::
Start
sumber informasi dan persahabatan

Navbar3

Search This Blog

Rabu, 19 September 2012

Di Negeri Ini Dulu Ada ‘Tentara Kandjeng Nabi Muhammad’, Satuan Khusus Pembela Kemuliaan Islam



(ilustrasi)
SPIRIT :Pembelaan kaum Muslimin Indonesia terhadap penistaan yang dilakukan pada sosok mulia, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan kali ini saja terjadi.
Pada masa lalu, sikap tegas dan pembelaan umat Islam dalam memprotes segala bentuk penghinaan terhadap Rasulullah juga pernah dilakukan secara massif dan besar-besaran.
Ribuan aktivis dan tokoh-tokoh Islam, bergerak serentak melakukan Apel Akbar di Surabaya pada 6 Februari 1912, menyikapi pelecehan yang dilakukan oleh sebuah media massa yang dikelola oleh kelompok kebatinan-kejawen-sekular yang bernama Djawi Hisworo.
Aktivis kebatinan-kejawen-sekular yang pada masa itu dekat dengan kelompok Theosofi dan Freemasonry, yang bergerak dalam selubung kebangsaan, membuat sebuah media massa berbahasa Jawa bernama Djawi Hisworo.
Pada edisi 8-11 Januari 1918, media tersebut memuat artikel yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemabuk dan pemadat. Artikel yang berjudul “Percakapan Antara Marto dan Djojo” tersebut menggemparkan kota Surakarta dan membuat geram para aktivis Central Sarekat Islam.
HOS Tjokroaminoto
Martodharsono, tokoh kebatinan-kejawen dituding berada di balik artikel yang berisi pelecehan terhadap Rasulullah terebut.
Penyebutan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemabuk dan pemadat memancing reaksi keras kaum Muslimin di tanah Jawa.
Sebuah Rapat Akbar umat Islam yang dipelopori oleh Central Sarekat Islam digelar di Surabaya pada 6 Februari 1918. Rapat akbar tersebut dihadiri oleh ribuan umat Islam, yang kemudian menyepakati dibentuknya sebuah satuan khusus yang bertugas untuk melawan segala bentuk penistaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Satuan khusus tersebut kemudian diberi nama “Tentara Kandjeng Nabi Muhammad” dan dipimpin oleh tokoh dan ideolog Sarekat Islam, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Selain HOS Tjokroaminoto dan beberapa aktivis Sarekat Islam lainnya, di antara anggota Tentara Kandjeng Nabi Muhammad adalah tokoh dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
(ilustrasi)
Dalam dokumen resminya, tujuan berdirinya Tentara Kandjeng Nabi Muhammad atau Tentara Kandjeng Rosoel,antara lain, “Mencari persatuan lahir batin antara segenap kaum Muslimin, terutama sekali yang tinggal di Hindia Belanda, dan untuk menjaga dan melindungi kehormatan Islam, kehormatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta kehormatan kaum Muslimin”.
Terbentuknya satuan khusus Tentara Kandjeng Nabi Muhammad di Jawa ini kemudian mendapat sambutan luas di berbagai daerah. Berbagai aksi digelar untuk mendapat dukungan dan dana.
Pada 24 Februari 1918, Tentara Kandjeng Nabi Muhammad kemudian melakukan berbagai aksi protes di beberapa wilayah di Jawa dan sebagian di Sumatera yang diikuti oleh ratusan ribu massa kaum Muslimin.
Pembentukan satuan khusus ini menurut Sarekat Islam (SI), semata-mata adalah isyarat agar pihak di luar Islam tidak lagi semena-mena melakukan penghinaan terhadap Rasulullah dan untuk menjaga kehormatan dan martabat umat Islam.
Keberadaan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad kemudian mendapat reaksi keras dari para aktivis kebatinan-kejawen-sekular. Untuk menandingi satuan khusus umat Islam tersebut, mereka kemudian membentuk Komite Nasionalisme Jawa(Comitte voor het Javaansche Nationalisme).
Komite ini menuduh satuan khusus yang dibentuk oleh SI untuk membela Nabi Muhammad sebagai gerakan yang ditunggangi oleh kepentingan asing, yakni kepentingan Arab.
Pada masa lalu, penghinaan dan pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh kelompok kebangsaan-sekular penganut kebatinan-kejawen memang terus berlangsung. Majalah Bangoen No. 9 dan 10 tahun 1937, yang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, menurunkan artikel yang berisi cacian terhadap Islam, terutama penghinaan terhadap istri-istri Rasulullah.
Seperti halnya Djawi Hisworo, pelecehan yang dilakukan oleh Majalah Bangoen ini juga memantik kemarahan umat Islam, sehingga dilangsungkan Rapat Akbar di Batavia pada 18 Desember 1937.  Belakangan diketahui, Majalah Bangoen mendapat pendanaan dari Vrijmetselarij (Freemasonry).(Lihat buku Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara, Artawijaya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011).
Selain dilakukan oleh para aktivis kebatinan-kejawen-sekular, penghinaan terhadap ajaran Islam dan kemuliaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga dilakukan para aktivis zending Kristen.
Di Bandung, penghinaan terhadap Rasulullah pada masa lalu, disikapi oleh organisasi Persatuan Islam (Persis), dengan mendirikan Central Komite Pembela Islam. Melalui salah seorang tokohnya, Mohammad Natsir, Komite Pembela Islam melakukan berbagai konter opini dan protes keras terhadap pelecehan yang dilakukan oleh seorang pendeta Belanda.
Jadi, upaya membela kemuliaan Islam dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di negeri ini sejatinya memiliki akar sejarah yang kuat. Umat Islam di negeri ini pada masa lalu juga memiliki semangat juang yang tinggi dalam membela harkat dan martabat Islam.
Jika saat ini ada Front Pembela Islam (FPI), maka pada masa lalu juga ada Komite Pembela Islam. Jika sekarang ada Laskar Pembela Islam, maka pada era dulu juga ada Tentara Kandjeng Nabi Muhammad. Dari dulu hingga kini, bahkan sampai Hari Kiamat, siapapun yang melecehkan Islam akan terus mendapatkan perlawanan.
Jadi, jangan coba-coba memantik api, jika tak ingin terbakar!

0 komentar: