Dr. Alimuddin Yasir Ibrahim – Lajnah Siyasiyah DPP HTI

Ada beberapa catatan kritis tentang isu intoleransi umat Islam yang disimpulkan dari hasil survey tersebut. Diantaranya, pertama, adalah metode jumlah responden 1200 sampel masih sedikit bila ingin mewakili warga Indonesia dengan metode kuantitatif. Waktu sangat singkat 1-8 Oktober 2012 seharusnya dilakukan setiap bulan dalam satu tahun agar validitas sampel bisa dipertanggungjawabkan sebab tingkat keberpihakan masyarakat relatif.
Kedua, tingkatan pendidikan rendah dan pendapatan rendah masyarakat ini juga tidak bisa secara mutlak dijadikan dasar. Sebab ada juga lembaga survei lain yang melakukan riset dan mendapat hasil temuan sebaliknya bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi intolaransi secara kualitatif. Misalnya survey yang dilakukan oleh lembaga survei CSIS yang membuktikan bahwa sikap toleransi dan intoleransi dalam beragama tidak berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Sebab, survei CSIS tahun 2012 menyatakan masyarakat dengan pendidikan di atas SMA, hanya sekitar 38,1 persen yang menyatakan setuju pembangunan rumah ibadah di lingkungannya. Sehingga pendidikan tinggi tak menjamin seseorang akan bersikap toleran dalam pembangunan rumah ibadah.
Ketiga, survey yang dilakukan oleh LSI mengukur preferensi responden tentang apakah merasa nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, orang Ahmadiyah dan pelaku LGBT. Kesimpulan bahwa intoleransi di Indonesia meningkat, lebih bisa dianggap sebagai opini dengan memanfaatkan temuan survey. Padahal tentu beda antara merasa tidak nyaman dengan sikap intoleran. Orang yang merasa tidak nyaman tidak otomatis ia bersikap tidak toleran. Merasa tidak nyaman bukan berarti akan mengusir, mengasari atau melakukan kekerasan.
Penarikan kesimpulan apapun selalu dipengaruhi oleh ide atau pemikiran yang diusung oleh penarik kesimpulan. Kesimpulan dari survey diatas lebih bisa dianggap sebagai opini agar umat Islam menerima Ahmadiyah dan perilaku LGBT. Sebab kesimpulan itu sama saja menyatakan yang disebut toleran itu jika menerima Syiah, Ahmadiyah dan perilaku LGBT. Di saat yang sama, kesimpulan itu menjadi opini yang memberikan stigma negatif kepada umat Islam sebagai masyarakat yang tidak toleran. Di sisi lain, saat ini masyarakat muslim justru menjadi korban intoleransi di tengah masyarakat yang mayoritasnya non muslim seperti di Eropa, Amerika, India, Myanmar, dll. Dalam konteks itu, kesimpulan survey di atas bisa dipakai mengecilkan intoleransi yang diderita kaum muslimin itu. Orang bisa mengatakan, “lihat saja tuh masyarakat muslim terbesar di dunia saja juga makin tidak toleran.”
Keempat, berdasarkan analisis fakta beberapa kejadian di Propinsi Indonesia justru umat Islam di Indonesia tidak jarang menjadi korban intoleransi: Di Kalimantan Tengah Sekretaris Umum MUI Provinsi Kalimantan Tengah H Syamsuri Yusuf menyatakan intoleransi terjadi di kantor-kantor instansi pemerintah. Di kantor-kantor instansi pemerintah masih ada yang menolak keberadaan atau pembangunan mushola. Di NTT nasib serupa dialami pula oleh minoritas Muslim di NTT. Di Kupang, misalnya, sejak tahun 1990 sampai 2008, pembangunan tempat ibadah untuk warga minoritas Muslim di Kelurahan Batu Plat Kecamatan Alak selalu dihalangi. Di Papua umat Islam warga Perumahan Organda, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Papua. Setelah perjuangan yang panjang dan alot akhirnya mereka mengantongi izin untuk membangun. Warga muslim Organda yang berjumlah 60 KK ini pada 2007 akhirnya dapat membangun masjid. Sejak masjid dibangun hingga sekarang teror pelemparan batu terus dilakukan oleh mereka yang tidak suka dengan pembangunan tempat ibadah bagi umat Islam ini. Pelemparan itu kadang terjadi saat azan dikumandangkan atau saat pelaksanaan shalat kadang berturut-turut tiga hari, kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali ketika azan dikumandangkan. (Mediaumat.com, Kamis (14/6/12).
Disamping keempat point di atas kesimpulan survey di atas menjadi suatu bentuk polarisasi dan stigma negatif terhadap umat Islam di negeri ini. Padahal intoleransi juga banyak dialami oleh Umat Islam di berbagai tempat ketika umat Islam menjadi minoritas. Ini membuktikan adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap umat Islam. Di samping itu karena sistem diterapkan adalah sistem demokrasi liberal banyak mengalami kegagalan mengurusi keragaman masyarakat karena dipimpin oleh pemimpin yang tunduk kepada sistem sekuler. Sekaligus juga menunjukkan bahwa di dalam sistem demokrasi kemaslahatan dan nasib umat Islam akan terus dipinggirkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
0 komentar: