Imbas
dari hegemoni orientalisme dan gerakan Yahudi dalam bidang politik
sangat berdampak kepada dunia Islam. Kita masih ingat bagaimana kaum
liberal mendekatkan fahamnya dengan kekuasaan, dari mulai berkiprah di
partai politik sampai berupaya menjebolkan misinya lewat jalur
undang-undang. Adalah omong kosong jika organisasi seperti Jaringan
Islam Liberal, hanya berdalih ingin memisahkan Islam dari Negara.
Klaim-klaim liberalisasi Islam murni dilakukan tanpa tendensi politik
patut dipertanyakan. Sebab dalam faktanya, tidak ada ideologi zionis
apapun yang mampu menunjang peradaban tanpa ditopang relasi kuasa. Baik
itu demokrasi, komunisme, kapitalisme dan lain sebagainya.
Uniknya, berbeda dengan ideologi Islam,
ideologi zionisme selalu didirikan lewat serangkain aksi manipulasi,
tipudaya, dan juga rekayasa. Ini amat dimungkinkan, karena tidak ada
patokan benar dan salah secara tetap. Mereka digerakkan oleh faktor
kebencian dan menjadikan kepentingan lebih utama daripada segalanya.
Kita masih ingat bagaimana komunisme memecah Syarikat Islam (SI) menjadi
dua warna antara putih dan merah. Adalah Ordo Illuminati berjubah
Komunis yang disebut-sebut Ad El Marzdedeq dalam bukunya “Freemasonry
Melanda Dunia Islam” bergerak secara diam-diam bergerilya ke SI dan
berhasil mengkader Semaoen dan Darsono.
Demokrasi Politik dan Ilusi Zionis
Setelah Abad Pertengahan gagal membangun
kekuatan, Barat selalu berupaya mencari formulasi pengganti. Dominasi
gereja dalam abad pertengahan dianggap menahan laju ilmu dan kebebasan
manusia-manusia. Inilah yang kemudian membuat teologi abad pertengahan
hancur dan kemudian Barat memunculkan nama baru berupa modernisasi lewat
aksi renaisans.
Modernisasi kemudian diisukan sebagai
akhir dari penantian selama ini. Mereka menyebut modernisasi adalah
edisi pamungkas dari sejarah pencarian Barat terhadap Peradaban dimana
keran ilmu pengetahuan mengalir deras mengucur membasahi setelah
sebelumnya ditahan klaim Kristen.
Namun uniknya, ditengah secercah harapan
atas laju kehidupan yang dicita-citakan itu, modernisasi juga tidak
mampu membuat perubahan secara lama. Konsep kebenaran dalam modernisasi
yang tidak sesuai perkembangan zaman lagi, membuat Barat merevisi faham
mereka dan kemudian menggantinya dengan postmodernisme. Dalam
postmodernisme, tidak ada lagi kebenaran pasti, semuanya menjadi
relatif. Benar secara agama, belum tentu benar di Masyarakat. Bahkan
kebenaran agama bisa dibatalkan oleh mufakat. Nah di titik inilah para
orientalis menggam-gemborkan Demokrasi di dunia Islam.
Francis Fukuyama dalam bukunya The End
of History and The Last Man nyaris meniru peralihan sistem dari mulai
abad pertengahan sampai dominasi postmodernisme. Orientalis keturunan
Jepang itu mengatakan demokrasi adalah sistem terbaik dan pemenang
ketika komunisme Soviet tumbang.
Padahal dalam perkembangannya, demokrasi
penuh dengan dosa. Seperti dikutip Farid Wajdi, pengkritik Demokrasi
seperti Gatano Masco, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung
melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani
minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah
sekelompok kecil atas kelompok besar (Ilusi Negara Demokrasi: Al Azhar
Press 2009)
Konteks tirani minoritas atas mayoritas
inilah apa yang kita sebut sebagai permainan Zionis dalam mencengkaram
umat saat ini. Kaum Zionis, yang disebut Paul Findley, memiki masa tak
lebih dari angka 20 juta, mampu menguasai lobi-lobi, tidak hanya di
Amerika, tapi juga Negara muslim lainnya.
Kita masih ingat kasus Mesir. Isu-isu
yang dihembuskan para orientalis dan zionis tentang cita-cita demokrasi
sebagai prasyarat Negara maju sudah bermain sejak lama jauh sebelum
Revolusi Timur Tengah melanda. Freedom House, misalnya, lembaga mantel
zionis ini aktif menyebarkan keniscyaan demokrasi sebagai ideologi yang
kelak sebagai “pilihan terakhir” bagi rakyat Mesir.
Freedom House sendiri berawal ketika
Wendell Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson,
Herbert Bayard Swope bersatu untuk menentang paham Nazi. Pada tahun
1940-an, Freedom House mendukung Marshall Plan dan pendirian NATO yang
kini tercatat sebagai salah satu kekuatan zionis dalam meluluhlantahkan
Libya. Sedangkan pada tahun-tahun 1950-1960-an mereka sudah terlibat
akfif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia di AS.
Selain nama Freedom House, nama lain
yang menjadi penggerak demokratisasi di Negara-negara muslim adalah
National Endowment For Democracy (NED). NED sendiri adalah sebuah
yayasan swasta nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. Ia berfungsi
untuk memberikan hibah dalam rangka mendukung proyek-proyek LSM di
seluruh dunia untuk pertumbuhan dan penguatan lembaga-lembaga
demokratis.
Yayasan ini didirikan pada tahun 1983
dan menyediakan lebih dari 1000 dana bantuan per tahun untuk LSM dalam
rangka mempromosikan demokrasi di lebih dari 90 negara. Tidak hanya itu,
NED juga tercatat aktif dalam menawarkan beasiswa dan melakukan
penelitian dan pertukaran internasional bagi para aktivis demokrasi, hak
asasi manusia advokat, jurnalis, dosen dan peneliti.
Demokrasi dan Matinya Agama: Ujung Dari Protocol of Zion
Sebelum NED dan Freedom House
mendefinisikan apa yang disebut standar negara sukses dengan
demokrasinya di Timur Tengah, Steve Bruce lewat bukunya “God is Dead:
Secularization in West” (Blackwell: 2002) menguraikan perihal
karakteristik negara modern. Seperti dikutip oleh Syamsudin Arif, Bruce
sebagai sosiolog agama kemudian menerjemahkannya pada tiga ciri.
Pertama, adanya diferensiasi fungsi dan
struktur sosial, ditandai dengan munculnya sistem birokrasi dan
profesionalisme, menggantikan hirarki, dominasi dan pretensi kelompok
tertentu. Namun Bruce memberi syarat khusus bahwa hal ini akan sukses
ketika dibarengi oleh maraknya tren Pluralisme Agama dan relativisme
bahwa tidak ada lagi kebenaran tunggal dalam monopoli kebenaran.
Kedua, lahirnya privatisasi agama
sebagai konsekuensi dari kehidupan yang lebih terorganisir dan terjamin,
sehingga agama dirasakan tidak lagi relevan jika tidak berpengaruh sama
sekali dalam konteks sosial. Agama hanya menjadi lahan privat dan
pribadi tanpa diperbolehkan ikut campur dalam masalah agama. Ucapan
Bruce ini kemudian bisa kita paralelkan dengan statement Ulil tentang
Ahmadiyah.
Ketiga, bagi Bruce, Negara harus memberi
ruang untuk masuknya rasionalisasi dimana sains tampil dominan
menggantikan mitologi, mistisisme, dan sihir. (Kemodernan, Sekularisasi,
dan Agama: Jurnal Islamia 2007)
Pertanyaannya, apakah yang sebenarnya
didefinisikan mistisme dan mitologi dalam termin Bruce? Jawabannya sudah
terlebih dahulu diambil oleh August Comte, seorang Yahudi konspiratif
yang menaruh konsentrasi untuk meruntuhkan Khilafah Islamiyah dan
kemudian terlaksana pada tahun 1924 oleh Kemal Ataturk.
August Comte menggariskan bahwa
perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga tahapan yaitu Tahap
Teologik, tahap metafisik, dan kemudian mencapai titik akhir pada tahap
positif. Menariknya Comte mendefiniskan zaman penuh kelam, hancur, dan
tidak keruan ketika zaman teologik atau agama tampil dominan menguasai
sendi kehidupan.
Sebaliknya zaman positif, menurut maksud
Comte adalah zaman penuh kemajuan karena orang berusaha untuk menemukan
hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan
fakta-fakta ilmiah, yang terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Dan
bagi Comte, hal itu tidak bisa terjadi ketika agama turut campur dalam
kehidupan. Rupanya perkataan Comte inilah yang serupa di Protocol of
Zion nomor 5:
“Ada suatu langkah yang mampu membikin
opini umum, yaitu kita harus mengajukan berbagai pandangan yang dapat
menggoyahkan keyakinan-keyakinan sebelumnya yang sudah tertanam di hati
dan pikiran masyarakat. Kalau usaha ini belum mendapatkan perhatian,
maka masyarakat harus diberikan pandangan lagi yang secara sosial dapat
diterima.
Dengan cara ini, keyakinan lama yang
sudah tertanam di hati manusia akan tergoyahkan, dan pada akhirnya akan
tumbang, lantaran terdepak oleh perkembangan zaman. Pada akhirnya
pendapat dan pandangan yang tidak searah dengan tujuan Yahudi akan
musnah, dan di dunia akan jatuh ke dalam perangkap kesesatan.”
Dan doktrin Comte ini menjalar ke
seluruh dunia Islam, mulai dari Asia hingga Afrika. Makanya ketika kasus
Ahmadiyah meneyeruak, Ulil meminta Negara tidak boleh ikut campur,
karena agama wilayah privat dan tidak boleh terjadi relasi kuasa disana.
Menariknya Ulil justru kini masuk ke Partai Politik dan memperjuangkan
pengesahan pemikiran-pemikiran nyelenehnya tentang Islam lewat jalur
undang-undang.
Namun apakah kaum liberalis masuk ke
wilayah politik untuk mengangkat agama? Jawabannya tidak, karena mereka
ingin “membunuh” agama seperti lonceng kematian Tuhan yang bergema di
seluruh Eropa dan Amerika setelah Frederich Nietszche
memploklamirkannya. Dan kita tidak perlu berperang dengan mereka di
sana, karena justru demokrasi lah yang sebenarnya membuka peluang untuk
liberalisasi. Karena benar dan salah bukan lagi milik Allah.
0 komentar: