidaklah seorangpun bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak diibadati melainkan Allah dan bahwa sesungguhnya saya adalah Rasulullah dengan penuh kejujuran dari hatinya melainkan Allah mengharamkan neraka atasnya.”
Dan hadits-hadits lain yang semacam itu, Dan dengan cara seperti inilah dien ini dipahami dan ilmu didapatkan serta maksud Allah diketahui sebagaimana yang Dia cintai dan Dia rdhlai. Dan oleh sebab itu An Nawawiy menukil dalam Syarah Muslim, 1/129 dari sebagian ahlul ilmi, beliau menukil ucapan mereka tentang ta’wil hadits-hadits ini bahwa sesungguhnya hadits-hadits itu “masih mujmal (global) yang membutuhkan syarah (penjelasan), dan maknanya adalah bahwa siapa yang mengucapkan kalimat ini, dan dia menunaikan haknya dan kewajibannya… Ini adalah ungkapan Al Hasan Al Bashriy. Dan dikatakan pula bahwa hal itu bagi orang yang mengucapkannya saat penyesalaan dan taubat serta mati di atas hal itu, dan ini adalah ucapan Al Bukhari. An Nawawiy berkata: “Ta’wil-ta’wil ini digunakan bila hadits-hadits itu dibiarkan sesuai dhahirnya, dan adapun bila hadits-hadits ini ditempatkan pada tempatnya maka penafsirannya tidak susah sebagaimana yang dijelaskan dari para muhaqqiqun”.
Dan seperti penjelasan hadits tadi, maka dikatakan pula pada hadits bithaqah, maka yang dimaksud bithaqah laa ilaaha illallah sebagaimana yang telah engkau ketahui adalah merealisasikan tauhid yang terdiri dari al iman billah dan al kufru bith thaghut serta tidak melakukan sedikitpun dari pembatal-pembatalnya.
Dengan mengembalikan hadits ini dan memahaminya sesuai dengan pancaran cahaya nash-nash yang muhkam seperti firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nissa 4:48).
Maka engkau mengetahui secara pasti bahwa catatan yang 99 itu adalah dosa-dosa yang tidak menyebabkan kafir (dzunuub ghair mukaffirah) atau dosa-dosa di bawah syirik akbar, karena syirik (akbar) yang membatalkan bithaqah ini tidaklah Allah ampuni sebagaimana penjelasan ayat tadi, sedang pelakunya jika mati di atasnya maka dia pasti tidak bakal masuk surga. Dan seandainya di dalam catatan-catatan itu ada satu pembatal dari pembatal keislaman, tentulah bithaqah itu tidak akan lebih berat, dan tentulah pelakunya tidak bakal selamat, karena pada saat itu bithaqah tersebut bukanlah tauhid yang shahih, akan tetapi bithaqah ucapan dan pengakuan saja yang dilanggar, yang hanya diucapkan dengan lisan tanpa memaksudkan maknanya atau perealisasian lawazimnya.
Seandainya yang terdapat dalam catatan-catatan itu adalah ibadah kepada selain Allah, atau pembuatan hukum dan perundang-undangan (tasyrii’) bersama Allah, atau pembelaan terhadap para pembuat hukum dan undang-undang itu dan loyal kepada mereka, atau celaan terhadap dien ini, atau memerangi kaum muwahhidiin, tentulah bithaqah itu tidak akan lebih berat, atau bermanfaat, atau pelakunya masuk surga,  karena ini semua merupakan penghalang-penghalang dan sandungan-sandungan yang menghalangi tercapainya kemenangan dan keselamatan, jadi yang ada dalam catatan-catatan itu adalah dosa-dosa di bawah syirik.
Di dalam hadits itu justeru terhadap penjelasan pentingnya dan begitu agungnya tauhid, dan mengandung penjelasan bahwa siapa orang yang merealisasikannya kemudian dia mendatangkannya sesuai dengan apa yang diinginkan dan diridlai Rabb kita, maka sesungguhnya tauhid itu dengan keagungannya mampu menutupi dan meleburkan seluruh dosa dan kesalahan yang dibawah syirik. Ini dikuatkan dan diperjelas juga oleh hadits qudsiy:

يا ابن آدم لو أتيتني بقراب الأرض خطايا، ثم لقيتني لا تشرك بي شيئاً أتيتك بقرابها مغفرة
“Hai anak Adam seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, terus engkau berjumpa dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-KU, tentulah Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula.” (HR At Tirmidzi)
Dan begitu juga hadits Huzaifah yang telah disebutkan di atas:

يُسرى على كتاب الله في ليلة فلا تبقى منه في الأرض آية
“Dihapus Kitabullah dalam satu malam, sehingga tidak tersisa darinya satu ayatpun di bumi ini”
Maka hadits ini bila memang shahih diartikan kepada makna bahwa orang-orang itu tidak mengetahui dari syari’at Islam kecuali kalimat ini saja, mereka merealisasikan maknanya lagi tidak menyekutukan Allah, karena Allah tidak mengampuni dosa penyekutuan terhadap-Nya.
Adapun status mereka meninggalkan shalat, shadaqah, dan nusuk (haji), bila mereka adalah muwahhiduun maka sesungguhnya mereka itu diudzur karenanya, sebab syari’at-syari’at ini tidak bisa diketahui kecuali dengan hujjah risaliyyah.
Dan di dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa Kitabullah itu diangkat pada zaman mereka sehingga tidak tersisa darinya satu ayatpun di muka bumi ini.
Sedangkan Kitabullah itu adalah hujjah yang dengannya Allah mengaitkan peringatan, Dia berfirman:

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)” (QS. Al An’aam 6:19)
Siapa saja yang Al Quran telah sampai kepadanya, maka berarti hujjah sudah tegak atasnya, dan siapa saja yang Al Qur’an belum sampai kepadanya maka dia diudzur dengan sebab (meninggalkan) furuu’ syari’at, akan tetapi dia tidak diudzur dengan sebab meninggalkan ashlut tauhid dan mengikuti kemusyrikan yang nyata dan penetapan tandingan (bagi Allah), karena ini adalah hal yang telah Allah tegakan atasnya hujjah-Nya yang nyata dari berbagai sisi sebagaimana yang akan datang penjelasannya.
Dan keadaan mereka itu –bila hadits ini shahih– adalah seperti keadaan Zaid Ibnu ‘Amr Ibnu Nufail yang sebelum diutusnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dia itu adalah hanif (muwahhid) muslim tanpa ada seorang nabipun datang kepadanya. Sesungguhnya dia itu telah merealisasikan tauhid dan berada di atas millah Ibrahim sebagaimana yang tercantum dalam Shahihul Bukhari, dan dia pernah berkata sebagaimana dalam riwayat Ibnu Ishaq:

اللهم لو أعلم أحب الوجوه إليك لعبدتك به، ولكني لا أعلمه
“Ya Allah, seandainya saya mengetahui tata cara ibadah yang paling Engkau cintai tentu saya beribadah kepada-Mu dengan cara itu, akan tetapi saya tidak mengetahui.”
Orang yang statusnya seperti ini diudzur dengan sebab (meninggalkan) rincian syari’at-syari’at yang tidak bisa diketahui kecuali lewat jalan para rasul, sedangkan dia itu tidak mengetahui bagaimana cara shalat, atau zakat, dan oleh sebab itu dia diudzur di dalamnya.
Adapun tauhid maka dia itu tidak bisa selamat kecuali dengan merealisasikannya, karena itu adalah hak Allah atas hamba-hamba-Nya yang karenanya Dia mengutus seluruh rasul-rasul-Nya dan Dia telah menegakan atasnya berbagai macam hujjah.
Penjelasan ini semua dipakai bila ternyata lafadz, ”Itu menyelamatkan mereka dari api neraka” adalah marfuu’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi yang benar itu adalah mauquuf yang mudraj (disisipkan) dari perkataan Huzaifah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama.
Bahkan sebagian ulama muhaqqiqin berpandangan bahwa hadits ini adalah tidak shahih, karena di dalam sanadnya ada Abu Muawiyah Khazim Adl Dlariir, dia itu mudallis dan dalam marwiyyaatnya dari selain Al A’masy terdapat kelemahan, dan ternyata di sini dia meriwayatkan dari selain Al A’masy, terus lebih dari itu dia itu adalah tergolong pentolan Murji’ah sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar, dan hadits ini di antara sekian hujjah yang dipegang dan dipakai dalil oleh orang-orang Murji’ah. Sedangkan para ulama telah menghati-hatikan dari menerima riwayat-riwayat ahlil bid’ah bila riwayatnya itu termasuk yang mendukung bid’ahnya,[29] dan hadits ini termasuk apa yang dipegang oleh ahlul irjaa’ maka apa gerangan apabila disertai kelemahan dan tadliis.
Adapun hadits Usamah:[30] itu berhubungan dengan orang kafir yang baru masuk Islam dan tidak menampakan satupun pembatalan keislaman, maka orang semacam ini tidak halal membunuhnya, sebab dia itu telah masuk dalam ‘ishmah (keterjagaan harta dan darah dengan Islamnya) maka wajib menahan diri dari (membunuh)nya sampai dia mendatangkan pembatalan keislaman.
Oleh sebab itu An Nawawiy membuat bab bagi hadits ini dalam Syarah Shahih Muslim (Bab haramnya membunuh orang kafir setelah mengucapkan laa ilaaha illallah), akan tetapi harus diketahui bahwa ada perbedaan besar antara ibtidaaul ‘ishmah (permulaan keterjagaan darah dan harta) dengan istimraaruhaa (keberlangsungannya). ‘Ishmah itu dimulai bagi orang kafir dengan pengucapan dia akan kalimat tauhid ini, akan tetapi keberlangsungan ‘ishmah itu tidak ada kecuali dengan komitmen terhadap hak-hak kalimat ini dan meninggalkan serta menjauhi pembatalan-pembatalnya.
Orang kafir saat dia ingin masuk Islam, dia mengucapkan kalimat tauhid. Dan sekedar mengucapkannya berarti dia siap untuk menerima syari’at-syari’at Islam dan istislam akan hak-haknya, serta baraa’ah dari apa-apa yang membatalkannya. Bila dia tidak merealisasikan hal itu maka ‘ishmah yang dia telah masuk ke dalamnya dengan kalimat itu tidaklah terus berlangsung, akan tetapi terputus.
Jadi hadits itu berkenaan dengan orang yang baru masuk Islam dan tidak menampakan sedikitpun dari pembatal-pembatal keislaman. Dan bukan berkenaan dengan orang yang mengklaim dan mengaku Islam semenjak lama yang sementara bila engkau melihat perlakuannya, tentu engkau akan mendapatkan dia itu sangat memusuhi Islam dan pemeluknya, dia damai dengan thaghut, konco-konconya, undang-undangnya, dan kebatilanya. Orang seperti ini meskipun dia mengucapkan laa ilaaha illallah seratus atau bahkan seribu kali, maka itu tidaklah bermanfaat baginya sehingga dia melepaskan dirinya dari kekafiran, kemusyrikan dan dari thaghutnya yang dia sembah dan dia loyal kepadanya serta dia menjadi pengawalnya, karena ini adalah makna terpenting kalimat tersebut yang belum dia realisasikan selama ini.
Dan seperti hal itu adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu” Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya)” (QS. An Nisaa’ 4:94)
Sesungguhnya ayat ini turun –sebagaimana dalam hadits yang menjelaskan sebab turunya– berkenaan dengan sekelompok para sahabat yang melewati seorang laki-laki yang membawa sekawanan kambing, terus laki-laki itu mengucapkan salam kepada mereka, dia menampakan keislaman dan tidak menampakan sedikitpun dari pembatal-pembatalnya, namun demikian mereka memperlakukan orang itu sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh Usamah, mereka membunuhnya dengan alasan bahwa dia itu mengucapkan kalimah tauhid karena takut mereka, dan mereka membawa kambing-kambingnya. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingkari mereka karena perbuatan itu di dalam Al Qur’an, sebab yang wajib dilakukan terhadap orang yang menampakan keislaman di hadapan kita adalah memperlakukannya sesuai dhahirnya selama dia tidak menampakan apa yang menyalahinya di hadapan kita.
Dan bila tampak bagi kita setelahnya bahwa dia itu menampakan Islam dan juga menampakan ajaran lain yang kafir, serta dia tidak berlepas diri darinya – seperti demokrasi umpamanya atau loyal kepada undang-undang dan hukum buatan – maka kita tidak menerima (pengakuan Islam) darinya hingga dia berlepas diri dari hal itu semuanya dan memurnikan ketundukan hanya kepada Allah Rabul ‘aalamiin. Oleh sebab itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman sebelum itu dan sesudahnya:  (maka telitilah).
******

SYUBHAT KE TIGA
Sesungguhnya Mereka Itu Shalat dan Shaum
Mereka berkata: “Bagaimana kalian mengkafirkan seluruh ‘asaakir qanuun (aparat hukum) dan anshaarud dustuur (pengusung/pembela UUD), sedangkan sebagian mereka itu masih shalat, shaum, dan bahkan haji.”
Dan mereka (orang-orang yang membela-bela aparat) itu bisa jadi menyebut-nyebut hadits Muslim yang di dalamnya disebutkan tentang para penguasa muslim yang dhalim, dan di antara ucapan para sahabat:

(أفلا نقاتلهم يا رسول الله؟)، قال: (لا, ما أقاموا فيكم الصلاة).
“apakah kami harus memerangi mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak boleh, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian.”
Dan hal serupa adalah hadits Dzul Khuwaishirah yang mengomentari pembagian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka Khalid Ibnu Walid berkata: apakah saya boleh membunuhnya? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

(أليس يصلّي؟ أما إني لم أؤمر بقتل المصلين)، وفي رواية: (يتحدث الناس محمد يقتل أصحابه).
Bukankah dia shalat?, Sesungguhnya saya tidak memerintahkan untuk membunuh orang-orang yang shalat,” dan dalam satu riwayat: “nanti orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.”
Jawabannya, kita katakan: Telah engkau ketahui bahwa dienullah yang dengannya Allah mengutus semua rasul adalah tauhid, dan wajib engkau ketahui bahwa tauhid ini adalah syarat inti dari sekian syarat diterimanya amalan dan ibadah.
Amalan itu tidak menjadi khalish lagi diterima kecuali dengan merealisasikan syarat ini beserta syarat lainnya yaitu mutaba’ah (yang bermakna bahwa amalan itu selaras dengan apa yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti dan ketidakadaannya menyebabkan ibadah itu tidak ada dan bathil.
Oleh sebab itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyebutkan amalan orang-orang kafir dan musyrikiin yang begitu banyak, akan tetapi Dia Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia tidak menerimanya, bahkan justeru Dia menjadikannya bagaikan debu yang berterbangan, karena amalan-amalan itu kehilangan syarat ikhlas dan tauhid.
Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun, dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya. (QS. An Nuur 24:39)
Dan di dalam hadits qudsiy yang diriwayatkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya:

أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملاً أشرك به معي غيري تركته وشركه
“Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan persekutuan, siapa orang yang mengamalkan suatu amalan di mana dia menyertakan yang lain bersama-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan dia dan penyekutuannya.”
Para ulama berdalil dengan hadits ini untuk syirik ashghar (kecil), maka syirik akbar lebih utama masuk di dalamnya.
Bukti ini semua adalah bahwa tauhid itu merupakan syarat akan sahnya shalat dan syarat untuk diterimanya shalat itu.
Masuk ke dalam Islam hanyalah dari jalur pintu tauhid, bukan dari pintu shalat atau ibadah-ibadah lainnya tanpa perealisasian tauhid ini. Para ulama hanyalah menghukumi orang yang shalat dengan status Islam karena shalat itu mengandung tauhid, dan karena tauhid itu adalah syarat akan sah dan diterimanya shalat tersebut.
Siapa orang yang membawa shalat, atau shaum, atau zakat tanpa merealisasikan (tahqiiq) tauhid dengan kedua rukunnya (al iman billah wal kufru bith thaghut), maka sesungguhnya amalan-amalannya itu semuanya adalah bathil dan bukan shalat saja.
Siapa orang yang shalat, sedang dia itu menampakan kemusyrikan, dia tidak meninggalkan ibadah kepada thaghut-thaghut dan dari membelanya, maka shalatnya itu tidak diterima, dan shalatnya itu tidak memasukan dirinya kedalam lingkaran Islam, serta tidak mengeluarkannya dari lingkaran kemusyrikan.
Dan di antara dalil yang paling jelas atas hal itu adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar 39:65).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’aam 6:88)
Menjauhi penyekutuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan meninggalkan ibadah kepada thaghut-thaghut, serta melepaskan diri dari mengikuti mereka di atas hukum dan perundang-undangannya adalah merupakan syarat terbesar untuk diterimanya amalan, dan itu merupakan kewajiban pertama yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala wajibkan dan Dia perintahkan terhadap hamba-hamba-Nya. Dan tanpa hal itu maka segala amalan adalah lenyap.
Sedangkan para aparat (tentara/polisi) itu bukannya mereka itu memenuhi perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk kufur kepada thaghut, “padahal mereka itu sudah diperintahkan untuk kafir kepadanya”, tapi justeru mereka mengganti perintah dengan mengerjakan yang tidak diperintahkan kepada mereka, kemudian mereka malah melindungi thaghut itu, mengawalnya, membelanya, mengikutinya, dan mereka mempertahankan hukum-hukum dan undang-undang yang kafir itu.
Coba bagaimana bila si prajurit ini, atau komandan itu, atau mata-mata thaghut, atau polisi, atau intelejen, yang lainnya, mereka itu shalat tanpa wudhu, bagaimana menurut pandanganmu apakah shalat mereka itu diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala? atau justeru itu batil lagi ditolak?
Mungkin engkau akan mengatakan ini adalah masalah yang tidak seorangpun menyelisihinya, tidak diragukan lagi bahwa shalat tanpa wudlu itu bathil lagi ditolak.
Perhatikanlah wahai hamba Allah permasalahan ini, bila saja meninggalkan thaharah menyebabkan shalatnya batil, karena sesungguhnya thaharah adalah temasuk syarat sahnya shalat, maka apa gerangan dengan meninggalkan tauhid serta meninggalkan kufur kepada thaghut, yang merupakan syarat terbesar diterimanya seluruh amalan??!
Oleh sebab itu sesungguhnya al iman billah dan al kufru bith thaghut merupakan syarat dan hal yang telah Allah wajibkan atas anak Adam untuk mempelajarinya serta mengamalkannya sebelum mempelajari shalat dan syarat-syaratnya, sebelum mempelajari thaharah, syarat-syaratnya serta pembatal-pembatalnya.
Itu juga merupakan syarat satu-satunya yang difardlukan atas para sahabat di Mekkah sebelum difardlukannya shalat dan ibadah lainnya. Dan termasuk suatu yang ma’lum bahwa para sahabat itu tidaklah mengalami penyiksaan di Mekkah, tidak pula mereka mengalami cobaan, hijrah meninggalkan tanah air sendiri, serta tidaklah mereka itu ditindas kecuali karena hal itu (al iman billah wal kufru bith thaghut), sebab kaumnya itu tidaklah menyiksa mereka dan tidak pula menindasnya karena sebab shalat, zakat atau karena ketaatan dan syari’at-syari’at lain yang belum difardlukan dan mereka belum dituntut untuk melaksanakannya, akan tetapi justeru mereka itu paling pertama dituntut adalah untuk merealisasikan hal agung ini, sebab ibadah-ibadah itu tidak bisa diterima tanpanya. Oleh sebab itu bukanlah termasuk metode Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bukan pula termasuk cara dakwahnya dan dakwah para sahabat, mereka memulai saat mendakwahi orang-orang musyrik dengan shalat, zakat atau syari’at-syari’at lainnya sebelum mendakwahi mereka untuk merealisasikan tauhid dan menjauhi ibadah kepada thaghut. Demi Allah dakwah mereka itu bukanlah seperti itu selama-lamanya.
Dan amatilah hadits Mu’adz Ibnu Jabal dalam Ash Shahihain tatkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman, dan beliau mengajarinya metode dan cara dakwah, beliau berkata:

(فليكن أول ما تدعوهم إليه؛ شهادة “أن لا إله إلا الله” – وفي رواية: “إلى أن يوحدوا الله” – فإن هم أطاعوك لذلك؛ فأعْلِمهم أنّ الله قد افترض عليهم خمس صلوات في اليوم والليلة، فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أنّ الله قد أوجب عليهم في أموالهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فتردّ إلى فقرائهم… الحديث).
“Hendaklah sesuatu yang paling pertama engkau ajak mereka kepadanya adalah syahadat laa ilaaha illallah’.’ Dan dalam satu riwayat: “ajaklah mereka untuk mentauhidkan Allah”, bila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah memfardlukan atas mereka lima kali shalat dalam sehari semalam, dan bila mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang faqir di antara mereka…”
Jadi mendakwahi orang kedalam Islam ini mula-mula bukanlah dari shalat, akan tetapi dari tauhid. Kemudian bila dia sudah merealisasikan tauhid ini, maka dia diperintahkan shalat, zakat, dan rukun-rukun Islam yang lainnya.
Siapa orangnya yang telah merealisasikan tauhid ini, dan dia berpegang teguh kepada al ’urwatul wutsqaa, maka dia selamat, dan shalat serta rukun-rukun Islam yang lainnyapun diterima. Dan siapa orangnya yang berpegang kepada syari’at-syari’at dan rukun-rukun Islam tanpa berpegang teguh kepada al ’urwatul wutsqaa maka dia itu tergolong orang-orang yang binasa, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pernah menjamin tidak terputusnya sesuatupun dari buhul-buhul keislaman dan keimanan, kecuali bila digabungkan dan dihubungkan dengannya al ’urwatul wutsqaa ini yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala jamin tidak bakal terputus, dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256)
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah 2:256).
Oleh sebab itu sesungguhnya banyak sekali orang yang mengkhususkan dirinya untuk beribadah di dunia ini, ibadah mereka itu ditolak secara muthlaq di hari kiamat, dan tempat kembalinya adalah neraka, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, beramal banyak lagi kepayahan,” yaitu dalam ibadah, kemudian tempat kembalinya:

تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
“memasuki api yang sangat panas (neraka)” (QS. Al Ghasyiyah: 2-4)
Ini karena ibadahnya, shalatnya, lelahnya, kepayahannya itu menjadi debu yang ditaburkan, karena itu dilakukan tanpa tauhid dan ikhlash.
Bila engkau telah memahami ini dan engkau telah mengetahui bahwa itu adalah salah satu kaidah dari kaidah-kaidah dien kaum muslimin dan salah satu pokok yang muhkam dari pokok-pokok mereka yang kepadanyalah segala nash-nash yang samar (mutasyabih) dikembalikan, setelah itu maka pahamilah di atas panduannya setiap hadits yang engkau anggap sulit memahaminya dalam masalah-masalah ini.
Dan di antaranya adalah hadits Muslim yang lalu tentang para pemimpin dan larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari memeranginya selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kita, ini merupakan isyarat kepada penegakan dien dan tauhid bersama shalat, dan yang dimaksud bukanlah penegakan shalat saja tanpa tauhid!! dengan dalil bahwa sesungguhnya perintah memerangi itu –sebagaimana dalam hadits-hadits lain yang menjelaskan hadits ini – disebutkan paling pertama kali di dalamnya sebelum shalat dan zakat (ini sebagai tahqiiq tauhid) sebagaimana dalam hadits muttafaq ‘alaih:

(أُمرت أنْ أُقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأنّ محمداً رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقِّها، وحسابهم على الله).
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, kemudian bila mereka telah melakukan hal itu, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dari saya kecuali dengan haknya sedangkan penghisabannya atas Allah.”
Perhatikan penyebutan tauhid, dan sesungguhnya perang itu dimulai di atasnya, kemudian di atas hak-hak dan lawaazimnya.
Dan ini adalah makna firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
“Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (QS. At Taubah 9:5)
Jika mereka bertaubat: yaitu dari syirik dan kekafiran, mereka menanggalkan ibadah kepada selain Allah, dan merealisasikan tauhid, kemudian mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat maka darah dan harta mereka telah terjaga kecuali dengan haknya.
Adapun mendirikan shalat tanpa bertaubat dari syirik dan tanpa tauhid, atau mendirikan shalat namun disertai pembatal laa ilaaha illallah maka ini sama sekali tidak berguna di hadapan Allah. Berapa banyak orang yang shalat pada zaman Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dia kafir dan murtad dengan sebab ucapan.
Di antara pembatal-pembatal tauhid yang agung ini, dan di antara contoh-contoh hal itu adalah apa yang telah kami kemukakan kepada anda tentang segelintir orang yang keluar ikut berperang bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk, dan mereka itu tergolong orang yang shalat, namun demikian mereka kafir tatkala mendatangkan satu dari pembatal-pembatal tauhid dan Islam, yaitu istihzaa’ mereka (perolok-olokan yang mereka lakukan) terhadap para penghapal Al Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Tidak usah kamu mencari-cari alasan, karena kamu telah kafir sesudah beriman. (QS. At Taubah 9:66).
Sedangkan mereka adalah orang-orang yang shalat.
Di atas kaidah seperti inilah para ulama kaum muslimin berjalan, dan oleh sebab itu mereka menjadikan di dalam kitab-kitab fiqihnya satu bab yang dinamakan (bab hukum orang murtad), mereka mendefinisikan orang murtad dengan pernyataan bahwa dia adalah orang muslim yang murtad dengan sebab ucapan, atau perbuatan, atau keyakinan setelah di Islam, dan bisa jadi dia itu orang yang shalat.
Dan oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menfatwakan kafirnya para penyembah Yasiq, yaitu undang-undang atau hukum-hukum Tattar pada zamannya, sebagaimana beliau menfatwakan kafirnya para pendukung mereka dan bala tentaranya padahal di antara mereka itu ada orang yang shalat, silahkan rujuk jilid 28 dalam Majmuu Fatawaa-nya.
Dan seperti uraian di atas dikatakan pula pada hadits Dzul Khuwaishirah. Ungkapan beliau: “Bukankah dia shalat?” Atau: “Mungkin saja dia itu suka shalat”. Di dalamnya diambil kaidah pengambilan hukum berdasarkan dhahir dan luarnya saja sedangkan masalah hati maka itu di kembalikan kepada Allah. Dan sesungguhnya orang itu telah menampakan tauhid, karena kaidah yang telah engkau ketahui sebelumnya menetapkan bahwa tidak diterima sekedar shalat tanpa tauhid. Seandainya orang itu menyembah thaghut atau membelanya, atau menerima/rela/setuju adanya pembuat hukum/undang-undang dan pemutus selain Allah dan dia menampakan hal tersebut tentu Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak bakal menerima keislaman dengan shalat saja darinya.[31]
Di antara faidah yang diambil dari hadits ini dan yang sejalan dengannya adalah bahwa kita menjaga darah dan harta setiap orang yang shalat menghadap kiblat kita, dan kita menganggapnya sebagai ahlul qiblah (muslimin) karena kandungan shalatnya itu akan tauhid selama tidak nampak darinya satu pembatal dari pembatal keislaman yang jelas lagi terang.
Sedangkan para pelindung/pengusung undang-undang itu telah menampakan loyalitas kepada syirik (undang-undang dan pengusungnya), serta mereka membantu para penguasa thaghut itu untuk menghabisi kaum muwahhidiin. Dan ini adalah salah satu pembatal yang nyata dari sekian pembatal-pembatal keislaman, maka penampakan mereka akan shalat itu tidaklah berguna baginya karena mereka terjatuh di dalam pembatal itu, dan hal itu sama sekali tidak berguna baginya.
******

SYUBHAT KE EMPAT
Siapa Yang mengkafirkan Orang Islam Maka Dia Telah Kafir
Orang-orang yang membela-bela ‘asaakirul qaanuun (para aparat hukum) berkata: “Sesungguhnya takfir itu adalah masalah yang berbahaya, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: Siapa yang mengkafirkan orang muslim, maka dia telah kafir.”
Bahkan kami mendengar dari sebagian orang-orang jahil di antara mereka, dia berkata: “Tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang dilahirkan dalam keadaan kafir dari kedua orang tua yang kafir.”
Jawabannya kita katakan: Takfir itu secara muthlaq bukanlah hal yang berbahaya lagi tercela, akan tetapi yang tercela lagi berbahaya adalah mengkafirkan orang muslim dengan sekedar hawa nafsu dan sekedar ta’ashshub golongan tanpa dalil syar’iy[32]
Tidak semua kufur itu tercela sebagaimana tidak semua iman itu terpuji.
Di antara iman ada yang wajib seperti iman kepada Allah, dan di antara iman ada juga yang diharamkan lagi syirik seperti iman kepada thaghut.
Begitu juga kufur, di antaranya ada yang wajib lagi terpuji seperti kufur kepada thaghut, dan di antaranya ada juga yang tercela seperti kufur terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan dien-Nya.
Dan sebagaimana mengkafirkan orang muslim tanpa dalil syar’iy adalah masalah yang berbahaya, maka begitu juga menghukumi orang musyrik atau orang kafir dengan keislaman dan keterjagaan darahnya, serta setelah itu memasukannya kedalam ukhuwwah islamiyyah dan loyalitas imaniyyah adalah masalah yang sangat berbahaya dan kerusakan yang maha besar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS: Al Anfaal 8:73).
Dan adapun hadits yang tadi disebutkan maka tidak benar sama sekali bersumber dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan lafadz seperti ini. Tidak setiap orang yang mengkafirkan orang muslimin itu kafir apalagi bila orang muslim itu telah melakukan apa yang telah dinamakan Allah dan Rasul-Nya sebagai kekafiran.
Dan mafhuum dari lafadz ini adalah bahwa orang muslim itu tidak bisa menjadi kafir selama-lamanya, sedangkan ini terbantahkan oleh firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang orang-orang yang di mana mereka itu dahulunya menampakan keislaman:

لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS. At Taubah 9:66)
Dan firman–Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad 47:25)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha uas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Maidah 5:54)
Dan ayat-ayat lainnya.
Bila saja orang muslim itu tidak mungkin kafir atau murtad, maka apa faidah hukum-hukum orang murtad yang dicantumkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab fiqh, yang di antara hukum-hukum itu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من بدّل دينه فاقتلوه
“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia itu.”
Sedangkan lafadz hadits yang sebenarnya di dalam Shahih Muslim adalah:

من قال لأخيه المسلم يا كافر؛ فإن كان كذلك وإلا حار عليه
“Siapa yang mengatakan kepada saudaranya hai kafir, maka bila memang sebenarnya (ya tidak mengapa), dan kalau ternyata tidak (benar) maka tuduhan itu kembali kepadanya.”
Sabda:maka bila memang sebenarnya (ya tidak mengapa)”. Ini menunjukan bolehnya mengkafirkan orang muslim yang nampak darinya kekufuran dan penghalang takfir tidak ada padanya, yaitu bila keadaanya seperti itu maka tidak apa-apa.
Dan ungkapan:”dan kalau ternyata tidak (benar) maka tuduhan itu kembali kepadanya.” Maksudnya adalah: pengkafiran itu kembali kepadanya bila orang yang dia kafirkan itu tidak kafir.
Oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mengkafirkan orang muslim yang nampak darinya sesuatu dari kekafiran, maka sesungguhnya dia itu tidak kafir meskipun vonisnya itu tidak menepati sasaran yang benar karena adanya penghalang dari penghalang pengkafiran yang tidak dia ketahui, maka sesungguhnya dia itu mendapat pahala atas hal itu, sebagaimana halnya yang terjadi pada Umar Al Faruq radliyallahu ‘anhu tatkala berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Biarkan saya penggal leher orang munafiq ini”. Maksudnya Hathib.
Meskipun Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa Hathib itu tidak kafir, akan tetapi beliau tidak mengatakan kepada Umar: kekafiran itu telah kembali kepadamu, karena kamu telah mengkafirkan orang muslim dan menghalalkan darahnya, sedangkan orang yang mengkafirkan orang muslim maka dia itu telah kafir, sebagaimana yang diklaim oleh mereka!!!
Ibnu Qayyim rahimahullah telah mengisyaratkan di dalam Zadul Ma’aad terhadap makna ini saat beliau menyebutkan faidah-faidah yang diambil dari kisah Hathib Ibnu Abi Balta’ah pada Futuh Mekkah.
Maka diketahuilah bahwa yang dicela itu –dan dia itu di atas keadaan yang sangat berbahaya– adalah hanyalah orang yang mengkafirkan orang muslim karena sekedar hawa nafsu dan fanatik golongan.
Dan untuk menambah faidah, sang muwahhid harus mengetahui bahwa hadits ini maknanya ditakwil menurut para ulama dengan banyak takwilan, yang salah satunya: Bahwa sesungguhnya orang yang mensifati dienul muslimin dan tauhid dengan kekafiran, maka dia itu telah kafir.
Takwil lain: Mereka membawa kepada orang yang meremehkan dan serampangan dengan mengkafirkan kaum muslimin, maka sesungguhnya perbuatan itu menghantarkan dia kepada kekafiran. Dan takwilan-takwilan lainnya.[33]
An Nawawiy rahimahullah telah menyebutkan sebagian pentakwilan-pentakwilan itu di dalam Syarah Shahih Muslim.
Yang menyebabkan mereka terpaksa mentakwil hadits itu dan memahaminya sesuai dengan pancaran nash-nash lain adalah karena dhahirnya bertentangan dengan satu pokok dari pokok-pokok dien ini yang muhkam menurut ahlussunnah wal jama’ah dalam masalah-masalah kekafiran dan iman, yaitu firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisaa’ 4: 48)
Dan tidak diragukan lagi bahwa menuduh kafir orang muslim karena emosi duniawi atau karena hawa nafsu adalah hinaan terhadapnya, dan itu masih di bawah syirik.
Dan karena itulah ulama yang mentakwilnya terpaksa mentakwil dengan cara mengembalikannya kepada nash-nash lain yang muhkam, serta memahaminya sesuai dengan panduan nash-nash tersebut.
Seandainya kita yang dihujat oleh lawan-lawan kita dengan syubhat seperti ini, kita mengatakan: Sesungguhnya orang yang telah mengkafirkan kami, atau telah mengkafirkan kaum muslimin muwahidiin selain kami karena alasan benci kepada mereka, kepada tauhid mereka serta karena baraa’ah mereka dari thaghut-thaghut itu, terus dia menamakan dien mereka (kaum muwahidiin) ini sebagai dien Khawarij dalam rangka membela musuh-musuh tauhid dari kalangan thaghut-thaghut itu serta dalam rangka membantu undang-undang mereka dan aparat-aparatnya untuk mengganyang kaum muwahidiin, bahwa dia itulah orang yang kafir dengan berlandaskan kepada hadits ini, tentu itu adalah hal yang benar yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya dan tentu tidak membutuhkan untuk mentakwilnya, karena itu adalah kekafiran tanpa diragukan lagi.
Adapun ucapan orang bodoh itu: Bahwa boleh dikafirkan kecuali orang yang dilahirkan dalam keadaan kafir dari kedua orang tua yang kafir, maka ini adalah ucapan yang tidak berharga yang menunjukan bahwa sesungguhnya orang yang mengucapkannya adalah sama sekali tidak mengetahui hakikat dienil Islam, dan usaha membantahnya adalah penyia-nyiaan akan waktu dan tenaga. Dan makna ucapan itu adalah bahwa orang muslim itu tidak mungkin kafir selama-lamanya, dan ini adalah ucapan yang tidak pernah diucapkan oleh seorangpun dari kalangan orang-orang terdahulu, baik oleh orang alim atau orang jahil.
Dan untuk membongkar kebatilannya adalah cukup firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sabda Rasul-Nya, serta perkataan ulama dalam bab hukum-hukum orang murtad yang telah lalu, karena sesungguhnya di dalamnya terdapat obat bagi orang yang buta kedua matanya.
*******
SYUBHAT KE LIMA
Diudzur Karena Kejahilan
Al Mujadiluun (orang-orang yang membela) bala tentara qawaaniin itu berkata: Sesungguhnya para tentara adalah orang-orang jahil yang sangat membutuhkan orang yang mengajari mereka, mendakwahi mereka, dan memberikan penjelasan kepada mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa pimpinan-pimpinan (atasan-atasan) mereka itu adalah thawagiit, dan mereka tidak mengetahui bahwa ketaatan mereka kepada atasan-atasannya di dalam tasyrii’ itu adalah ibadah dan syirik, maka dengan alasan ini sesungguhnya loyalitas mereka kepada atasan-atasannya itu serta usaha mereka menjaga undang-undang itu bukanlah kekafiran.
Jawab: Tidak ada perbedaan akan pentingnya dan dianjurkannya mendakwahi para tentara itu dan yang lainnya, dan itu adalah tergolong amalan yang paling baik, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat 41:33)
Akan tetapi semuanya adalah musyrik terhadap Allah dalam ibadah[34] sebelum didakwahi, saat didakwahi dan setelahnya selama mereka itu tidak komitmen dengan tauhid serta tidak kafir terhadap thaghut-thaghut itu, mereka semua adalah musyrikin.
Jadi pernyataan akan pentingnya mendakwahi mereka itu tidaklah merubah status mereka, dan pernyataan itu tidaklah merubah mereka menjadi muwahhidiin, atau nama musyrik itu diangkat dari mereka, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah 9:6).
Allah telah menamakan mereka sebagai kaum musyrikin sebelum mereka mendengar firman Allah, dan Allah mensifati mereka dengan (nama musyrik) itu padahal sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui (yaitu jahil).
Dan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Nabi-Nya untuk mendakwahi mereka, memperdengarkan (wahyu) kepada mereka, shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta menyampaikan dakwah kepada mereka, tidaklah merubah sedikitpun dari status itu, baik sebelum mendakwahinya, atau saat mendakwahinya, atau setelah didakwahi selama mereka itu masih memegang kemusyrikan lagi tidak komitmen dengan tauhid. Itu dikarenakan sesungguhnya syirik akbar yang menolak al haniifiyyah assamhah –yaitu memalingkan sesuatu dari ibadah dhahirah kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’alaadalah masalah yang pelakunya itu sama sekali tidak diudzur karena kebodohannya. Sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegakan hujjah-Nya yang nyata dari berbagai sisi yang telah di sebutkan para ulama, di antaranya:
1.     Dalil-dalil kauniyyah yang nampak yang menunjukan akan wahdaaniyyah Allah. Di mana rubuubiyyah-Nya bisa digunakan sebagai dalil akan wahdaaniyyah-Nya Subhanahu Wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan, memberi rezeki, membentuk tubuh, dan yang mengatur segala urusan adalah Dia saja yang wajib diibadati dan yang berhak membuat hukum, dan tidak boleh –baik menurut akal menurut syari’at– satu macam ibadah itu dipalingkan kepada selain-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

أَلا لَهُ الْخَلْقُ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS: Al A’raaf 7:54).
2.  Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengambil kesaksian terhadap Bani Adam dalam hal itu, yang mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengeluarkan mereka dari punggung ayah mereka Adam sebagai keturunannya, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (172) أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan), atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang Kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (QS. Al A’raaf 7:172-173).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengudzur mereka dengan klaim lalai, tidak tahu (jahil), dan taqlid kepada leluhur dalam masalah syirik yang nyata lagi jelas ini setelah Dia mengambil kesaksian mereka untuk tidak menjadikan tuhan lain selain-Nya.
3.   Fitrah Allah yang Dia tetapkan manusia di atasnya serta Dia tumbuhkan di dalam hati hamba-hamba-Nya yang mengakui bahwa Sang Pencipta lagi Pemberi rizki adalah satu-satunya yang berhak disembah lagi berwenang membuat hukum dan aturan, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهوِّدانه أو ينصِّرانه أو يمجِّسانه)، وفي رواية: (ويشركانه)
“Setiap anak yang terlahir itu berada di atas fitrah, kemudian kedua orang tuanya meyahudikannya, atau menasranikannya, atau memajusikannya,” dan dalam riwayat Muslim: “Dan memusyrikannya.”
Juga dalam hadits Qudsiy yang diriwayatkan Muslim:

إني خلقت عبادي حنفاء فجاءتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم فحرّمت عليهم ما أحللت لهم
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (bertauhid), kemudian datang syaitan kepada mereka, terus syaitan menyesatkan mereka dari diennya, dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.”
4.     Dan di samping itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus para rasul seluruhnya untuk menegakan tujuan yang agung ini.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl 16:36)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An Nisaa’ 4:165)
Orang yang tidak sampai kepadanya risalah nabi, maka ia mendengar dengan (hujjah) lainnya. Karena semua rasul itu meskipun syari’at-syari’at mereka bermacam-macam akan tetapi dakwah mereka kepada perealisasian tauhid dan penghancuran syirik dan tandiid adalah satu.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS: Al Israa 17: 15).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menepati janjinya dan Dia mengutus para rasul kepada seluruh umat manusia, serta Dia menutup mereka dengan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan Dia telah menjelaskan jalan dan menegakan hujjah, sedangkan tidak bakal ada seorang rasulpun setelahnya.
5.    Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menurunkan semua kitab-kitab-Nya yang mengajak kepada tujuan yang agung ini. Dan Dia memungkaskannya dengan kitab yang tidak mungkin hilang dengan air, tidak akan lapuk, dan tidak akan punah, karena Dia telah menjamin untuk selalu menjaganya hingga hari kiamat. Sedang Dia mengaitkan peringatan dengan sampainya Al Qur’an itu dalam banyak masalah-masalah dien ini.
Maka apa gerangan dengan masalah yang paling agung dan paling rentan, yaitu tauhid, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya.” (QS. Al An’aam 6: 19)
Dan firman-Nya:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al Bayyinah 98:1)
Kemudian Allah menjelaskan bukti yang nyata (bayyinah) dan hujjah itu dengan firman-Nya:

رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً
“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran)” (QS. Al Bayyinah 98:2)
Sehingga siapa saja orangnya yang telah sampai kepadanya Al Qur’an yang mulia ini, maka berarti hujjah dan peringatan itu telah tegak atasnya, terutama dalam masalah dien yang paling jelas ini yang dimana para rasul diutus karenanya.
Adapun bila yang dimaksud dengan sampai dan tegaknya hujjah itu adalah setiap orang didatangi di tempatnya, terus hujjah ditegakan kepadanya, maka ini adalah apa yang Allah ingkari dalam firman-Nya tentang orang-orang musyrik:

فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ (48) فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ (49) كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ (50) فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ (51) بَلْ يُرِيدُ كُلُّ امْرِئٍ مِنْهُمْ أَنْ يُؤْتَى صُحُفًا مُنَشَّرَةً
“Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?, seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut, lari dari pada singa. Bahkan tiap-tiap orang dari mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran yang terbuka itu diberikan kepadanya.” (QS. Al Muddatstsir 74:48-52)
Dan suatu yang telah diketahui dari perjalanan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa yang beliau lakukan dalam mendakwahi kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan, adalah beliau hanya mengirimkan surat kepada pimpinan-pimpinannya saja tidak kepada masing-masing rakyatnya, dan beliau tidak pernah mensyaratkan atau memerintahkan para utusannya dan para panglimanya agar mendatangi satu-persatu orang-orang itu untuk menegakan hujjah atas mereka, terutama orang-orang kafir harbiy. Dan sesungguhnya keadaan sekarang menurut para ulama setelah tersebar dan merebaknya Islam di belahan bumi ini tidaklah seperti keadaan saat mulai munculnya dakwah Islam, atau seperti orang yang baru masuk Islam.
Sedangkan para thaghut dan para pengusungnya dari kalangan aparat-aparat hukum, mereka itu mengikuti jejak-jejak kaum musyirikin terdahulu dalam hal keberpalingan mereka dari Al Qur’an yang mengandung ajaran tauhid dan dalam hal melalaikannya, mereka lari dari mendengarkan kebenaran seperti larinya keledai liar dari singa, sehingga mereka berstatus sebagai orang-orang musyrik yang jahil dengan kejahilan yang mereka usahakan sendiri dengan sebab keberpalingannya dari peringatan Allah dan dari hujjah-Nya yang telah tegak di hadapan mereka, bukan karena kejahilan yang penyebabnya adalah belum sampainya risalah, atau kejahilan yang penyebabnya adalah idiot, gila, atau masih kecil atau mawaani’ ahliyyah (penghalang-penghalang taklif) lainnya, di samping itu sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir harbiy yang menolak komitmen akan syari’at Islam dengan kekuatan senjata, sedangkan termasuk sesuatu yang ma’lum adalah bahwa orang kafir harbiy semacam itu tidaklah wajib ditegakkan hujjah atas mereka, oleh sebab itu para ulama dalam masalah ini membedakan antara orang yang melakukan peperangan karena membela diri dengan orang yang melakukan perang untuk tujuan memperluas kekuasaan. Sehingga ternyata datang sekelompok manusia yang membela-bela orang-orang yang memerangi dienullah dan para auliyaa-Nya dengan tujuan menutupi kekafiran para thaghut itu, mereka mengklaim bahwa hujjah itu belum tegak atas mereka. Lazim dari pernyataan ini –yang padahal di dalamnya terkandung kejahilan– adalah bertentangan dan bersebrangan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”. (QS. Al An’aam 6:149)
Sedangkan anda telah mengetahui bahwa hujjah Allah itu tegak dalam masalah tauhid dari beberapa sisi dan segi. Oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata tatkala seseorang bertanya tentang ayahnya:

(إن أبي وأباك في النار) [رواه مسلم]
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. Diriwayatkan oleh Muslim, ini padahal sesungguhnya mereka itu tergolong orang-orang yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan tentang mereka itu:

لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ
“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. (QS. Yasiin 36:6)
Ini tidak lain karena sesungguhnya ashlut tauhid dan peringatan dari syirik serta ibadah kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah Allah tegakan atasnya hujjah yang terang lagi kuat dari berbagai sisi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya dan dengan Allah mengutus para rasul seluruhnya.
Meskipun ini adalah masalah yang sangat jelas, akan tetapi datang sebagian orang yang tidak mengetahui dari dien ini kecuali sekedar nama dan tidak mengetahui dari syi’ar-syi’arnya kecuali sekedar ritual, mereka menuntut adanya penegakan hujjah dalam masalah syirik yang jelas lagi nyata dan dalam masalah tauhid yang merupakan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, dan yang karena untuk merealisasikannya para rasul diutus dan seluruh kitab diturunkan, serta hujjah- hujjah diadakan dengan begitu banyak.
Dan bisa jadi menegakan syubhat atas hal itu dengan ayat-ayat qur’aniyyah yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al Israa 17: 15)
Mereka memaksudkan: bahwa tidak ada pengkafiran kecuali setelah menegakan hujjah dalam setiap permasalahan, termasuk dalam syirik akbar yang jelas lagi terang.
Di dalam ayat ini sama sekali tidak ada dilaalah (dalil) untuk pernyataan mereka yang rusak ini, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengatakan:

وما كنّا مكفرين حتى نبعث رسولاً
“Dan kami tidak akan mengkafirkan sebelum Kami mengutus seorang rasul! ”
Dia hanya mengatakan:

معذِّبين
“..akan meng’adzab.”
Dan yang dimaksud dengannya adalah adzab pembumi hangusan di dunia ini, yaitu seperti firmannya Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka.” (QS. Al Qashash 28: 59)
Atau adzab akhirat sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (8) قَالُوا بَلَى
“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “benar ada,” (QS: Al Mulk 67: 8-9).
Adapun takfiir terutama dalam masalah syirik akbar dan peribadatan kepada selain Allah, maka ia bukanlah yang dimaksud dengan hal itu, sebab orang kafir itu ada kafir mu’aanid (membangkang) seperti orang-orang yang dimurkai Allah yang mana mereka itu mengetahui kebenaran dan terus kafir terhadapnya, dan ada orang kafir jahil atau yang disesatkan seperti orang-orang sesat yang disesatkan oleh ulama-ulama mereka.
Tidak setiap orang kafir, kekufurannya itu di atas dasar tahu dan pengingkaran akan kebenaran, akan tetapi mayoritas orang-orang kafir adalah juhhal (bodoh) lagi sesat, dan yang menjerumuskan mereka ke dalam api neraka tidak lain adalah taqlid mereka kepada orang-orang panutan, tokoh-tokoh dan leluhur mereka, serta mereka itu menduga bahwa mereka itu berbuat yang benar.
Sedangkan masalah syirik akbar yang nyata sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menegakan hujjah-hujjah-Nya yang jelas lagi terang, maka orang jahil tidak diudzur di dalamnya, karena kejahilannya itu tidak lain adalah karena sebab keberpalingan dia dari dien ini dan dari mempelajari kewajiban yang paling inti yang karenanya dia diciptakan, dan bukan kejahilan orang yang belum tegak hujjah atasnya.
Di dalam kisah Zaid Ibnu ‘Amr Ibnu Nufail ada pelajaran, dia telah merealisasikan tauhid tanpa ada seorang rasul khususpun yang diutus di zamannya, dan itu terjadi sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus. Dia termasuk ke dalam orang yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan tentangnya:

لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ
“Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu” (QS: Assajdah 32: 3)
Meskipun demikian Zaid itu adalah hanif (muwahhid) yang berada di atas Millah Ibrahim, dia mendapat petunjuk kepada tauhid dengan fitrahnya, sehingga dia berlepas diri dari thaghut-thaghut kaumnya, dia menjauhi dari ibadah kepadanya dan dari mendukungnya, dan hal itu sudah cukup untuk keselamatannya (dari api neraka). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa dia itu dibangkitkan sebagai ummah waahidah (satu umat), dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatnya telah dihidangkan kepada Zaid daging yang disembelih untuk berhala, maka dia enggan untuk memakannya seraya berkata:

إني لست آكل مما تذبحون على أنصابكم
“Saya tidak akan memakan apa yang kalian sembelih untuk tujuan berhala kalian.”
Dia juga mencela orang-orang Quraisy karena sembelihan mereka, dia berkata:

(الشاة خلقها الله وأنزل لها من السماء الماء، وأنبت لها من الأرض ثم أنتم تذبحونها على غير اسم الله، إنكاراً لذلك وإعظاماً له) [رواه البخاري].
“Kambing itu telah Allah ciptakan, Dia telah menurunkan baginya air dari langit, dan Dia menumbuhkan rumput-rumputan baginya di bumi ini, kemudian kalian malah menyembelihnya dengan selain Nama Allah (sebagai pengingkaran terhadap perbuatan mereka dan mengherankannya).” Diriwayatkan oleh Al Bukhari…
Perhatikanlah bagaimana tauhid itu telah tertanam di dalam fitrahnya dan bahwa syirik itu adalah hal yang muncul kemudian yang telah dibuat-buat manusia dan mereka cenderung kepadanya.
Zaid ini adalah orang yang tidak pernah datang kepadanya nabi khusus di zamannya, namun demikian dia telah mengetahui tauhid dan merealisasikannya, sehingga diapun selamat dan diudzur dalam hal rincian-rincian syari’at dan ibadat yang tidak bisa diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah. Dan dia itu pernah berkata sebagaimana dalam riwayat Ibnu Ishaq:

(اللهم لو أعلم أحب الوجوه إليك لعبدتك به، ولكني لا أعلمه، ثم يسجد على الأرض براحته)
“Ya Allah, seandainya saya mengetahui tata-cara ibadah yang paling Engkau cintai, tentulah saya telah beribadah kepada engkau dengannya, akan tetapi saya tidak mengetahuinya, kemudian dia sujud diatas tanah dengan telapak tangannya”.
Dia diudzur dalam hal meninggalkan shalat, shaum dan syari’at-syari’at lainnya yang tidak bisa diketahui kecuali lewat jalan para rasul.
Padahal orang-orang yang sezaman dengannya tidaklah diudzur, dan di antara mereka itu adalah kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka tidak merealisasikan tauhid dan tidak berlepas diri dari kemusyrikan, kekafiran, dan tandiid, padahal belum pernah datang kepada mereka itu seorang pemberi peringatanpun sebagaimana yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kabarkan.
Tadabburilah makna ini dengan baik dan ketahuilahn bahwa masalah ini (yaitu masalah al ‘udzru bil zahil/udzur jahil) telah banyak dibicarakan oleh para ulama dan orang-orang mutaakhkhir ikut nimbrung di dalamnya, dan tidak ada yang memahami dengan sebenar-benarnya, kecuali orang-orang yang menguasai masalah ini dari semua sisi-sisinya. Adapun orang yang hanya berpegang dengan satu nash darinya terus dia membangun di atasnya masalah-masalah yang sangat besar ini, maka dia telah menyelisihi kebenaran dan jauh menyimpang.
Dan ketahuilah setelah ini semua bahwa kekafiran thaghut-thaghut dan para pembelanya itu pada masa sekarang bukanlah karena sebab kejahilan yang bermakna belum sampainya hujjah risaliyyah kepada mereka, karena penutup para nabi telah diutus dan tidak mungkin ada rasul setelahnya, sedangkan Kitabullah yang dengannya Allah mengaitkan peringatan itu selalu terjaga yang tidak datang kepada kebatilan baik dari arah depan maupun dari belakang, dan ia itu ada di hadapan mereka, akan tetapi mayoritas manusia lebih mencintai kehidupan dunia atas akhirat, sehingga mereka berpaling dari mencari dan mengikuti kebenaran, maka kekafiran mereka itu adalah kufru i’raadl (kekafiran karena keberpalingan) dan bukan karena sebab tidak sampainya hujjah risaliyyah.
Kemudian ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang {menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah} mereka itu tidaklah mengetahui (jahil) bahwa taat dalam tasyrii’ itu adalah ibadah dan syirik sebagaimana dalam hadits ‘Adi Ibnu Hatim yang shahih dengan semua jalannya, yang mana di dalamnya ada ungkapan ’Adi {mereka (orang-orang nasrani) itu tidaklah beribadah kepada mereka}, mereka itu tidak mengetahui bahwa taat dalam tahliil, tahrim, dan tasyrii’ itu adalah ibadah, namun demikian mereka semua menjadi kafir dengan sebab memalingkan hal itu kepada selain Allah, dan dengan sebab perbuatan itu mereka telah menjadi orang-orang yang mempertuhankan para ulama dan pendeta itu selain Allah, serta mereka itu tidaklah di’udzur dengan kejahilannya ini.
Karena hal itu bertentangan dengan fitrah yang mana Allah telah memfitrahkan manusia di atasnya. Dzat yang menciptakan, yang memberi rizki, yang membentuk dan yang mengadakan, Dia-lah Dzat yang tidak boleh satupun selain-Nya membuat hukum, memerintahkan dan memutuskan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus seluruh rasul-rasul-Nya, dan telah menurunkan kitab-kitab-Nya dalam rangka mentauhidkan Allah dalam ibadah, mengesakan-Nya dalam hukum dan tasyrii’ (pembuatan/wewenang hukum), serta menjauhi ibadah kepada selain-Nya. Kemudian masalahnya pada masa sekarang kita ini telah lebih jelas dari semua itu, coba perhatikan perwira ini, atau polisi itu, atau para intelejen, atau aparat keamanan lainnya, bila engkau bertanya kepadanya tentang agamanya, maka dia mengaku bahwa agamanya Islam dan bahwa Kitabnya adalah Al Qur’an, serta dia juga membacanya di saat siang dan malam sebagai nilai tambah penegak hujjah!!!!!! Kemudian ternyata di samping itu semua dia menyepelekan Islam dan Al Quran, dia mengadili, memenjarakan, memata-matai orang yang berusaha untuk menegakkan aturan/hukum Islam dan membelanya, dia memerangi/memberangus setiap orang yang mendakwahkan tauhid dan baraa’ah dari syirik dan tandiid, dan di sisi lain dia membela dan melindungi hukum thaghut, aturan yang dibuatnya, dan undang undang dasarnya yang syirik yang menggugurkan/menghadang hukum-hukum syari’at, serta dia menyokong auliyaanya dari kalangan musuh-musuh tauhid, dia loyal kepada mereka dan membantu mereka untuk membabat/mempersempit ahlul haq.
Maka apakah penolakan/penguguran ini semua terhadap dienullah masih samar atas orang yang mengaku Islam? Dan apakah hal ini tergolong masalah yang pelik, sulit dan yang masih samar, sehingga bias dikatakan “hujjah belum tegak atas mereka”?.
Sesungguhnya masalah ini demi Allah adalah lebih terang dari pada matahari di siang bolong.
Di sini ada dua barisan dan dua kelompok orang yang bermusuhan: Barisan syirik dan barisan tauhid, barisan undang-undang buatan dan barisan syari’ah yang suci. Sedangkan orang-orang itu (para tentara/polisi dan yang lainnya) telah melakukan pilihan dengan murni keinginan mereka dan dengan keadaan akal mereka yang sehat sempurna. Dan pilihan mereka itu adalah barisan thaghut, baik karena cinta kepadanya, atau karena lebih mencintai kehidupan dunia “gaji bulanan dan uang pensiun” dan yang lainnya atas akhirat, mereka itu berperang di jalan thaghut, mereka membelanya, dan mereka menumpas setiap orang yang menentang thaghutnya atau berusaha memisahkan diri darinya dari kalangan barisan tauhid:

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut” (QS. An Nisaa’ 4: 76)
Oleh karenanya para tentara itu di hari kiamat di saat melihat langsung kenyataan menangnya barisan tauhid dan kalahnya serta binasanya barisan syirik dan tandiid, mereka akan mengatakan:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا (67) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al Ahzaab 33: 67-68)
Perhatikan ucapan mereka {lalu mereka menyesatkan kami (dari jalan yang benar)} apakah mereka diudzur dengannya?!.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman juga tentang kebanyakan orang-orang kafir, bahwa mereka itu:

وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“…sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi 18: 104)

وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
“Dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Az Zukhruf 43: 37)

وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ
“Dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat).” (QS. Al Mujaadilah 58: 18)
Dan semua itu tidaklah bermanfaat bagi mereka, karena mereka telah melanggar hal yang jelas lagi terang yang mana Allah sudah menegakan hujjah-Nya yang terang, dan yang karenanya Dia telah mengutus seluruh Rasul-Nya. Dan seandainya kesalahan dan penyimpangan mereka itu terjadi dalam hal yang samar, sedang mereka itu masih memiliki pokok keislaman (tauhid), maka tentu keadaannya tidaklah seperti itu.[35]
Pembahasan dalam masalah ini sangatlah panjang, dan para ulama telah menjabarkannya, serta kami memiliki satu tulisan khusus tentangnya yang kami beri nama: Al Farqu Al Mubiin Bainal Udzri Bil Jahil Wal I’raadl ‘Anid Diin (Perbedaan Yang Jelas Antara Udzur Karena Kejahilan Dengan Keberpalingan Dari Dien), mudah-mudahan Allah memudahkannya untuk dicetak, akan tetapi uraian tadi dirasa cukup sekali bagi orang yang mencari hidayah.
*******
SYUBHAT KE ENAM
Terpaksa, tertindas, sumber pencaharian, dan mashlahat.
Mereka berkata: Sesungguhnya banyak dari kalangan tentara/polisi itu tidaklah mencintai thaghut, bahkan di antara mereka ada yang kafir terhadapnya dan baraa’ah dari undang-undang buatannya. Mereka itu di dalam lubuk hatinya membenci thaghut, akan tetapi mereka beralasan dengan pencaharian (rizki), gaji, dan bahwa sebagian mereka tinggal beberapa tahun lagi akan menjalani pensiun.
Dan bisa jadi mereka (orang-orang yang membela-bela para tentara thaghut) itu menyebutkan alasan ketertindasan, dan keterpaksaan, serta sebagian mereka memandang dalam tugasnya itu mengandung maslahat buat Islam dan pelayanan bagi kaum muslimin.
Dan jawabannya: kita katakan sesungguhnya perbedaan antara Ahlussunnah dengan firqah lainnya dari kalangan ahli bid’ah dan orang-orang yang sesat manhajnya adalah: bahwa sesungguhnya iman menurut Ahlussunnah adalah keyakinan hati, ucapan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bukan sekedar keyakinan hati saja.
Sedangkan kufur kepada thaghut itu haruslah lahir batin, oleh sebab itu kita dituntut di dalam syari’at kita ini untuk menghukumi sesuai dhahir (luar) dan tidak meneliti yang ghaib yang berada di dalam hati dan yang hanya di ketahui oleh Allah.
Orang munafik bila menyembunyikan kekafiran dan kebencian akan syari’at, akan tetapi dia menampakan di hadapan kita iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut secara komitmen dengan syi’ar-syi’ar Islam yang dhahir, meskipun itu dilakukan karena rasa takut dia kepada kekuasaan Islam maka sesungguhnya kita dituntut untuk memperlakukan sesuai dhahirnya, dan tidak ada urusan kita dengan bathinnya.
Oleh sebab itu sesungguhnya dia diperhitungkan sebagai kaum muslimin, darah dan hartanya terjaga, sedangkan perhitungannya di akhirat adalah diserahkan kepada Allah, di mana Dia berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An Nisaa’ 4: 145).
Dan begitu juga sebaliknya.
Maka begitu juga orang yang mengaku bahwa dia itu beriman kepada Allah di batinnya dan kafir terhadap thaghut di hatinya, sedangkan dhahirnya (luarnya) itu bertentangan dan kontradiksi dengan pengakuannya itu, ini bisa jadi dengan cara dia berada di barisan tentara syirik dan pembela thaghut, dia ikut memperbanyak jumlah mereka, membela dan melindungi undang-undangnya yaitu thaghut yang Allah perintahkan untuk kafir terhadapnya dia loyalitas kepada mereka dan mendukung/membelanya untuk menindas kaum muwahhidiin, maka sesungguhnya kita memperlakukannya dan menghukuminya berdasarkan dhahirnya ini.
Karena kita sebagaimana dalam hadits: “tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati manusia dan tidak pula (diperintahkan mengorek) dada mereka”.
Oleh sebab itu Umar Ibnul Khaththab radliyallahu’anhu berkata sebagaimana dalam Shahihul Bukhari:

(إنّ ناساً كانوا يؤخذون بالوحي في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلّم، فمن أظهر لنا خيراً أمناه وقربناه وليس لنا من سريرته شيء، الله يحاسب سريرته، ومن أظهر لنا سوءاً لم نأمنه ولم نصدِّقه، وإنْ قال؛ أنّ سريرته حسنة).
“Sesungguhnya orang-orang dihukumi oleh wahyu pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka (sekarang) siapa yang menampakan kebaikan kepada kami, maka kami mempercayainya dan mendekatkannya kepada kami, dan kita tidak ada urusan dengan isi hatinya. Dan siapa yang menampakan keburukan kepada kami maka kami tidak mempercayainya dan tidak membenarkannya meskipun hatinya baik.”
Dan didalam hadits Al Bukhari juga dalam kisah pasukan yang menginvasi Ka’bah, Allah membenamkan mereka seluruhnya dari depan hingga belakang padahal di antara mereka itu ada orang yang tidak termasuk golongan mereka, dan ada yang dipaksa dan ada yang lainnya.
Dalam hadits itu ada dalil yang menunjukan secara jelas akan hal ini, karena Ummul Mukminin tatkala bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum mereka orang-orang yang memperbanyak jumlah pasukan itu, sedang mereka sama sekali tidak memiliki niat memerangi kaum muslimin, maka Rasulullah berkata:

يهلكون مهلكاً واحداً، ويُبعثون على نيّاتهم يوم القيامة
“Mereka dibinasakan seluruhnya dalam satu waktu dan mereka dibangkitkan di hari kiamat atas dasar niat-niat mereka”.
Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawaa, 28/537 saat beliau berkata tentang pasukan Tartar penyembah Yasiiq (Undang-undang Tartar) sedang di antara mereka ada orang yang shalat dan mengaku terpaksa dan alasan lainnya, beliau berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah membinasakan pasukan yang hendak mengotori kehormatan hurumaat-Nya (tanah haram) –termasuk yang terpaksa dan yang tidak terpaksa di antara mereka– padahal Allah mampu memilah-milah mereka, sedang Dia membangkitkan mereka di atas niat-niatnya, maka bagaimana ada kewajiban atas kaum muslimin yang berjihad untuk memilah-milah antara yang dipaksa dan yang lainnya sedangkan mereka itu tidak mengetahui hal itu”.
Saya berkata: Dan mana mungkin kita bisa melakukan hal itu? Dan bagaimana? Kita tidak ada urusan kecuali berdasarkan hukum dhahirnya saja.
Ini barisan keluar dalam rangka memerangi ahlul Islam, mereka memperbanyak jumlah ahlusy syirik wal autsaan (kaum musyrikin), maka status hukum orang yang berada di dalamnya dan yang menampakan loyalitas dan pembelaannya (kepada mereka) di dunia ini adalah sama dengan status hukum mereka itu, dan kita tidak ditugaskan untuk mengomentari status hukum-hukum akhirat sekarang.
Dan hal ini dibuktikan dengan perlakuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Al ‘Abbas tatkala dia ditawan bersama barisan kaum kuffar pada perang Badar, terus dia mengaku bahwa dirinya muslim dan bahwa dia keluar ikut perang itu karena dipaksa, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

أمّا سريرتك فإلى الله وأمّا ظاهرك فلنا
“Adapun masalah batinmu maka itu kembali kepada Allah, dan adapun dhahirmu maka itu kami yang menghukuminya,”
Atsar ini diriwayatkan oleh Ahmad dan di dalamnya ada perawi yang tidak di sebut namanya, akan tetapi inti kisah ini ada dalam Shahihul Bukhari, dan di dalam riwayat Bukhari itu ada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya agar menebus dirinya sendiri seperti orang-orang musyrik lainnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan dia sama dengan perlakuannya terhadap barisan kaum musyrikin yang dimana dia ikut memperbanyak jumlah mereka, dan inilah yang sama kami lakukan terhadap para tentara/polisi syirik dan para pendukung undang-undang.
Apakah kita tidak merasa lapang sebagaimana lapangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau adalah orang yang paling taqwa, paling takut kepada Allah dan paling berhati-hati dalam mengkafirkan dan dalam menghukumi manusia dan hal lainnya.
Adapun klaim bahwa mereka itu terpaksa, maka itu terbantahkan dan tertolak dalam masalah kita ini, karena dipaksa untuk menampakan kekafiran itu ada batasannya yang telah dijelaskan oleh para ulama yang sama sekali tidak cocok diterapkan kepada mereka itu, dan orang yang mencari kebenaran bisa merujuknya secara rinci kepada tempat lain[36]. Para ulama telah membedakan secara jelas antara ikraah (paksaan) atas maksiat dengan ikraah atas kekufuran, kemusyrikan, atau pembelaan terhadap kaum musyrikin dan yang lainnya.
Dan siapa saja yang mengamati keadaan para tentara/polisi itu, maka dia tidak mendapatkan mereka itu terpaksa sama sekali, akan tetapi itu adalah pekerjaan dan sumber pencahariannya yang mereka merasa bangga dengannya, serta mereka mendapatkan pangkat, gaji dan upah atasnya.
Ikraah macam apa ini yang dimana pelakunya mendapatkan gaji dan fasilitas, serta dia betah bertugas di dalamnya sepuluh dan dua puluh tahun sebagai benteng kemusyrikan karena terpaksa menurut klaim mereka…???!.
Bila mereka beralasan karena tertindas, maka sungguh orang-orang terdahulu sebelum mereka telah beralasan dengan alasan serupa, akan tetapi alasan itu tidak diterima, sedangkan mereka adalah orang-orang yang telah masuk Islam di Mekkah dan tidak meninggalkan barisan kaum musyrikin untuk bergabung dengan barisan kaum muwahhidiin, kemudian tatkala perang Badar mereka dipaksa kaum musyrikin untuk keluar ikut perang di barisan terdepan.
Perhatikanlah bagaimana mereka itu tidak ikut keluar perang bersama mereka dalam keadaan suka rela, dan tidak masuk di barisan pasukannya dalam keadaan senang seraya mendapatkan atasnya pangkat dan gaji seperti halnya tentara-tentara thaghut itu, namun demikian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan tentang mereka ayat qur’aaniyyah yang menjelaskan bahwa mereka itu tidakah diudzur dalam hal itu dan tidaklah mereka itu tertindas, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam Keadaan bagaimana kalian ini?” (QS. An Nisaa’ 4: 97).
Maksudnya: Di barisan mana kalian ini? Apakan di barisan tauhid dan syari’ah? Atau di barisan syirik, tandiid, undang-undang buatan, dan aturan kekafiran?!.
Dan jawaban yang jelas lagi benar adalah mereka mengatakan: “kami berada di barisan kaum musyrikiin,” akan tetapi tatkala mereka melihat langsung kebinasaan barisan ini, mereka berpaling dari jawaban ini dan memindahkan pembicaraan dan melontarkan udzur bahwa mereka ini bermanfaat bagi mereka dalam baraa’ah dari syirik dan kaum musyrikiin.
Coba perhatikan bagaimana mereka itu berusaha untuk berlepas diri dari barisan thaghut dan pasukannya yang binasa di dalamnya pada tahapan pertama dari tahapan-tahapan negeri akhirat, karena ini adalah hal terpenting yang mereka lalaikan dan mereka terlantarkan, yaitu hal yang menjerumuskan mereka dalam kebinasaan-kebinasaan itu.
Akan tetapi apakah hal itu bermanfaat bagi mereka, sedang mereka sudah mati di barisannya dan tidak meninggalkannya serta tidak berlepas diri darinya di dunia ini?!. Kemudian amatilah bagaimana mereka itu menjawab pertanyaan malaikat itu:

قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ
“(kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. (QS. An Nisaa’ 4: 97).
Itu adalah hujjah mereka yang saling mereka wariskan lewat pasukan-pasukan kekafiran:

أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS: Adz Dzariyaat 51: 53).
Begitulah mereka menimpali kita saat kita mengajaknya untuk bertauhid dan baraa’ah dari syirik dan tandiid. Dan begitulah yang dilakukan orang-orang yang membela-bela mereka saat kita menjelaskan status mereka dalam dienullah ini dan sikapnya terhadap tauhid, mereka mengatakan: “kami adalah orang-orang yang tertindas di negri ini”. Gaji… rumah dinas… pencaharian… maka apakah alasan ini diterima dari mereka?!.
Dan perhatikan jawaban malaikat terhadap mereka, dan hati-hatilah dari sikap (keadaan) ini dan orang-orangnya:

قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.“ (QS. An Nisaa’ 4: 97).
Bukankah pintu-pintu rizki itu sangat luas, sehingga kalian dapat meninggalkan barisan kaum musyrikin itu dan pindah kepada yang lainnya?
Siapa yang memberi rizki semut, lebah, burung, binatang lainnya, orang-orang musyrik, dan orang-orang kafir? Apakah engkau mengira bahwa Allah tidak mampu member rizki orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang baik yang membersihkan diri dari barisan syirik dan menjauhi karena rasa cinta dan pembelaan terhadap tauhid dan muwahhiduun? Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan…
Perhatikan ancaman Allah terhadap mereka dengan firman-Nya: “orang-orang itu tempatnya di nereka jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali”, padahal mereka itu tidak ikut keluar bersama pasukan itu dalam keadaan suka rela, akan tetapi mereka itu telah menelantarkan kewajiban hijrah (dan mereka itu mampu) pada awalnya, terus tatkala masalah menjadi runcing mereka terpaksa keluar perang bersama musuh-musuh kaum muwahhiduun.
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (98) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (QS. An Nisaa’ 4: 98-99).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengudzur dengan alasan tertindas kecuali orang yang tidak memiliki daya upaya untuk keluar (hijrah) dan lari kepada Allah dari barisan kaum kuffar, seperti orang yang terluka parah, atau sudah lemah, atau diikat, atau ditawan, atau tidak mengetahui jalan hijrah dan jalan melarikan diri bergabung dengan barisan Islam, seperti wanita, atau anak kecil, atau orang jompo, atau orang lemah.
Kemudian Allah memberikan semangat untuk hijrah dan lari dari barisan-barisan musyrik ini dan Dia menjanjikan orang yang melakukannya dengan rizki yang melimpah lagi lapang. Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah menggantikannya dengan yang lebih baik, dan itu semua untuk memutus setiap hujjah-hujjah yang lemah, Dia berfirman:

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak.” (QS. An Nisaa’ 4: 100).
Sebagaimana Dia berfirman dalam sisi lain dari sisi-sisi ajakan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlepas diri dari syirik dan para pelakunya:

وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah 9: 28).
Dan sebagian mujadiluun (para pembela mereka) menambali kenyataan mereka yang menyimpang itu dengan dalih maslahat. Mereka mengklaim bahwa sesungguhnya para tentara/polisi itu berbuat dalam rangka khidmat kepada dien dengan pekerjaan-pekerjaan mereka yang busuk ini, padahal kenyataan keadaan mayoritas mereka itu adalah khidmat kepada saku mereka, perut-perutnya dan koceknya, tidak selain itu.
Semoga Allah merahmati Sufyan Ats Tsauriy saat beliau berkata seraya berwasiat kepada sebagian murid-muridnya dan menghati-hatikan mereka dari berbasa-basi kepada para penguasa dan masuk mendekati mereka –padahal penguasa-penguasa saat itu menerapkan syari’at Allah akan tetapi mereka menampakan sebagian maksiat, maka apa gerangan dengan para penguasa kafir dan musyrik pada masa sekarang?– beliau rahimahullah berkata:

إياك والأمراء أن تدنوا منهم أو تخالطهم في شيء من الأشياء، وإياك أن تخدع ويقال لك؛ لتشفع أو تدرأ عن مظلوم أو ترد مظلمة، فإنّ ذلك خديعة إبليس اتّخذها فجّار القرّاء سلّماً.
“Hati-hatilah kalian dari dekat dengan para penguasa, atau berbaur dengan mereka dalam satu urusan, hati-hatilah engkau terpedaya dan dikatakan kepadamu mintakanlah syafa’at atau belalah orang yang didhalimi atau bantulah mengembalikan hak, karena sesungguhnya itu semua adalah tipu daya iblis yang telah dijadikan  oleh para ahli agama yang jahat sebagai tangga…”
Ya, itu adalah tipu daya Iblis yang mereka namakan pada masa sekarang dengan nama maslahat dakwah, dengannya mereka hancurkan tauhid yang merupakan maslahat terbesar dalam hidup ini dan mereka mengaburkan yang hak dengan yang batil.
Benar sekali apa yang dikatakan Sayyid Quthb pada saat beliau mensifati maslahat dakwah itu: Bahwa sesungguhnya hal itu di kalangan banyak juru dakwah telah menjadi sumber ketergelinciran dan menjadi berhala yang mereka sembah selain Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki fatwa dalam hal ini, beliau ditanya tentang salah seorang dari Ahlussunnah yang mendengar segerombolan para perampok yang berkumpul untuk melakukan dosa besar, membegal, membunuh, melakukan perbuatan keji dan munkar. Orang itu datang kepada mereka dengan maksud mengarahkan mereka kepada petunjuk, akan tetapi dia tidak kuasa melakukannya dengan pengakuannya sendiri kecuali bila dia menyediakan bagi mereka nyanyian dengan tabuhan rebana dan lantunan lagu seorang penyanyi yang tidak kotor sehingga akhirnya banyak di antara mereka mendapat petunjuk, orang-orang yang biasanya tidak segan-segan melakukan dosa-dosa besar sekarang sangat takut terjatuh dalam dosa kecil dan hal yang syubhat, maka apakah cara yang dilakukan syaikh itu boleh dan di syari’atkan?!
Maka beliau rahimahullah menjelaskan yang ringkas: “Sesungguhnya cara ini adalah bid’ah sedangkan dalam metode Rasulullah yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pengasih itu sudahlah cukup tidak membutuhkan cara-cara syaitan ini”.
Sesungguhnya meskipun hasilnya secara dhahirnya adalah bagus, akan tetapi tujuan itu menurut kaum muslimin tidaklah membolehkan segala macam cara, najis tidaklah dihilangkan dengan najis pula, dan tidaklah boleh bersuci dari kencing dengan air kencing.
Sebagaimana pula tujuan dakwah itu adalah sangat agung dan suci, maka sarana-sarana untuk meraih tujuan ini haruslah suci pula.
Dan sudah diketahui bahwa maslahat terbesar dalam hidup ini adalah tauhid, sedangkan mafsadah terbesar dalam kehidupan ini adalah syirik, sehingga setiap maslahat yang bertentangan dengan maslahat ini maka itu tertolak, dan mafsadah apa saja kalau dihadapkan dengan mafsadah syirik maka itu tertutupi. Oleh sebab itu tidak halal bagi seorangpun yang memahami keagungan tauhid ini dan bahaya syirik, (tidak halal dia) menjadi martil dari martil-martil penghancur tauhid dan menjadi penjaga dari para penjaga kemusyrikan dan tandiid ini dengan dalih untuk mendapatkan maslahat lain yang di klaimnya, atau untuk menolak kerusakan-kerusakan lainnya yang tidak sebanding dengan syirik apa saja bentuknya, serta tidak boleh dia menjadikan diennya sebagai kambing tebusan yang dia sembelih di depan pintu-pintu maslahat dan dunia orang lain. Pembicaraan dalam masalah ini sangatlah panjang dan ini memiliki tempat yang khusus yang lebih rinci,[37] akan tetapi orang yang berakal akan merasa cukup dengan isyarat saja, Wallaahul musta’aan.
******
KHATIMAH
Akhirnya dan bukan yang terakhir, sungguh kami telah sering mendengar dari kalangan yang tidak mengetahui hakikat tauhid ini, mereka mengatakan: Apa faidah yang kalian dapatkan dari mengkafirkan para tentara, para intelejen, dan para pembela serta pengusung thaghut lainnya?!
Kami katakan pertama: Selama ini adalah hukum Allah, maka tidak penting kita mengetahui hikmahnya, akan tetapi yang penting bagi ‘Ibaadurrahman adalah dada-dada mereka itu lapang untuk menerimanya, dan jiwa-jiwa mereka ridla dengannya serta menerimanya dengan sepenuh hati.
Kemudian kita katakan: Sesungguhnya faidah-faidah hal itu adalah tidak cukup tempat ini untuk menyebutkan seluruhnya, dan seandainya tidak ada di antara faidah-faidah itu kecuali perealisasian tauhid ‘amaliy (millah Ibrahim) yang mengandung baraa’ah dari syirik dan kaum musyrikiin, tentulah itu sudah cukup. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS: Al Mumtahanah 60: 4).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengajak kita untuk mengikuti dan mencontoh suri tauladan yang baik ini dan millah yang agung yang di mana rukun terpentingnya adalah berlepas diri dari syirik dan kaum musyrikin, kafir terhadap mereka, dan memusuhinya, maka bagaimana orang yang tidak mengetahui orang kafir dari orang Islam bisa merealisasikan hal ini?? Dan dari siapa dia akan baraa’ dan bagaimana caranya? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun 109: 1-6).
Dan juga termasuk faidahnya yang agung adalah membedakan antara orang yang buruk dengan yang baik dan terangnya jalan orang-orang yang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al An’aam 6: 55).
Siapa orangnya yang tidak mengetahui kekafiran dari keimanan dan tidak mengetahui orang kafir dari orang muslim, maka mana mungkin jelas baginya jalan orang-orang yang kafir, dan mana mungkin dia bisa membedakan antara jalan orang-orang yang beriman dengan jalan orang-orang yang kafir? Agar bisa meniti setelahnya di atas jalan orang-orang yang beriman dan menjauhi jalan orang-orang yang kafir, serta bagaimana dia bisa mempraktekkan al hubbub fillah (cinta karena Allah) terhadap orang-orang mu’min dan al bughdlu fillah (benci karena Allah) terhadap kaum musyrikin, sedangkan hal itu adalah termasuk ikatan keimanan yang paling kokoh, dan meninggalkannya terkandung kekacauan yang  besar dan kerusakan yang dasyat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfaal 8: 73)
Loyalitas (muwaalaah) ini dan mu’aadaah (permusuhan) akan tampak jelas dengan langsung merealisasikan pengaruh-pengaruhnya dan keharusan-keharusannya secara ‘amaliy, maka bagaimana ini bisa direalisasikan oleh orang yang tidak bisa membedakan antara barisan-barisan yang ada? Dan realita merupakan saksi (bukti) terbesar atas hal ini, sungguh engkau akan mendapatkan orang yang meninggalkan hal ini, dan menyepelekannya dia itu tidak mengetahui siapa yang harus dia cintai dan siapa yang harus dibenci, siapa yang harus diberikan loyalitas dan siapa yang harus dimusuhi, engkau mendapatkan dia itu ngawur dan bisa jadi dia menyamakan antara kaum muslimiin dengan orang-orang kafir dalam mu’amalah, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengingkari hal itu, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (35) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?, mengapa kamu  (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al Qalam 68: 35-36).
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat kafir?” (QS. Shaad 38: 28).[38]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan di atas hal itu hukum-hukum tentang terjaganya darah dan harta, tentang masalah warisan, walaa, nikah, sembelihan, dan mu’aamalah seperti pengucapan salam, kasih sayang dan yang lainnya berupa hak-hak yang wajib bagi orang Islam atau khusus baginya saja tidak buat orang kafir lainnya.
Oleh sebab itu engkau bisa mendapatkan perbedaan yang jelas lagi terang antara jalan orang-orang muwahhid dan cara pergaulan mereka terhadap orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, dan antara jalan selain mereka yang sama sekali tidak menganggap penting hal ini dan bahkan meninggalkannya, bahkan justeru mereka itu mengingkari ahlu tauhid saat merealisasikan dan membid’ahkan mereka karenanya, bahkan di antara mereka ada yang mengkafirkan ahlul tauhid karena sebab mereka memurnikan tauhidnya dan karena mereka baraa’ah dari syirik dan tandiid. Oleh karenanya yang baik dengan yang buruk telah berbaur di sisi mereka, mereka berlepas diri dari kaum muwahhiduun, membencinya, memusuhinya, dan mengumbar lisan-lisannya untuk mencela kaum muwahhiduun dan dakwah,[39] padahal di sisi lain musuh-musuh Allah tidak mendapatkan dari mereka itu kecuali kasih sayang dan sikap lembut.
Di antara mereka ada yang menyertai thaghut-thaghut dan jajarannya itu di majlis-majlis mereka dan di tempat-tempat kebiasaannya. Mereka tidak membedakan antara maslahat tauhid terbesar yang membedakan antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin dan dengan persatuan tanah air yang menyatukan orang-orang kafir dengan berbagai macam ajaran dan pahamnya dan menyamakan antara orang-orang yang bertaqwa dengan orang-orang kafir.
Mereka lalai atau pura-pura lalai akan sifat yang dikatakan malaikat terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

(ومحمد فرْق بين الناس) [رواه البخاري]، وفي رواية: (فرَّق بين الناس).
“Dan Muhammad itu adalah pemisah di antara manusia.” (HR. Al Bukhari)
Dalam satu riwayat:
“Muhammad itu memisahkan (memecah belah) antara manusia.”
Dan mereka juga berpaling dari tuntunan Al Furqan yang memisahkan antara kaum musyrikin dengan kaum mu’minin meskipun mereka itu adalah kerabat sendiri bagi seseorang.
Di antara faidahnya juga adalah sesungguhnya mengetahui hal itu adalah hal yang menentukan cara dakwah yang benar yang wajib ditempuh oleh seseorang saat mendakwahi orang-orang yang ada di sekitarnya, karena status mereka sebagai kaum muslimin adalah sangat berbeda dengan bila statusnya sebagai kaum musyrikin. Dan status musyrikin watsaniyyin berbeda dengan status musyrikin kitabiyyin, serta status mereka sebagai orang-orang murtad adalah berbeda dengan status mereka sebagai orang-orang kafir asli. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz tatkala diutusnya ke Yaman, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim:

(إنّك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة “أن لا إله إلاّ الله” – وفي رواية؛ “إلى أن يوحِّدوا الله” – فإن هم أجابوك إلى ذلك، فأعلمهم أنّ الله قد افترض عليهم خمس صلوات في اليوم والليلة… الحديث).
Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang paling pertama engkau ajak mereka kepadanya adalah syahadah laa ilaaha illallah… -dan dalam satu riwayat: ”agar mereka mentauhidkan Allah”- dan bila mereka menerimamu dalam hal itu maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk shalat lima kali sehari semalam…”
Perhatikanlah bagaimana beliau memberitahukan Mu’adz akan keadaan dan status mereka, kemudian di atas hal itu beliau menentukan cara dakwah dan cara bermu’aamalah dengan mereka. Dan masih banyak faidah lain yang tidak bisa disebutkan di sini semuanya.
Dan akhirnya (kami katakan) hendaklah takut kepada Allah dalam mensikapi kami dan atas diri mereka sendiri, orang-orang yang bodoh itu atau orang-orang yang mengada-ada yang menuduh kami telah mengkafirkan manusia seluruhnya secara umum tanpa terlebih dahulu mereka mendengar apa yang kami katakan atau membaca apa yang kami tulis, sesungguhnya mereka itu akan dihadapkan kepada Rabb yang tidak ada sesuatupun samar atas-Nya, ucapan-ucapan mereka itu telah ditulis di dalam kitab yang tidak meninggalkan yang kecil dan yang besar melainkan telah ditulisnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS: Al Ahzab 33: 58).

Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata:

(من قال في مؤمن ما ليس فيه؛ أسكنه الله رَدْغة الخبال حتى يأتي بالمخرج مما قال) [رواه أبو داود والطبراني وغيرهما].
“Siapa yang mengomentari orang mu’min yang padahal itu tidak ada pada diri (mu’min) itu, maka Allah tempatkan dia itu cairan nanah dan air kotor penghuni neraka, sehingga dia datang dengan apa yang bisa mengeluarkan dari apa yang dia katakan.” Diriwayatkan Abu Dawud dan Ath Thabraniy dan yang lainnya.
Inilah kami katakan dengan lantang dan jelas: Sesungguhnya kami tidak mengkafirkan orang muslim dengan sebab dosa yang tidak membuat kafir selama tidak menghalalkannya, dan kami tidak mengkafirkan manusia secara umum (keseluruhan) sebagaimana yang dituduhkan oleh musuh-musuh kami dari kalangan thaghut-thaghut dan yang dilontarkan secara dusta oleh lawan-lawan kami dari kalangan jama’ah Irjaa’. Dan kami hanya mengkafirkan orang yang menghancurkan tauhidnya, atau membantu untuk menghancurkannya, atau mendatangkan salah satu dari pembatal-pembatalnya, atau memusuhi kaum muwahhidiin sebagai pembelaan terhadap musuh-musuh mereka dari kalangan pelaku syirik dan tandiid dan sebagai dukungan terhadap mereka untuk membungkam kaum muwahhidiin.
Dan kami juga mengetahui bahwa pengkafiran itu memiliki syarat dan mawaani’, dan kami tidak mengkafirkan kecuali bila syarat-syaratnya terpenuhi dan mawaani’nya tiada. Dan kami mengetahui bahwa seseorang itu terkadang muncul darinya ucapan kekafiran atau perlakuannya dan dia tidak dikafirkan karena adanya penghalang pengkafiran.
Dan semua yang kami bicarakan di dalam lembaran ini dan yang lainnya hanyalah tentang kafirnya musuh-musuh tauhid dan tentara-tentara syirik dan tandiid yang telah keluar dari dien ini dan mereka memerangi kaum muwahhidien serta membela undang-undang syirik dan hukum-hukum buatan.
Sedangkan kekafiran mereka itu lebih jelas di sisi kami dari pada matahari di siang bolong dengan berdasarkan dalil-dalil syar’iy bukan dengan hawa nafsu, taqlid, atau istihsaan.
Maka kami katakan kepada lawan-lawan kami: Takutlah kalian kepada Allah, {dan janganlah kalian campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang hak sedang kalian mengetahuinya}, di antara kami dengan kalian ada Kitabullah Subhanahu Wa Ta’ala dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kami tidak menerima hukum selain itu, datangkanlah darinya satu dalil dan bukti yang menggugurkan apa yang telah kami katakan, dan kalian akan mendapatkan kami Insya Allah sebagai orang yang paling berbahagia dengannya dan orang yang paling pertama rujuk kepadanya {katakanlah: “Tunjukilah bukti kebenaran kalian jika kalian orang yang benar”}.
Adapun celotehan-celotehan tidak berdalil dan ungkapan-ungkapan kosong dan tuduhan-tuduhan batil yang tidak di dukung dalil dan bukti yang syar’iy serta tidak terbangun di atas Al Kitab dan As Sunnah, maka itu tertolak kembali kepada pemiliknya. Sedangkan orang yang tidak mau menerima dalil syar’iy dan tidak tunduk kepadanya, maka tidak ada kebaikan sedikitpun di dalamnya dan tidak bermanfaat baginya pendek atau panjang pembahasan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:


فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَ اللَّهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُونَ
“Maka kepada perkataan apakah selain Allah dan ayat-ayat-Nya kalian beriman.” (QS: Al Jaatsiyah 45: 6).

Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim ketika berkata dalam Nuniyyahnya tentang Al Kitab dan Assunah:
Siapa yang tidak cukup dengan keduanya,
Maka semoga Allah tidak mencukupkannya dengan keburukan kejadian-kejadian sepanjang zaman.
Siapa orangnya yang tidak disembuhkan dengan keduanya
Maka semoga Allah tidak menyembuhkannya akan hati dan badannya.
Siapa orangnya yang tidak dicukupkan dengan keduanya
Maka Rabbul ‘Arsy menghukumnya dengan kekurangan dan keterhalangan
Sesungguhnya perkataan itu ditujukan kepada orang-orang besar dan itu bukan terhadap orang-orang kerdil itu dan makhluk-makhluk hina layaknya hewan.

Semoga shalawat dan salam Allah Subhanahu Wa Ta’ala limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan seluruh para sahabatnya. Dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman
Amin...Amin Yaa Robbal aalamiinnn
Referensi:
[1] Dari kalangan jama’ah Irjaa’ (Neo Murjiah yang banyak bermunculan dengan baju salaf secara pengakuan dan klaim saja,dan diikuti banyak orang yang paling mengaku salafiy di negeri ini.pent
[2] Dari kalangan tentara, polisi, para laskar, serta barisan yang membela dan melindungi atau memperjuangkan atau menjunjung tinggi undang-undang tersebut. Pent.
[3] Dari kalangan penguasa, para pejabat, para pakar hukum (fuqahaa al qanuun), para anggota dewan dan majelis permusyawaratan atau perwakilan rakyat, para jaksa dan para hakim serta uang lainnya. Pent.
[4] Yang sekarang merebak dengan pesat serta merasa diri merekalah yang paling salafiy, padahal mereka itu adalah salafiy maz’uum atau ad’iyaa (para pengaku saja bukan sebenarnya). Ciri khas mereka adalah memandang bahwa para penguasa atau para pemerintah atau negara yang mencampakan syari’at Allah serta mengadopsi atau membuat undang-undang sendiri adalah masih berstatus sebagai pemerintah Islam, negara Islam, dan penguasa muslim yang wajib diberikan loyalitas, mereka berpandangan bahwa orang muslim muwahhid yang berusaha memerangi, menjihadi, atau baraa’ dari pemerintah semacam itu adalah Khawarij, Takfiriy, anjing-anjing neraka, yang wajib dilaporkan kepada thaghut itu. Pent.
[5] Beliau maksudkan dengan setan-setan itu adalah ulama-ulama kaum musyrikin, yang di mana mereka itu mahir dalam fiqih, atau nahwu, atau ushul fiqih, atau tafsir, atau hadits, akan tetapi mereka itu melegalkan kemusyrikan, seperti pada masa sekarang banyak orang yang bergelar Doktor dalam masalah Islam, akan tetapi mereka melegalkan demokrasi yang syirik itu dengan dalih maslahat dakwah, padahal mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah penyandara hukum kepada makhluk, sedangkan penyandaran wewenang membuat hukum kepada makhluk itu adalah syirik akbar. Pent.
[6] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Risalah Fi Makna Thagut (lihat Al jaami’ Al Fariid hal: 308): Dan adapun tata cara kufur kepada thaghut itu adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkan, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka itu.
“Beliau berkata pula dalam Ad Durar Assaniyyah, 2/78: “Kafirlah kamu terhadap thaghut-thaghut itu, musuhilah mereka, bencilah orang yang mencintai mereka, atau orang yang membela-bela mereka, atau orang yang tidak mengkafirkan mereka, atau orang yang mengatakan Allah tidak mentaklif saya untuk mensikapi mereka, sungguh dia telah berdusta dan mengada-ngada atas Allah, justeru Allah telah mentaklif dia untuk bersikap terhadap mereka, Dia telah mewajibkan dia untuk kafir terhadap thaghut-thaghut itu dan berlepas diri dari mereka meskipun mereka adalah saudara-saudara dan anak-anaknya.”
Dan beliau menyebutkan dalam Risalah Fi Makna Thaghut bahwa di antara pentolan thaghut adalah: Yang kedua: Penguasa yang dhalim yang merubah hukum-hukum Allah… dan yang ketiga: Orang yang memutuskan bukan dengan apa yang Allah turunkan…”
Yang kedua adalah para pembuat hukum dan perundang-undangan, para pengusulnya, para perancangnya, para penggodoknya serta yang mengesahkannya, ini kalangan Eksekutif dan Legislatif.
Dan adapun yang ketiga adalah para pelaksana baik dari kalangan penguasa, pejabat (Eksekutif), para hakim dan jaksa (Yudikatif) serta yang lainnya.
Dan jangan lupa, para penghias kemusyrikan itu dari kalangan du’aatnya, para cendikiawan dan kalangan intelektualnya yang selalu membolehkannya, serta para aparat hukum dan para pelindungnya dari kalangan polisi dan tentara, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalah beliau kepada Hamd At Tuwaijiriy sebagaimana yang dikutip oleh Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Abdil Wahhab dalam kitabnya Mishbahudhdhalaam fi man kadzaba’alasy Syaikhil Imam, hal 104: “Dan kami hanya mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah dalam uluuhiyyah-Nya setelah jelas baginya hujjah akan bathilnya syirik, dan begitu juga kami mengkafirkan orang yang memperindah kemusyrikan itu dan menegakan syubhat-syubhat yang bathil untuk membolehkannya, dan begitu pula orang yang menggunakan senjata untuk melindungi kuburan-kuburan keramat yang di sana dilakukan penyekutuan terhadap Allah dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berusaha memusnahkannya.”
Siapa yang melindungi hukum dan perundang-undangan, falsafah negara, sistem syirik yang ada, lembaga dan sarang demokrasi kalau bukan aparat keamanan yang ada dari kalangan polisi dan tentara.Pent.
[7] Kufrun duuna kufrin adalah istilah kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam, adapun kufrun akbar adalah yang mengeluarkan dari Islam.Pent.
[8] Ya sangat jelas sekali sebagaimana yang di katakan oleh Al Imam Ar Rabbaniy Al Mufassir Al Ushuuliy Al Lughawyi Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya Adhwaa-ul Bayan, 4/66: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawaaniin wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan-lisan wali-walinya seraya  bertentangan dengan apa yang telah disyari’atkan Allah lewat lisan-lisan para Rasul-Nya –semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka-, sesungguhnya tidak ada yang meragukan akan kekafiran dan kemusyrikan mereka itu kecuali orang yang bashirahnya telah dihapus oleh Allah dan dia itu dibutakan dari cahaya wahyu-Nya seperti mereka.”
Juga ungkapan yang hampir serupa dikatakan oleh Al ‘Allamah Al Muhaddits Ahmad Syakir dalam Umdatut Tafsir 4/174.
Akan tetapi ahlul Irja yang merasa paling salafi pada masa sekarang telah buta dan tidak melihat terangnya matahari dalil dan ijma para ulama yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu Al Fatawaa, 3/267, Ibnu Katsir (Al Bidayah Wan Nihayah, 13/119, Asy Syinqithiy dan yang lainnya, justeru mereka hanya bisa melihat masalah ini di tengah kegelapan syubhat, layaknya kelelawar yang tak bisa melihat saat ada cahaya matahari.Pent.
[9] Darah mereka halal ditumpahkan dan harta mereka halal diambil oleh kaum muslimin, baik setatusnya sebagi fai’ atau sebagai ghanimah.Pent.
[10] Mereka kekal di dalam api neraka dan tidak mungkin dikeluarkan darinya.Pent.
[11] Contoh akan hal ini sangat banyak sekali, dan bukan di sini untuk memaparkannya, akan tetapi silahkan rujuk kitab kami Al Kawasyif Al Jaliyyah Fi Kufri Ad Daulah Assu’uudiyyah.
[12] Juga penguasa dan pemerintah negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, yang di mana mereka adalah thaghut-thaghut pula karena statusnya adalah sama dengan thaghut-thaghut arab dan bahkan lebih parah, akan tetapi orang-orang dari kalangan salafiy maz’uum masih menganggap bahwa para penguasa itu adalah muslim dan negaranya adalah Negara Islam!!! Serta orang yang menentangnya adalah khawarij, sehingga merekapun subur dan gemuk karena mendapatkan kebebasan dan dukungan para thaghut itu, ini semua akibat dari paham irjaa’ yang mereka pegang tanpa mereka sadari. Kufur kepada thaghut hanya sekedar di lisan akan tetapi realitanya mereka banyak menyenangkan para thaghut itu.Pent.
[13] Ini yang dilakukan oleh semua negara, lihat contohnya persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia tentang pulau Sipadan dan Ligitan ke mana keduanya merujuk???, ke Denhagh, tapi para ustadz masih mengatakan bahwa Indonesia itu Negara Islam !!!!!!! Padahal para pemimpin dan para pejabat pemerintah ini mengatakan bahwa ini bukan negara Islam, dan rakyat yang ‘awam juga berkata demikian.Pent.
[14] Bagaimana thaghut bisa kufur kepada thaghut, ini sangat aneh kecuali dalam kamus orang yang tidak paham tauhid yang mengatakan bahwa tidak semua thaghut itu kafir !!!!Pent.
[15] Ini bisa dilihat dengan adanya kesepakatan Internasional untuk memerangi muwahhidiin mujahidin yang mereka identikan dengan teroris, juga dengan adanya undang-undang anti terorisme yang intinya adalah membabat kaum muwahhidiin di setiap negara. Pent
[16] Demokrasi adalah syirik, sedangkan Islam adalah tauhid. Tauhid tidak bisa bersatu dengan syirik, Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalah Syarah Ashli Dienil Islam (lihat Al Jaami Al Fariid, 380): “Sesungguhnya orang yang melakukan syirik itu berarti dia sudah meninggalkan tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang berlawanan yang tidak bisa bersatu, sehingga bila syirik ada (pada diri manusia) maka hilanglah tauhid.”
Putra beliau Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata dalam kitabnya Minhajut Ta’siis, 12:” Islam dan syirik adalah dua hal yang kontradiktif yang tidak bisa bersatu yang tidak bisa hilang kedua-duanya.”
Mustahil dalam Islam ini ada orang muslim yang demokrat (musyrik). Jadi orang-orang yang masuk parlemen yang berdasarkan demokrasi adalah musyrik bahkan mereka tu arbaab, apapun alasannya, dari manapun latar belakangnya, baik itu partai Islam !!!! katanya… atau bukan.Pent.
[17] Bila yang menjadikan Islam sebagai salah satu sumber hukum adalah orang musyrik kafir, maka apa gerangan dengan yang sama sekali tidak mencantumkan Islam sebagai salah satu sumber hukumnya seperti Negara yang kita hidup di dalam paksaan kekuasaannya, ini adalah kekafiran di atas kekafiran, akan tetapi para pengikut Murjiah yang pada masa sekarang mereka buta akan hal ini, mereka tidak bisa atau tidak mau melihat kenyataan yang terang dan tidak bisa memahami dalil yang jelas, mereka hanya bisa melihat di kegelapan syubhat layaknya kelelawar yang tidak bisa melihat terangnya matahari tapi bisa melihat di kegelapan malam,  juga para pengekor Murji’ah itu tuli tidak mendengar atau tidak mau mendengar ucapan para penguasa yang dengan terang-terangan mengatakan bahwa ini bukanlah negara Islam dan kita tidak menginginkan negara Islam. Akan tetapi para pengekor ini bersikeras mengatakan ini adalah negara/pemerintahaan Islam bukan kafir. Sungguh tidak ada yang buta dan tidak ada yang tuli seperti ketulian dan kebutaan mereka, sampai orang yang dungu di antara mereka mengatakan bahwa tidak semua thaghut itu kafir !!! Pent
[18] Banyak sekali contoh-contoh akan hal itu, akan tetapi tidak bisa dipaparkan di sini, dan kami telah menjelaskan dan memaparkannya serta kami tunjukan bukti akan hal itu dari hukum-hukum dan undang-undang mereka dalam buku kami yang berjudul Kasyfun Niqaab ‘An Syari’atil Ghaab (Membongkar Kebobrokan Hukum Rimba) yang sudah beredar luas.
[19] Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad yang sahih, dan lihat tafsir Ath Thabariy. Adapun ungkapan kufrun duuna kufrin maka kita tidak bisa memastikan penisbatannya kepada Ibnu ‘Abbas meskipun sebagaian orang menshahihkannya, karena pada sanadnya ada Hisyam Ibnu Hajair Al Makkiy dan dia itu dhaif. Dan perkataan Ibnu ‘Abbas serta perkataan yang lainnya dari kalangan tabi’in telah tsabit, akan tetapi dalam kasus apa yang seperti ungkapan itu dilontarkan, bukan dalam apa yang dikaburkan oleh orang-orang khalaf dari kalangan Murji’ah Gaya Baru.
[20] Al Baraa Ibnu ‘Azib berkata:
(مرّ رسول الله صلى الله عليه وسلم على يهودي مُحمّم مجلود فدعاهم رسول الله فقال: “أهكذا حد الزنا في كتابكم؟” فقالوا: نعم، فدعا رجلاً من علمائهم فقال: “أُنشدك بالذي أنزل التوراة على مـوسى هكـذا تجـدون حد الزنى في كتابكم؟” فقال: لا والله ولو لا أنك ناشدتني لم أخبرك، نجد حد الزنى في كتابنا الرجم لكنه كثر في أشرافنا، فكُنّا إذا زنا الشريف تركناه وإذا زنا الضعيف أقمنا عليه الحدّ فقلنا: تعالوا نجعل شيئاً نقيمه على الشريف والوضيع فأجمعنا على التحميم والجلد. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “اللهم إني أول من أحيا أمرك إذ أماتوه”، فقال: فأمر به فرُجم، فأنزل الله {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون}، {الظالمون}، {الفاسقون}، قال البراء: (في الكفار كلها)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang Yahudi yang di poles hitam wajahnya dan didera, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka, terus berkata: Apakah kalian mendapatkan hukuman zina seperti ini dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Ya,” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil salah seorang ulama mereka, beliau berkata: Saya ingatkan kamu dengan dzat yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah kalian mendapatkan hukuman zina dalam kitab kalian seperti ini? Maka dia berkata: “Demi Allah tidak, seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan Allah tentu saya tidak akan memberitahukan engkau terhadapnya, kami mendapatkan hukuman zina dalam kitab kami adalah rajam, akan tetapi banyak terjadi perzinahan di kalangan bangsawan kami, maka kami bila mendapatkan orang bangsawan berzina maka kami tinggalkan (tidak diberi hukuman) dan bila yang berzina adalah orang lemah maka kami terapkan hukuman itu, maka akhirnya kami semua berkata: Marilah kita bersepakat untuk menjadikan hukuman yang diterapkan kepada orang bangsawan dan orang biasa, maka kami sepakat terhadap hukuman memoles wajah hitam dan dera”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ya Allah sesungguhnya saya adalah orang yang paling pertama kali menghidupkan perintah-Mu ini saat mereka mematikannya”. Maka beliau memerintahkan untuk merajam orang itu, kemudian Allah menurunkan: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”…dhalim.”...fasiq.” (QS: Al Maa-idah: 44-47). Maka Al Baraa berkata: Berkenaan dengan orang-orang kafir seluruhnya.
Dan perhatikanlah perkataannya: “maka kami sepakat” dan bukan “maka kami menghalalkan” sebagaimana yang ditipudayakan oleh Murji’ah Gaya Baru.
[21] Dan itulah kenyataan para pengikut Murji’ah pada masa sekarang, mereka selalu berpatokan kepada apa yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas itu menempatkannya bukan pada tempatnya, mereka telah membuat para thaghut itu girang dan senang. Mereka menuduh orang yang mengkafirkan para penguasa thaghut itu dengan tuduhan khawarij gaya baru, takfiriy dan lain sebagainya, bahkan ada di antara mereka yang membantu thaghut untuk menangkap orang-orang yang mereka anggap sebagai Khawarij itu, dan bahkan ada yang berkeyakinan wajibnya melaporkan orang-orang yang mereka cap sebagai Takfiriyyin dan Khawarij itu kepada penguasa bila mereka menyebarkan pahamnya. Sungguh buta orang-orang Murji’ah dan para pengikutnya itu, dan sungguh jauh sekali mereka itu dari memikirkan bagaimana menjihadi thaghut-thaghut itu.Pent.
[22] Shilah adalah tabi’in perawi hadits itu.
[23] Tentunya mereka tidak menuturkan syubhat ini dengan sebanyak ini dan tidak menguatkannya dengan seluruh dalil-dalil ini, mungkin bisa saja sebagaian mereka menggunakan hadits, yang lain menggunakan perkataan orang, sebagian menggunakan pemahamannya, akan tetapi saya tuturkan bagi mereka mayoritas hadits-hadits yang sepertinya berada bersama mereka dan mereka mengiranya bahwa itu menguatkan syubhatnya, dalam rangka mengikuti perkataan sebagian ulama salaf: Ahlul ahwaa itu menuturkan apa yang menguntungkan mereka saja, sedangkan Ahlussunnah meriwayatkan apa yang menjadi dalil-dalil mereka dan apa yang menghujat mereka.
[24] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar 1/323 dan Minhajut Ta’siis hal 61: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntunannya maka itu tidak membuat mukallaf tersebut menjadi muslim, dan justeru itu menjadi hujjah atas dia… Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadati kecuali Allah, sedang dia itu beribadah kepada yang selain Allah (pula) maka kesaksiannya itu tidak dianggap meskipun dia itu shalat, zakat, shaum dan melaksanakan sebagian ajaran Islam.”
Ini adalah pernyataan yang jelas lagi gamblang, akan tetapi orang-orang sekarang hanya berpegang kepada sekedar surat pengenal atau amalan Islam yang lahir tanpa memperhatikan kepada pembatalan keislam itu, padahal mereka melihat orang-orang itu melakukan pembatalan keislaman. Sebagai contoh ketegasan dalam tauhid ini yang tidak mengenal sekedar pengakuan atau amalan syi’ar lahir yang biasa, adalah yang dikatakan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah kepada seorang hakim (qadli) agung di kota Riyadh yang di mana dia itu orang yang terkenal ‘alim dan rajin ibadah dan terpandang di masyarakatnya, akan tetapi dia itu melegalkan syirik kuburan yang ada di tengah masyarakatnya dan menentang dakwah tauhid yang digencarkan oleh syaikh, syaikh berkata kepada sang hakim agung itu (Sulaiman Ibnu Suhaim) dalam risalah beliau kepadanya (lihat Tarikh Nejd 304):
لكن أنت رجل جاهل مشرك مبغض لدين الله
“Akan tetapi kamu adalah orang jahil yang musyrik, yang benci dien Allah.”
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Tafsir Al ‘Aziz Al Hamid hal 58: “Siapa yang mengucapkan ini (Laa ilaaha Illallaah) dengan mengetahui maknanya, mengamalkan tuntunannya berupa menafikan syirik dan menetapkan wahdaniyyah hanya bagi Allah dengan disertai keyakinan yang pasti akan kandungan maknanya dan mengamalkannya maka dia itu adalah orang muslim yang sebenarnya. Bila dia mengamalkannya secara dhahir tanpa meyakininya maka dia munafiq, dan bila dia mengamalkan apa yang menyalahinya berupa syirik maka dia itu kafir meskipun mengucapkannya (Laa ilaaha Illallaah)”.
Beliau mengatakan juga dalam kitab yang sama (lihat Juz Ashli Dienil Islam, 30): “Sesungguhnya mengucapkan laa ilaaha illallaah tanpa disertai pengetahuan akan maknanya dan tidak mengamalkan tuntutannya berupa iltizaam dengan tauhid dan meninggalakan syirik serta kufur kepada thaghut maka sesungguhnya pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma para ulama.”
Ini dikarenakan laa ilaaha Illallaah itu memiliki dua rukun, yaitu kufur kepada thaghut dan iman kepada Allah, salah satunya saja tidak berguna dan tidak menyebabkan orang terjaga darah dan hartanya serta tidak dianggap orang Islam, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS: Al Baqarah 2: 256)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di riwayat Muslim: “Siapa mengucapkan Laa ilaaha Illallaah dan kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan  penghisabannya adalah atas Allah,”
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata saat ditanya tentang hadits ini dalam Ad Durar Assaniyyah, 2/156: “Dan adapun sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “dan kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah” ini merupakan syarat yang agung. Pengucapan laa ilaaha illallah tidak sah kecuali dengan adanya syarat itu, dan bila tidak ada maka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah itu tidaklah haram darah dan hartanya. Pengucapan kalimat itu tidaklah bermanfaat baginya tanpa disertai dengan mendatangkan makna yang dikandung oleh kalimat tersebut berupa peninggalan syirik, baraa’ah darinya dan dari pelakunya. Bila dia mengingkari peribadatan segala sesuatu yang diibadati selain Allah, berlepas diri darinya, dan memusuhi orang yang melakukannya, maka dia itu telah menjadi orang muslim yang terjaga darah dan hartanya.”
Ini adalah masalah yang sudah diijmakan oleh seluruh para ulama.
Al ‘Allamah Syaikh Hamad Ibnu ‘Atieq rahimahullah berkata dalam kitab Ibthalit Tandiid hal 76: “Para ulama telah ijma bahwa sesungguhnya orang yang memalingkan satu dari dua macam doa kepada selain Allah, maka dia itu musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah, dia shalat, shaum dan dia mengaku muslim.”
Dia tidak menyadari bahwa dia itu musyrik, sehingga dia itu masih tetap shalat, shaum, zakat dan lainnya.
Al Imam Asysyaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar Assaniyyah, 11/545-546: “Para ulama dari kalangan salaf dan khalaf, semenjak para sahabat, taabi’iin, para imam dan seluruh Ahlussunnah telah berijma bahwa orang itu tidak dikatakan muslim kecuali bila dia mengosongkan diri dari syirik akbar dan berlepas diri darinya.”
Jadi sekedar amalan dan pengucapan kalimah syahadat tanpa disertai peninggalan syirik akbar dan baraa’ah darinya maka status Islam itu tidak ada meskipun orang itu merasa dan mengaku Islam atau beridentitas muslim.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Mishbahudh Dhalaam, hal 37: “Siapa yang beribadah kepada selain Allah, dan menjadikan tandingan bagi Tuhan-nya, serta menyamakan antara Dia dengan yang lainnya maka dia itu adalah musyrik yang sesat bukan muslim meskipun dia memakmurkan lembaga-lembaga pendidikan, mengangkat para qadli, membangun mesjid, dan adzan, karena dia tidak komitmen dengan (tauhid)nya, sedangkan mengeluarkan harta yang banyak serta berlomba-lomba dalam menampakan syi’ar-syi’ar amalan, maka itu tidak menyebabkan dia memiliki predikat sebagai muslim bila dia meninggalkan hakikat Islam itu (tauhid)”.
Sehingga tidak aneh kalau para ulama berijma akan kafirnya pemerintah/penguasa dan Negara Fathimiyyah di Mesir padahal mereka itu yang membangun banyak mesjid termasuk Al Azhar, melaksanakan shalat jama’ah, jumat, mengangkat para qadli para mufti, ini dikarenakan mereka itu menampakan kemusyrikan dan kekufuran sebagaimana pemerintahan kita menampakan kekafiran dan kemusyrikan pula, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Sirah (lihat ikhtisharnya dalam Juz Ashli Dienil Islam): “Sesungguhnya mereka itu telah menampakkan syari’at-syari’at Islam, pendirian shalat jum’at dan jama’ah, serta mereka juga mengangkat para qadli dan mufti, akan tetapi mereka menampakkan syirik dan penyelisihan syari’at, maka para ulama ijma bahwa mereka itu kafir”.
Beliau juga berkata lagi dalam risalah beliau kepada Ahmad Ibnu Abdil Karim Al Ahsaaiy salah seorang musuh dakwah tauhid yang mengingkari pengkafiran Syaikh terhadap orang-orang yang mengaku muslim padahal mereka menampakan kemusyrikan dan kekafiran (Tarikh Nejd, 346): “Seandainya kita menyebutkan orang-orang yang mengaku Islam yang telah dikafirkan oleh para ulama dan difatwakan akan kemurtadannya serta keharusan membunuhnya, tentulah pembahasan menjadi panjang, akan tetapi di antara kejadian yang paling akhir adalah kisah Bani ‘Ubaid para penguasa Mesir beserta jajarannya, mereka itu mengaku bahwa dirinya adalah tergolong Ahlul Bait, mereka shalat jama’ah, shalat jum’ah, mengangkat para qadli dan para mufti, namun demikian para ulama telah ijma akan kekafiran mereka, kemurtadannya, dan keharusan memeranginya, serta (ijma) bahwa negerinya adalah negeri kafir harbiy yang wajib di perangi, meskipun (rakyatnya) itu dipaksa lagi benci kepada mereka (para penguasanya).”(Pent)
[25] Orang-orang pengikut paham irjaa’ yang berbaju salaf sekarang, mereka itu saat berbicara teori syarat-syarat Laa ilaaha Illallaah sepertinya mereka itu serius komitmen dengan apa yang mereka sebutkan dalam syarat-syarat dan rukun-rukun Laa ilaaha Illallaah, akan tetapi saat prakteknya mereka memperlihatkan paham irjaa’nya itu secara jelas. Pent
[26] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang makna al iimaan billah dalam Risalah Fi Makna Thaghut (lihat Majmu’atut Tauhid 10, Al Jami’ Al Fariid, 308): “Adapun makna iman kepada Allah adalah bahwa engkau meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya ilah yang berhak untuk diibadati, tidak yang lain-Nya, engkau  memurnikan semua macam ibadah hanya kepada-Nya dan engkau menafikannya dari segala yang disembah selain-Nya, engkau mencintai ahli tauhid (ikhlash) dan loyal kepadanya, serta engkau membenci pelaku-pelaku syirik dan memusuhinya,”
Apa arti kufur kepada thaghut, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab-kitab yang sama: “Adapun tata cara kufur terhadap thaghut itu adalah engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah, engkau meninggalkannya, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka.”
Ini sesuai dengan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam surat Al Mumtahanah ayat 4:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah 60: 4)
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah saat menjelaskan tentang status orang-orang badui Nejed saat itu, beliau menjelaskan bahwa mereka itu seluruhnya telah bergelimang kemusyrikan dan kekafiran. Beliau jelaskan bahwa mereka itu hanya mengucapkan laa ilaaha illallaah saja tanpa komitmen dengan tuntutannya, dan orang-orang yang dipanggil ulama-ulama di sana menganggap orang-orang badui tadi adalah sebagai ahlul Islam (orang-orang Islam), karena mengucapkan laa ilaaha Illallaah padahal ulama-ulama tadi mengakui bahwa yang dilakukan oleh orang-orang badui itu adalah kemusyrikan, beliau menamakan ulama-ulama tadi sebagai syayaathiin (setan-setan), dan saat ada salah seorang dari badui itu yang belajar Islam kepada beliau dan baru mengetahui sedikit tentang tauhid, maka orang badui itu menerapkan ilmunya itu sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh rahimahullah dalam Syarah Sittati Mawaadli Minas Sirah point ke enam (lihat Al Jami’ Al Fariid 296):
“Sungguh indah sekali apa yang dikatakan oleh seorang arab badui itu, tatkala dia datang kepada kami dan telah mendengar sedikit tentang Islam, dia berkata: Sesungguhnya saya bersaksi bahwa kami ini adalah orang-orang kafir –yaitu dia dan seluruh orang-orang badui tadi– dan saya bersaksi bahwa  sang muthawwi’ (ustadz) itu yang menamakan kami sebagai pemeluk Islam, sesungguhnya dia adalah kafir,”
[27] Para pelindung thaghut dari kalangan tentara dan polisi itu adalah tergolong para pelindung kemusyrikan dan sarang-sarangnya yang dimana tergolong kelompok keempat yang telah jelas dikafirkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam risalah beliau kepada Hamd At Tuwaijiriy, silahkan lihat dalam kitab Mishbahudhdhalaam Fi Man Kadzaba ‘Alasy Syaikhil Imam karya Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab hal: 104.Pent
[28] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Syarah Sittati Mawaadli’ Minas Sirah (lihat Majmu’atut Tauhid:32) saat beliau menyebutkan macam-macam orang-orang murtad pada zaman para sahabat: Dan di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimah syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyertakannya dalam kenabian, karena Musailamah ini mengangkat para saksi palsu yang menyaksikan kebenaran kenabian dia, terus dibenarkan oleh banyak orang, dan meskipun demikian (keberadaan mereka yang tertipu) para ulama telah berijma bahwa mereka itu adalah orang-orang murtad meskipun jahil akan hal itu, dan siapa yang meragukan kemurtadan mereka maka dia itu kafir.”
[29] Lihat umpamanya Nuzhatun Nadhr Syarh Nukhbatil Fikri.
[30] Hadits Usamah ini digunakan oleh musuh-musuh dakwah tauhid dari kalangan ulama kaum musyrikin zaman Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam rangka merintangi Syaikh dari mengkafirkan orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah namun dia mendatangkan pembatalan keislaman, maka Syaikh membantahnya dalam kitab Kasyfusy Syubhat, dan setelahnya musuh dakwah tauhid yang bernama Usman Ibnu Manshuur yang divonis kafir pada zaman Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil  Wahhab mengunakan hadits itu pula, maka Syaikh Abdullathif membantahnya dalam kitab khusus membantah orang kafir itu, dengan kitab yang bernama Mishbahudldlalaam Fi Man Kadzaba ‘Ala Asyaikh Al Imam, lihat hal: 351 dan sesudahnya. Siapa lagi yang akan mengukuti musuh dakwah tauhid yang memakai hadits ini untuk menghalangi kaum muwahhidiin dari mengkafirkan orang-orang musyrik yang mengaku Islam???Pent.
[31] Bila dikatakan: kenapa Nabi tidak membunuhnya, padahal dia itu protes terhadap putusan Rasulullah? Syaikhul Islam berkata dalam Ash Sharimul Maslul: “Ini hanya berhubungan dengan kekhususan Nabi, dan beliau itu boleh memaafkan dia sebagaimana beliau memaafkan banyak orang demi melunakan hati-hati orang supaya orang-orang tidak berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.” Dan masih ada jawaban-jawaban lain dan faidah-faidah selain faidah ini sekitar hadits ini yang telah kami kumpulkan dalam risalah kami yang berjudul: Imtaa’unadhri Fi Kasyfi Syubuhaati Murji’atil ’Ashri.
[32] Ketahuilah sesungguhnya para penyembah kuburan (‘ubbadul qubuur atau al qubuuriyyuun) dari kalangan yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan mereka juga shalat, zakat, shaum bahkan haji berkali-kali, ketahuilah bahwa mereka itu bukanlah orang-orang muslim, tapi mereka adalah orang-orang musyrik atau al ghaaliyah, sehingga ketika seorang muwahhid mengkafirkan mereka maka tidaklah dikatakan dia mengkafirkan orang-orang Islam, tapi dia telah mengkafirkan orang-orang musyrik.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Minhajut Ta’sis wat Taqdiis 101: Adapun ‘ubbadul qubuur mereka itu menurut para salaf dan para ulama dinamakan al ghaaliyah, karena perbuatan mereka adalah ghuluww seperti ghuluwwnya orang-orang Nashrani dan peribadatan mereka terhadap para nabi dan orang-orang shalih. ”Beliau juga berkata 105: “Sedangkan ‘ubbadul qubuur itu bukanlah kaum muslimin menurut Ibnu Taimiyyah”. Beliau berkata juga 97: “Sedangkan seluruh ungkapan Ibnu Taimiyyah mengeluarkan ‘ubbadul qubuur dari nama jajaran kaum muslimin”. Beliau berkata ketika membantah Dawud Ibnu Jirjiis yang menuduh Khawarij orang yang mengkafirkan ‘ubbadul qubuur 69: “Siapa orangnya yang berani menetapkan keimanan ‘ubbadul qubuur? Dengan kitab apa, atau dengan sunnah mana kamu menghukumi bahwa mereka itu termasuk orang-orang yang beriman?”. Beliau juga berkata ketika menepis ungkapan bahwa mereka itu tidak menyembah selain Allah 71: “Bila berkata orang-orang jahil ‘ubbadul qubuur: Siapa yang menyembah selain Allah? Maka dikatakan kepada mereka: Kalian dan orang-orang seperti kalian dari kalangan ‘ubbadul qubuur wash shalihiin adalah jumhuur orang-orang yang menghuni padang pasir dan daerah-daerah yang hijau, terutama penduduk Iraq para penyembah Ali, Husain Al Kadhim, Abdul Qadir, Al Hasan, Az Zubair dan para wali orang-orang shalih lainnya.”
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah murid Syaikh Abdullathif barkata dalam kitabnya Kasyfusysyubhatain 40: “Dan begitu juga ‘Ubbadul Qubuur, sesungguhnya mereka itu bukanlah tergolong ahlul ahwaa wal bida’, akan tetapi salaf menamakan itu al ghulaah karena kesamaan mereka dengan orang-orang Nasrani dalam hal ghuluww terhadap para nabi dan orang-orang shalih”.
Beliau berkata juga saat membantah orang yang menamakan ‘ubbadul qubuur itu sebagai kaum muslimin 64: “Mereka (orang-orang jahmiyyah dan ‘ubbadul qubuur) itu bukanlah kaum muslimin.”
Beliau juga berkata 103: “Dan adapun ‘ubbadul qubuur, sesungguhnya mereka itu menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah dinamakan al ghaaliyah karena mereka menyerupai orang-orang Nasrani dalam hal ghuluww kepada para nabi, para wali dan orang-orang saleh, sehingga siapa yang mengkafirkannya, menampakan permusuhan terhadap mereka, membencinya, menghati-hatikan dari duduk bersama mereka, dan berusaha keras dalam mentanfiir dari mereka, maka dia itu sudah mengikuti jalan kaum mu’miniin, mengikuti arahan para imam yang mendapat petunjuk, dan menyelisihi Khawarij dan Rafidlah yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Dan siapa saja yang menjadikan pengkafiran mereka (‘ubbadul qubuur) ini seperti pengkafiran mereka (kaum muslimin) maka dia itu termasuk al mulabbisuun (orang-orang yang membuat pengkaburan masalah) dan tergolong orang-orang yang menghalang-halangi dari jalan Allah…”
Akan tetapi sungguh sangat disayangkan ada orang yang menganggap syaikh oleh banyak orang yang katanya adalah para penyebar dakwah salaf, bahkan dijadikan rujukan oleh mereka, ketika mereka ingin menghentikan dakwah tauhid yang tegas ini dan yang sedang kami sampaikan ini, mereka sengaja menghadapkan saya dengan syaikh maz’um itu yang disertai satu syaikh lagi dengan tujuan supaya saya tidak mengkafirkan mu’ayyan para penyembah kuburan dan aturan, saya bertanya kepada syaikh maz’um itu: Apa pendapat engkau tentang ‘ubbadul qubuur al juhhal apakah mereka itu muwahhiduun atau musyrikuun? Maka dia diam sementara waktu, kemudian menjawab: “Ya, ada yang mengatakan bahwa mereka itu muwahhiduun,” seraya terus mempertahankan pernyataan itu. Sungguh sangat mengerikan jawaban dari orang yang katanya syaikh rujukan yayasan salafiyyah terbesar ini, dia menjawab dengan jawaban yang lebih buruk dari pernyataan Dawud Ibnu Jirjiis Al ‘Iraqiy, Dawud hanya mengatakan mereka itu adalah kaum muslimin, sedangkan ini adalaah muwahhidiin. Sayangnya tidak ada yang mengetahui isi dialog itu sebenarnya kecuali Allah kemudian saya dan mereka berdua, karena orang lain dilarang masuk. Tapi itu ungkapan yang tidak akan saya lupakan dari orang yang katanya menyusun kitab tauhid yang padahal di dalam kitab yang dia susun itu ada pernyataan yang bertolak belakang dengan yang dia lontarkan.Pent.
[33] Wajib anda ingat bahwa ‘ubbadul qubuur dan ‘ubbadud dustuur itu bukanlah kaum muslimin, tapi kaum musyrikin meskipun mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah dan melaksanakan rukun Islam lainnya.Pent.
[34] Telah engkau ketahui bahwa para aparat/tentara itu yang mana mereka tersebut telah bersekongkol dengan pimpinan-pimpinannya untuk tasyrii’ (membuat hukum dan undang-undang), dan mereka terus melindungi undang-undang dan hukum-hukum tersebut, maka sungguh dengan perbuatan itu mereka itu bersetatus sebagai musyrikiin yang menyembah selain Allah subhaanahu wa ta’aala, juga mereka telah menjadikan para pembuat hukum dan perundang-undangan itu sebagai arbaab (tuhan jadi-jadian) selain Allah, dan sebagaian dalil-dalil akan hal ini telah lewat.
[35] Ini dibuktikan dengan hadits tentang seseorang yang dijelaskan di dalamnya bahwa dia itu belum mengamalkan sedikitpun kebaikan (kecuali tauhid), maka dia mewasiatkan kepada anak-anaknya agar setelah dia meninggal dunia dibakar dan abunya ditaburkan di laut, dan dia berkata: “Bila saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala kuasa atas saya, tentu dia akan mengadzab saya dengan adzab yang tidak pernah dia timpakan kepada seorangpun”, maka tatkala mati Allah membangkitkannya, dan berkata kepadanya: “Kenapa kamu melakukan itu?’’ Dia menjawab: “Karena takut kepada Engkau, wahai Rabb”, maka Allah mengampuninya, hadits ini intinya ada di dalam hadits Al Bukhari, sedangkan tambahan: “belum beramal sedikitpun kecuali tauhid,’’ diriwayatkan dengan isnad yang shahih oleh Ahmad, dan di dalam hadits ini ada dalil udzur jahil di dalam masalah asmaa dan sifat-sifat Allah, karena hal itu tidaklah bisa diketahui kecuali lewat para rasul, orang ini jahil akan luasnya qudrah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dia mengira bahwa wasiatnya kepada anak-anaknya itu mampu menyelamatkan dia dari adzab Allah, maka Allah memaafkan kejahilan dia itu, berbeda halnya dengan tauhid yang merupakan hak Allah atas hamba-hamba-Nya, yang mana Allah telah memasang baginya dalil-dalil akal dan dalil-dalil kauniy, serta Dia telah menegakkan atasnya hujjah-hujjah mitsaaq (janji) dan fithrah, dan Dia menyempurnakannya dengan hujjah risaliyyah agar tidak ada lagi hujjah bagi manusia atas Allah setelah diutusnya para rasul.
[36] Lihat umpamanya Bab Al Ikraah dalam Fathul syarah Shahihul Bukhari.
[37] Saya telah mentahdzib fatwa Syaikhul Islam tadi dan saya berikan muqaddimah baginya dengan muqaddimah yang sangat penting sekitar masalah istihsaan dan istishlaah serta apa yang dimasukan oleh Ahlul Ahwaa terhadap dien ini dalam masalah tersebut berupa kerusakan yang sangat besar, dan saya beri nama Al Qaul An Nafiis Fit Thadziir Min Khadii’ati Ibliis.
[38] Bahkan di antara orang-orang yang tidak menganggap penting masalah ini (takfir mu’ayyan), dan mereka mentahdzir (menghati-hatikan orang) darinya secara muthlaq, di antara mereka ada orang yang lebih mementingkan orang-orang kafir daripada kaum muslimiin, dia melaporkan kaum muwahhiduun itu kepada orang-orang kafir itu (maksudnya para penguasa thaghut dan jajarannya), dan dia meminta bantuan orang-orang musyrik dan orang-orang kafir untuk membungkam kaum muwahhiduun yang dia beri gelar sebagai orang-orang takfiiriyyuun… di antara contoh kenyataan itu adalah jawaban Ali Hasan Al Halabiy terhadap anak-anak (maksudnya para pengekornya) yang bertanya kepadanya: Apakah boleh melaporkan orang-orang takfiriyyun itu kepada penguasa pada masa sekarang? maka dia menjawab: Bila mereka itu membahayakan dan menebar kerusakan kepada umat, menyesatkan dan menyebar paham buruknya itu di tengah-tengah umat, maka wajib (melaporkannya).”!!!!
Di ambil dari kaset Syarhus Sunnah karya Al Barbahariy (no:11), amatilah penentuan anak-anak muridnya yang jahil itu setelah itu akan ukuran bahaya dan batasan pengrusakan, serta makna penyesatan yang membolehkan bahkan mewajibkan mereka untuk meminta bantuan kepada orang-orang musyrik dan mendukung mereka untuk membungkam kaum muwahiduun!!!
[39] Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat menjelaskan thaghut-thaghut yang ada di jazirah yang dikultuskan oleh orang-orang penduduk Kharaj, beliau berkata: “Sesungguhnya mereka itu seluruhnya adalah kuffar murtaduun dari Islam, dan siapa orangnya yang membela-bela mereka, atau mengingkari kepada orang yang mengkafirkan mereka, atau dia mengklaim bahwa perbuatan mereka itu meskipun memang batil akan tetapi tidak mengeluarkan mereka (dari Islam) kepada kekafiran, maka minimal status orang yang membela-bela ini adalah fasiq yang tidak boleh di terima tulisannya, tidak boleh di terima kesaksiannya, dan tidak boleh shalat di belakangnya, bahkan justeru dienul Islam ini tidah sah kecuali dengan berlepas diri dari mereka dan mengkafirkannya”. (lihat Ad Durar Assaniyyah, 1./52-53, lihat Al lidlaah Wat Tabyiin, 37).
Perhatikan status orang yang membela-bela atau yang mengingkari kepada orang yang mengkafirkannya, atau orang yang mengakui bahwa perbuatannya syirik/kufur tapi orangnya tidak dikafirkan.
Syaikh juga berkata dalam Ad Durar Assaniyyah, 2/78: Dan kafirlah kalian terhadap thaghut-thaghut itu, musuhilah mereka, bencilah orang yang mencintai mereka, atau orang yang membela-bela mereka, atau orang yang tidak mengkafirkan mereka…”
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman, Syaikh Ibrahim dan Syaikh Abdullah yang keduanya putra Syaikh Abdullathif mereka mengatakan ketika ditanya tentang orang yang tawaqquf dari mengkafirkan orang-orang qubuuriyyin dengan alasan bahwa mereka itu tidak memamahi hujjah, maka para ulama tadi menjelaskan bahwa tegaknya hujjah adalah lain sedangkan paham hujjah itu adalah lain pula, dan hujjah itu bisa jadi tegak atas orang yang tidak paham akannya, mereka mengatakan sesudahnya: “maka tidak ada yang meragukan kekafiran mereka (qubuuriyyiin) dan kesesatannya kecuali orang yang telah diliputi hawaa (bid’ah) dan mata bashirahnya sudah Allah butakan  dari kalangan berwala kepada mereka itu, sehingga dia itu adalah ‘aashii (orang yang bermaksiat) ladi dzalim yang wajib dihajr, dijauhi, dan ditahdzir sehingga dia mengumumkan taubatnya sebagaimana dia mengumumkan kedzaliman dan maksiatnya…” sampai mereka mengatakan…: “Tidak sah imamahnya orang yang tidak mengakafirkan Jahmiyyah dan qubuuriyyuun atau masih meragukan kekafiran mereka…” Ad Durar Assaniyyah, 10/431-436, lihat Al lidlaah wat Tabyiin, 38.Pent.

1 komentar:

ANNAS mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu