Dr. Alimuddin Yasir Ibrahim – Lajnah Siyasiyah DPP HTI
Polemik survei yang dilakukan oleh LSI bahwa Indonesia tidak toleran dalam keberagaman dan hampir setiap tahun melaunching survei bahwa Indonesia intoleran terhadap keberagaman dengan asumsi setiap tahun meningkat. Lingkar Survei Indonesia Community merilis hasil survei ini di Jakarta, Minggu, 21 Oktober 2012; mengungkap banyaknya masyarakat yang intoleran terhadap keberagaman. Sikap intoleran ditunjukkan dengan ketidaknyamanan terhadap perbedaan agama, juga perbedaan orientasi seksual. Aktivis dari Lingkar Survey Indonesia Community, Ardian Sopa mengatakan, semakin rendah tingkat pendidikan orang Indonesia maka ia akan cenderung mempunyai sikap toleransi yang rendah. Sedangkan yang memiliki pendidikan tinggi terungkap akan lebih toleran. Data survei ini diambil dalam jangka waktu 1-8 oktober 2012 dengan jumlah responden sebanyak 1200. Survei diambil dengan menggunakan metode wawancara melalui tatap muka, dan margin of error sekitar plus minus 2,9 persen. Dari survei tersebut penduduk dengan pendidikan SMA ke bawah tidak merasa nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama sebesar 67,8 persen, dengan aliran Syiah sebesar 61,2 persen, dengan penganut Ahmadiyah sebesar 63,1 persen, dan dengan homoseksual sebesar 65,1 persen. Tapi angka intoleransi terbesar adalah terhadap komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender). Yang paling tinggi, terhadap homoseksual yang mencapai 80,6 persen. Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi atau minimal pernah kuliah angkanya di bawah 35 persen untuk tiap kategori. Angka ini tidak jauh berbeda jika dikaitkan dengan tingkat penghasilan responden. Tercatat responden dengan penghasilan di bawah 2 juta, angka penolakan terhadap mempunyai tetangga yang berbeda agama sebesar 63,4 persen, penganut Syiah sebesar 57,8 persen, penganut Ahmadiyah sebesar 61,2 persen, dan homoseksual sebesar 59,1 persen. Sementara itu Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, menambahkan berdasarkan data dari Wahid Institute jumlah kekerasan atas nama agama juga semakin meningkat dari tahun 2010 ke 2011 dari 62 menjadi 92 kasus. Mayoritas reponden bahkan lebih dari 50 persen mengaku tidak puas mengenai kinerja presiden, politisi dan polisi dalam memberikan perlindungan keamanan dan hak azasi masyarakat. (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/361146-masyarakat-indonesia-makin-tidak-toleran-)
Ada beberapa catatan kritis tentang isu intoleransi umat Islam yang disimpulkan dari hasil survey tersebut. Diantaranya, pertama, adalah metode jumlah responden 1200 sampel masih sedikit bila ingin mewakili warga Indonesia dengan metode kuantitatif. Waktu sangat singkat 1-8 Oktober 2012 seharusnya dilakukan setiap bulan dalam satu tahun agar validitas sampel bisa dipertanggungjawabkan sebab tingkat keberpihakan masyarakat relatif.
Kedua, tingkatan pendidikan rendah dan pendapatan rendah masyarakat ini juga tidak bisa secara mutlak dijadikan dasar. Sebab ada juga lembaga survei lain yang melakukan riset dan mendapat hasil temuan sebaliknya bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi intolaransi secara kualitatif. Misalnya survey yang dilakukan oleh lembaga survei CSIS yang membuktikan bahwa sikap toleransi dan intoleransi dalam beragama tidak berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Sebab, survei CSIS tahun 2012 menyatakan masyarakat dengan pendidikan di atas SMA, hanya sekitar 38,1 persen yang menyatakan setuju pembangunan rumah ibadah di lingkungannya. Sehingga pendidikan tinggi tak menjamin seseorang akan bersikap toleran dalam pembangunan rumah ibadah.
Ketiga, survey yang dilakukan oleh LSI mengukur preferensi responden tentang apakah merasa nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, orang Ahmadiyah dan pelaku LGBT. Kesimpulan bahwa intoleransi di Indonesia meningkat, lebih bisa dianggap sebagai opini dengan memanfaatkan temuan survey. Padahal tentu beda antara merasa tidak nyaman dengan sikap intoleran. Orang yang merasa tidak nyaman tidak otomatis ia bersikap tidak toleran. Merasa tidak nyaman bukan berarti akan mengusir, mengasari atau melakukan kekerasan.
Penarikan kesimpulan apapun selalu dipengaruhi oleh ide atau pemikiran yang diusung oleh penarik kesimpulan. Kesimpulan dari survey diatas lebih bisa dianggap sebagai opini agar umat Islam menerima Ahmadiyah dan perilaku LGBT. Sebab kesimpulan itu sama saja menyatakan yang disebut toleran itu jika menerima Syiah, Ahmadiyah dan perilaku LGBT. Di saat yang sama, kesimpulan itu menjadi opini yang memberikan stigma negatif kepada umat Islam sebagai masyarakat yang tidak toleran. Di sisi lain, saat ini masyarakat muslim justru menjadi korban intoleransi di tengah masyarakat yang mayoritasnya non muslim seperti di Eropa, Amerika, India, Myanmar, dll. Dalam konteks itu, kesimpulan survey di atas bisa dipakai mengecilkan intoleransi yang diderita kaum muslimin itu. Orang bisa mengatakan, “lihat saja tuh masyarakat muslim terbesar di dunia saja juga makin tidak toleran.”
Keempat, berdasarkan analisis fakta beberapa kejadian di Propinsi Indonesia justru umat Islam di Indonesia tidak jarang menjadi korban intoleransi: Di Kalimantan Tengah Sekretaris Umum MUI Provinsi Kalimantan Tengah H Syamsuri Yusuf menyatakan intoleransi terjadi di kantor-kantor instansi pemerintah. Di kantor-kantor instansi pemerintah masih ada yang menolak keberadaan atau pembangunan mushola. Di NTT nasib serupa dialami pula oleh minoritas Muslim di NTT. Di Kupang, misalnya, sejak tahun 1990 sampai 2008, pembangunan tempat ibadah untuk warga minoritas Muslim di Kelurahan Batu Plat Kecamatan Alak selalu dihalangi. Di Papua umat Islam warga Perumahan Organda, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Papua. Setelah perjuangan yang panjang dan alot akhirnya mereka mengantongi izin untuk membangun. Warga muslim Organda yang berjumlah 60 KK ini pada 2007 akhirnya dapat membangun masjid. Sejak masjid dibangun hingga sekarang teror pelemparan batu terus dilakukan oleh mereka yang tidak suka dengan pembangunan tempat ibadah bagi umat Islam ini. Pelemparan itu kadang terjadi saat azan dikumandangkan atau saat pelaksanaan shalat kadang berturut-turut tiga hari, kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali ketika azan dikumandangkan. (Mediaumat.com, Kamis (14/6/12).
Disamping keempat point di atas kesimpulan survey di atas menjadi suatu bentuk polarisasi dan stigma negatif terhadap umat Islam di negeri ini. Padahal intoleransi juga banyak dialami oleh Umat Islam di berbagai tempat ketika umat Islam menjadi minoritas. Ini membuktikan adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap umat Islam. Di samping itu karena sistem diterapkan adalah sistem demokrasi liberal banyak mengalami kegagalan mengurusi keragaman masyarakat karena dipimpin oleh pemimpin yang tunduk kepada sistem sekuler. Sekaligus juga menunjukkan bahwa di dalam sistem demokrasi kemaslahatan dan nasib umat Islam akan terus dipinggirkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
0 komentar: