wawancara Oleh: Abu Jundulloh Muhammad Faisal, SPd. M.MPd
Segala Puja dan puji hanya milik Allah Ta’ala. kita
memuji, meminta pertolongan, memohon ampun kepada-Nya, kta berlindung
kepada-Nya dari keburukan perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan
sebaliknya, barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka
tidak ada yang memberi petunjuk kepadanya. Kita bersaksi tidak ada yang
berhaq disembah melainkan Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan kita bersaksi bahwa Rasulullah Muhammad Shallallahu’ Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Amma Ba’du.
“ Sebaik-baik petunjuk ialah Kitabullah
(Al-Qur’an), serta sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Rasulullah yakni
Sunnahnya, dan seburuk-buruk perbuatan dan perkataan ialah yang
diada-adakan dan setiap yang diada-adakan ialah Bid’ah dan setiap
KeBid’ahan itu sesat serta setiap kesesatan itu ialah tempatnya di dalam
Naar (Neraka) “.
Gagasan pluralisme agama, yaitu paham
yang menganggap semua agama itu sama karena berasal dari Allah,
sebenarnya berasal dari faham rusak Ibnu Arabi yaitu Wihdatul Adyan
(penyatuan semua agama), yang diikuti secara taklid oleh orang-orang
semacam, Gus Dur, Ulil, Abdul Munir Mulkhan, Syafii Maarif dan
sebagainya.
Agama Kristen (Katholik dan Protestan) –
serta ratusan bahkan ribuan sekte yang berasal darinya– jelas bukan
ajaran yang berasal dari Allah melalui Nabi Isa alaihissalam. Tetapi,
ajaran agama yang antara lain dibawa oleh Paulus dengan cara merusak
ajaran agama yang dibawa Nabi Isa alaihissalam. Begitu juga dengan agama
Kong Hucu, Budha, Hindu, Shinto dan sebagainya, bukanlah ajaran agama
yang berasal dari Allah.
Mengapa gagasan pluralisme agama disebut sebagai gagasan orang dungu? Cobalah simak kejadian berikut ini:
Seorang pemandu tamu Ma’had Al-Zaytun
pimpinan AS Panji gumilang di Indramayu Jawa Barat menjelaskan kondisi
pesantren megah itu kepada pengunjung dalam mobil ketika mengelilingi
pergedungan dan kawasan pesantren ini. Pemandu mengatakan, pesantren ini
menerima juga santri-santri yang non muslim. Lalu seorang bocah
keturunan India dalam mobil ini bertanya, “Lho kok menerima santri non
Muslim Pak, kan ini pesantren?”
“Ya, kami menerima murid yang non muslim
pula, karena semua agama itu sama, semuanya dari Tuhan juga. Jadi semua
agama sama,” jawab pemandu.
Mobil pun tetap berjalan pelan-pelan.
Pemandu masih sering menjelaskan ini dan itu kepada pengunjung sekitar
10-an orang dalam mobil itu. Lalu mobil lewat di depan deretan kandang
yang isinya banyak sapi. Bocah keturunan India itu bertanya lagi:
“Pak, itu banyak sapi, untuk apa pak, sapi-sapi itu?”
“Untuk disembelih, dijadikan lauk bagi para santri,” jawab pemandu.
“Lho, sapi kok disembelih Pak. Tadi
bapak bilang, semua agama sama. Lha kok sapi boleh disembelih pak?”
Tanya bocah keturunan India yang bagi agama dia sapi tak boleh
disembelih itu.
Ditunggu bermenit-menit tidak ada
jawaban dari pemandu. Adanya hanya diam. Padahal hanya menghadapi bocah
yang dibawa oleh bapak dan ibunya dan belum dapat bepergian sendiri itu.
Baru menghadapi bocah saja, orang yang
berfaham pluralisme agama alias menyamakan semua agama ini sudah tidak
mampu menjawab. Padahal masih di dunia. Apalagi di akhirat kelak.
Di dunia ini sudah ada tuntunannya,
bahwa agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah Islam.
Yang lain tidak diridhai. Maka jelas tidak sama antara yang diridhai
dan yang tidak. Yang bilang sama, itu hanya orang-orang yang tak
menggunakan akalnya.
Islam Membantah Pluralisme Agama
Islam
sebagai agama satu-satunya yang diridhai-Nya, bukan pendapat manusia,
tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang mengatakannya.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran 3:19).
Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali ‘Imran 3:85).
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan secara gamblang:
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bahwa beliau bersabda: “ Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya,
tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia
itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman
dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni
neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati
nabiyyinaa shallAllahu ‘alaihi wassalam ilaa jamii’in naasi wa naskhul
milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita shallAllahu
‘alaihi wassalam bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama
dengan agama beliau).
Dalam penerapan agama itu maka tidak ada pilihan lain lagi, apabila Allah dan rasul-Nya telah menentukan sesuatu.
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS
Al-Ahzaab 33: 36).
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min,
bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami
patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS An-Nuur 24:51)
Gagasan pluralisme agama ini terutama
disosialisasikan oleh tokoh-tokoh pengajar dari UIN (Universitas Islam
Negeri), IAIN (Institut Agama Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri), STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta), bahkan orang
liberal di berbagai lembaga. Seharusnya mereka dilarang mengajar apalagi
sampai menjabat Rektor di UIN maupun IAIN, karena UIN dan IAIN adalah
lembaga pendidikan tinggi agama Islam.
Seharusnya, mereka kalau memang gentle
bikinlah UAAIN (Universitas Anti Agama Islam Negeri) dan IAAIN (Institut
Anti Agama Islam Negeri). Tetapi ungkapan ini jangan dianggap sebagai
suruhan, namun maksudnya adalah suatu peringatan keras, agar jangan
sampai merusak Islam, apalagi lewat perguruan tinggi Islam.
Kenyataannya, ketika dirasa pembusukan
aqidah lewat perguruan tinggi Islam dan sebagian oraganisasi Islam sudah
dapat mereka lakukan, mereka kemudian membuat lembaga pendidikan tinggi
dan pesantren yang mereka anggap akan lebih intensif dalam memusyrikkan
lagi. Maka bertandanglah mereka, kerjasama antara UIN Jogjakata, UGM
(Universitas Gajah Mada) Jogjakarta, dan sebuah universitas Nasrani.
Dibuatlah pendidikan tinggi antaragama di Jogjakarta. Sedangkan Gus Dur
tak mau ketinggalan, maka dia membuat pula pesantren multiagama di
Semarang bersama rekannya yang dulu memimpin gerombolan apa yang disebut
pasukan berani mati.
Cuplikan beritanya sebagai berikut:
Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat
Beragama (Forkhagama) mendirikan pesantren multiagama Bhinneka Tunggal
Ika. Bertempat di Pondok Pesantren Soko Tunggal Jl. Sendangguwo Raya,
Sabtu petang kemarin, pemancangan Prasasti Deklarasi Soko Tunggal
ditandatangani Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Tokoh-tokoh agama yang turut menandatangani prasasti berasal dari agama
Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan Khonghucu. Menurut Ketua
Forkhagama KH Nuril Arifin atau yang biasa disebut Gus Nuril, pesantren
didirikan dengan tujuan menciptakan persatuan di Indonesia. Pesantren
multiagama itu akan dibangun di atas tanah seluas 9.000 m2 di Kelurahan
Purwosari, Mijen yang merupakan tanah wakaf Gus Nuril. (Suara Merdeka,
Semarang, Senin, 19 Desember 2005).
Pluralisme Agama Beda dengan Pluralitas
Pluralisme
agama itu beda dengan pluralitas. Pluralitas hanyalah mengakui adanya
agama-agama, tidak mengakui sama ataupun benarnya. (Kalau pluralitas
dalam satu agama, kami maksudkan dalam tulisan ini adalah kebalikan dari
eksklusivitas. Misalnya orang Al-Irsyad, Persis dan lainnya boleh-boleh
saja shalat di masjid orang Muhammadiyah; itu pluralitas. Sedang orang
LDII hanya ada di masjid mereka dan masjid mereka hanya untuk mereka,
itu eksklusif). Sedang pluralisme agama itu mengakui semua agama sama.
Jadi pluralisme agama itu faham kemusyrikan, menyamakan semua agama,
maka penyembah berhala disamakan dengan penyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengertian yang mudah difahami umat
Islam adalah istilah musyrik. Ketika diganti dengan istilah baru,
pluralisme agama, maka umat ini tidak faham. Padahal sebenarnya adalah
kemusyrikan, dan termasuk upaya-upaya orang musyrik dalam meneguhkan
kemusyrikannya.
Dalam riwayatnya, orang musyrikin Quraisy di Makkah pun meminta Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah
Allah selama satu tahun juga. Kemudian Allah menurunkan surat
Al-Kafirun, dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk melepaskan
diri dari agama mereka secara keseluruhan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir,
Surat Al-Kafirun ayat 1).
Kalau model kemusyrikan sekarang yang
namanya pluralisme agama, bukan masalah penyembahannya yang
dipentingkan, namun pemahamannya, dari aqidah tauhid ditarik-tarik ke
kemusyrikan yang diganti nama dengan pluralisme agama.
Dari sini jelaslah bahwa pluralisme
agama itu faham kemusyrikan, dan merupakan upaya-upaya orang musyrikin
dalam propaganda kemusyrikannya. Itu semua telah dibantah oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Kafirun.
Sebenarnya masalah pluralitas (mengakui
adanya perbedaan, bukan mengakui semua agama sama seperti pluralisme)
secara intern di kalangan Islam tidak masalah. Jamaah NU tidak ada
hambatan apapun shalat di masjid orang-orang Muhammadiyah dan
sebagainya. Begitu juga sebaliknya.
Kalau toh ada eksklusivitas, itu
biasanya terjadi di kalangan aliran sesat seperti LDII (Islam Jama’ah),
Ahmadiyah Qadian dan Lahore dan sejenisnya. Mesjid mereka tertutup bagi
kalangan di luar mereka. Pernikahan pun hanya terjadi di antara sesama
mereka.
Yang juga eksklusif adalah agama
Kristen. Orang Katholik tidak mau disamakan dengan orang Kristen
Protestan, mereka beribadah di gereja masing-masing. Bahkan orang
Katholik menyebut dirinya “Katholik” saja tanpa embel-embel Kristen,
berbeda dengan “Kristen Protestan” yang masih menempelkan Kristen
sebelum sekte Protestannya.
Orang Katholik tidak dibenarkan menikah dengan Kristen Protestan meski sama-sama bertuhankan Yesus. Apalagi dengan agama lain.
Di dalam Kristen terdapat ratusan bahkan
ribuan sekte yang masing-masing punya gereja sendiri. Jemaat gereja
Bethel tidak beribadah di gereja Nehemia, begitu seterusnya. Bahkan
pernikahan pun demikian, sebisa mungkin terjadi di antara jemaat satu
gereja.
Berbeda dengan Kristen yang eksklusif,
agama-agama kebudayaan seperti Hindu, Budha, Kong Hucu, meski terkesan
longgar namun tetap saja berpendirian tidak semua agama sama. Mereka
memang tidak keberatan ritual keagamaannya dijadikan objek wisata.
Bahkan penganut agama lain pun, bila ingin menikah dengan tatacara
(ritual) agama mereka, boleh-boleh saja. Pernah terjadi, Mick Jagger
dedengkot The Rolling Stone menikah di salah satu negara Asia dengan
menggunakan tata cara (ritual) agama mayoritas di negeri tersebut.
Padahal kedua mempelai bukanlah penganut agama tersebut.
Masih ingat ketika Megawati
bersembahyang di Pura? Padahal ia bukan penganut Hindu. Pendeta dan
masyarakat Hindu di Bali tidak marah, malahan mereka senang sekali.
Sampai-sampai, ketika AM Saefuddin meledek Megawati, orang-orang Hindu
bukannya marah kepada Megawati tetapi justru kepada AM Saefuddin.
Padahal, seharusnya mereka berterimakasih bukannya malah marah kepada AM
Saefuddin.
Tahun 2006, penerbit Media Hindu pernah
meluncurkan buku berjudul “Semua Agama Tidak Sama” yang berisi kumpulan
tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu. Intinya, mereka
mengkritisi Pluralisme Agama.
Ngakan Made Madrasuta, editor buku
tersebut, dalam kata pengantarnya menyanggah paham pluralisme agama yang
sering dijajakan kaum Hindu pluralis. Mereka, kaum Hindu pluralis itu,
selama ini telah memelintir makna yang tersurat dari Bagawad Gita, yang
antara lain berbunyi: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku,
semuanya Aku terima.”
Menurut Madrasuta, itu tidak bisa
dijadikan dasar pembenaran atas pluralisme agama (Hindu). Karena, yang
disebut “Jalan” adalah empat yoga: Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga,
dan Raja Yoga. Kesemuanya itu hanya ada dalam agama Hindu. Tidak ada
dalam agama lain.
Begitulah faktanya.
Anehnya, kaum liberal justru memaksakan
gagasan pluralisme agama ini untuk diterapkan umat Islam, seolah-olah
umat Islam begitu eksklusif dan tidak mengenal toleransi serta
mengabaikan pluralitas. Padahal, Islam adalah perekat bangsa. Tanpa
Islam, masyarakat di kawasan Nusantara ini, terkotak-kotak berdasarkan
suku. Artinya, gagasan pluralisme agama yang diusung kaum sepilis bukan
saja aneh tapi gagasan orang dungu.
Meniru Orang Kafir dan Tak Percaya Diri
Gagasan pluralisme agama sebagaimana
diusung kalangan sepilis, sesungguhnya bukan hal baru. Gagasan sejenis
sudah sejak lama diusung oleh pemeluk agama Baha’i –merupakan sempalan
paham sesat Syi’ah Imamiah, yang pertama kali diperkenalkan oleh Mirza
Ali Muhammad.
Berbeda dengan kaum sepilis yang
berpendidikan dan berpenampilan intelek, penganut agama Baha’i ini
umumnya berpenampilan ndeso sehingga tidak mampu meyakinkan masyarakat
luas termasuk media massa seperti Kompas dan Jawapos untuk mengakomodasi
kesesatannya.
Peganut agama Baha’i ini meski mengakui keberadaan Nabi Muhammad, namun bukan sebagai rasul terakhir. Karena Muhamad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sudah meninggal, maka nabi mereka adalah Bahaullah. Di titik ini ada kemiripan dengan paham sesat Ahmadiyah.
Menurut mereka, semua agama itu benar
dan sama, tidak ada agama yang salah, karena yang salah cuma orangnya.
Meski mengaku bertuhankan Allah, namun penganut agama Baha’i ini
memiliki kitab suci sendiri yaitu Al-Aqdas.
Menurut Al-Aqdas, shalat bagi penganut
agama Baha’i ini dibagi tiga: ringan, sedang, dan berat. Ibadah ringan
hanya sebatas ingat shalat. Ibadah sedang, dengan berdiri beberapa saat.
Ibadah berat, bisa berupa shalat sehari semalam. Pelaksanaan ibadah itu
hanya satu kali sehari, menghadap kiblat Aka.
Meski ndeso, penganut agama Baha’i ini
jauh lebih gentle karena dengan tegas mengatakan Baha’i adalah agama
tersendiri, bukan Islam. Ungkapan ini bukan mengurangi nilai sesatnya,
tetapi dari segi keterus-terangannya bahwa mereka bukan Islam itu satu
kenyataan. Bandingkan dengan Ulil, Musdah Mulia, Gus Dur, Syafii Maarif,
Syafii Anwar, Abdul Munir Mulkhan dan kawan-kawannya, atau Ahmadiyah,
Syi’ah dan LDII yang selain tidak gentle juga tidak percaya diri dengan
keyakinan sesatnya, sehingga masih terus menempelkan Islam di depan
agama sesatnya itu.
Semoga kita Selalu dalam Lindungan Allah Azza wa Jalla
dan Umat Islam yang haus akan kebenaran Islam yang murni, dan risalah
ini semoga dapat bermanfaat bagi Umat Islam, walaupun banyak yang tidak
mendukung tapi risalah ini Penulis persembahkan bagi orang islam yang
haus akan kebenaran islam. Do’aku selalu menyertai kalian semua yang
selalu mengemban dakwah tauhid dan jihad. Amien Ya Mujibas Saliem.
Salam Dakwah Tauhid dan Jihad, Bumi Allah Azza wa Jalla
0 komentar: