Laporan dibawah ini kami terjemahkan dari The Independent. Hari itu, Hafez Rajabi menunjukkan bekas-bekas lukanya yang tak akan pernah hilang sepanjang hidupnya. Salah satu bekas lukanya didapat ketika ia bertempur dengan militer ‘Israel’, Brigade Kfir lima tahun lalu.
Remaja berusia 21 tahun ini menunjukkan bekas luka di atas mata kanannya. Seorang serdadu ‘Israel’, ia berkisah, memukul keras mata kanannya dengan majalah saat rumah neneknya kedatangan patroli militer pada 28 Agustus 2007 pagi.
Ia memiliki bekas luka lainnya. Saat ia mengangkat kaosnya, terlihatlah bekas lukas sekitar 6 cm di punggungnya yang memanjang dari bahu kirinya. Luka ini akibat hantaman keras ke sebuah bagian yang tajam di pagar besi.
Tubuhnya juga diseret hingga 300 meter oleh pasukan militer yang mengancam akan membunuhnya jika ia tidak mengaku telah melempar bebatuan ke arah tentara. Saat itu, ia tidak berhenti dipukuli dan kepalanya ditodongkan sebuah pistol. “Tentara itu terlihat sangat marah. Saat itu saya sangat yakin ia akan membunuh saya,” ujar Hafez.
Kisah ini, tentu hanya salah satu contoh saja. Masih banyak lagi kisah kejam lainnya yang dilakukan oleh serdadu Zionis ‘Israel’. Dan hal ini, salah satunya terungkap dari sejumlah testimoni para mantan prajurit ‘Israel’.
Seorang sersan satu dalam testimoninya mengatakan, “Kami memiliki seorang komandan. Ia memukuli seorang anak hingga babak belur. Ia lalu berkata pada anak itu, ‘Kamu mau mati? Kamu mau mati di sini?’. Anak itu serta merta menjawab, ‘Tidak, tidak…’. Anak itu kemudian dibawa ke sebuah gedung yang sedang diperbaiki. Komandan tadi mengambil tongkat dan memukulkannya pada anak itu. Komandan itu bener-benar tidak memiliki rasa kasihan. Anak laki-laki itu sudah tidak bisa lagi berdiri dan ia terus menangis. Bukannya kasihan, komandan itu malah meneriakinya, menyuruh anak itu berdiri. Namun anak itu sudah benar-benar tidak berdaya. Komandan itu lalu bilang, ‘Jangan berpura-pura’, kemudian kembali memukulinya’”.
Dua bulan lalu, sebuah laporan dari tim pengacara Inggris yang dikepalai Sir Stephen Sedley dan didanai oleh Kantor Luar Negeri Inggris, menyatakan bahwa ‘Israel’ melanggar serangkaian hukum internasional terkait perlakuan anak-anak dalam tahanan. Laporan itu difokuskan pada proses interogasi dan penahanan terhadap anak-anak sebelum digelar pengadilan militer. Penangkapan anak-anak ini sendiri umumnya disebabkan karena melempar batu.
Selama delapan tahun terakhir, laporan “Breaking the Silence” selalu memuat testimoni dari para mantan serdadu yang menyaksikan ataupun terlibat dalam pelanggaran HAM di wilayah-wilayah jajahan Zionis ‘Israel’. Di sana disebutkan juga bahwa jaksa militer ‘Israel’ melabeli setiap anak Palestina sebagai bibit teroris.
Beberapa serdadu mengaku tidak sepaham dengan penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan oleh ‘Israel’. “Kami tidak sepaham. (Penyiksaan) Ini sudah menjadi kebiasaan. Pemukulan patroli sudah menjadi kegiatan sehari-hari. Hanya dengan memberikan kami tatapan tidak suka, kami akan langsung melayangkan pukulan,” ujar salah seorang serdadu.
Beberapa waktu lalu, setelah ia memberi testimoni untuk laporan “Breaking the Silence”, serdadu itu diinterviu. Ia memilih lokasi yang tidak umum supaya tak ada yang tahu ia tengah diwawancara. Pagi itu, ia duduk dengan penuh kecemasan. Dia lalu memutar kembali ingatannya. Tapi tidak semua kesaksiannya cocok dengan yang disampaikan warga Palestina. Hafez, misalnya, ia masih ingat ketika salah seorang tentara menodongkan pistol ke tubuhnya sementara versi serdadu, pistol itu dipukulkan ke mulutnya.
Namun ada beberapa kesaksian yang cocok. Kedua belah pihak sama-sama mengatakan bahwa Hafez sembunyi di rumah neneknya ketika ia tahu sedang dicari oleh serdadu-serdadu ‘Israel’. Dalam kesaksiannya, Hafez menunjukkan kamar di rumah neneknya yang dulu dipakainya untuk bersembunyi ketika para serdadu datang. Dan para serdadu yang mengetahui tempat persembunyian Hafez mengakui bahwa mereka memporakporandakan rumah nenek Hafez dan menemukan Hafez sedang bersembunyi dengan kondisi sangat ketakutan.
Tante Hafez, Fathia Rajabi, 57 juga memberikan kesaksian. Semula ia tidak menyadari bahwa pemuda yang diseret serdadu ‘Israel’ saat itu adalah keponakannya. “Saya menangis saat itu dan berkata, ‘Allah melarang untuk memukul dia,’. Ternyata Hafez mengenali suara tantenya. Ia kemudian berteriak memanggil tantenya. Rajabi yang lalu mengetahui bahwa itu adalah keponakannya, mencoba mendekatinya namun dua orang serdadu menodongkan pistol ke arahnya dan menyuruhnya pergi. Sepuluh menit kemudian, setelah serdadu-serdadu itu pergi, ia dan keluarga Hafez lainnya masuk ke dalam kamar tempat persembunyian Hafez. Mereka lalu mendapati Hafez dalam keadaan berdarah-darah, mulai dari hidung, kepala hingga punggungnya.
Kesaksian lain disampaikan saudara Hafez, Mousa, 23. Ia ingat ketika mobil tentara yang lainnya tiba di rumah dan salah seorang serdadu memeriksa denyut nadi Hafez. Serdadu itu lalu memberikan sebotol air kepada Mousa yang kemudian dibasuhkannya ke wajah Hafez. Serdadu itu kemudian bicara dalam bahasa Ibrani kepada komandannya.
Mousa mengerti bahwa dalam percakapan itu, serdadu tadi memprotes tindakan yang sudah dilakukan kepada Hafez. Ia kemudian meminta agar Hafez berhenti dipukuli. Komandannya kemudian berkata, ‘Ada apa dengan kamu, kenapa jadi pembelot?’.
Serdadu itu menjawab, ‘Tidak. Hanya saja semua yang kamu lakukan pada keluarga ini akan membuat mereka menciptakan para pengebom bunuh diri. Jika saya adalah anak ini, saya pasti akan melakukan balas dendam’.
Tapi faktanya, Hafez tidak pernah menjadi pengebom bunuh diri seperti yang disangkakan serdadu ‘Israel’ itu. Dan ia pun tidak pernah masuk penjara. Dan kini, setelah semua peristiwa itu berlalu, Hafez tidak lagi mengalami mimpi buruk. Namun peristiwa yang menimpanya memengaruhi kecakapannya dalam bekerja. Hafez yang dulu terbiasa bekerja sebagai mekanik, kini tidak memiliki pekerjaan karena lukanya yang belum sembuh total membuatnya tidak bisa membawa alat-alat berat. Selain alasan itu, Hafez juga terkadang merasa tidak ingin lagi bekerja.
“Breaking the Silence”: Testimoni Para Serdadu
1. Sersan Satu Brigade Kfir, Salfit 2009
“Kami mengambil alih sebuah sekolah dan menculik semua warga desa yang berusia antara 17 dan 50 tahun. Ketika para tahanan ini diminta pergi ke kamar mandi dan para serdadu membawa pergi, mereka dipukuli dan dimaki-maki tanpa sebab. Ada warga Arab yang dibawa ke kamar mandi dan seorang serdadu menamparnya dan menjatuhkannya ketika ia dalam keadaan terikat dan tertutup matanya. Padahal pria itu tidak berbuat apapun. Alasannya hanya karena ia orang Arab. Biasanya orang-orang di sekolah akan dijemur selama berjam-jam di bawah terik matahari. Mereka boleh sekali mendapatkan air, tapi ketika ada yang minta air sampai lima kali, prajurit ‘Israel’ akan mendatanginya dan menamparnya dengan enteng. Saya melihat banyak serdadu yang memakai lututnya untuk memukuli para tahanan ketika sedang bosan. Dan karena para serdadu berdiri selama sepuluh jam tanpa melakukan apapun, mereka akhirnya bosan lalu memukuli tahanan.
2. Sersan Satu, Korps Artileri, Ramallah 2006-2007
“Ada suatu kejadian di Qalandiya. Saat itu para serdadu yang sengaja memancing kericuhan, meminta orang-orang di sekitarnya untuk berlari. Karena ketakutan banyak dari mereka yang jatuh. Dan anak-anak yang terjatuh dan tidak cepat berlari akan menjadi sasaran pukulan serdadu-serdadu itu. Aturan yang ditetapkan serdadu itu, orang-orang yang berlari lambat dan jatuh akan dipukuli.
3. Sersan Satu, Brigade Kfir, Hebron 2006-2007
“Kami seringkali memancing kerusuhan. Ketika sedang berpatroli, berjalan di desa, ketika bosan, kami membuat kerusuhan di toko-toko, memukuli seseorang hingga babak belur. Atau jika kami ingin melakukan kerusuhan lainnya, kami tinggal menghancurkan teralis-teralis di jendela masjid, melemparkan granat setrum dan membuat ledakan besar. Setiap hari kami menculik anak-anak Arab, menodongkan senjata ke tubuhnya. Mereka benar-benar tidak berdaya dan hanya bisa berkata, ‘Tidak, tidak, prajurit’. Dan mereka hanya membatu ketika kami memukuli mereka dengan keras sepanjang waktu. Saat itu, batu-batu beterbangan dan kami benar-benar kehilangan semua rasa belas kasihan.
4. Laporan prajurit-prajurit dengan pangkat dan unit tidak teridentifikasi, Hebron 2007-2008
“Pada suatu malam, kami diberi tahu telah terjadi kerusuhan di desa Idna (kota kecil sekitar 13 km dari Hebron Barat yang berpenduduk 20.000 orang). Kami diminta segera ke sana. Setibanya di sana, bebatuan menghujani kami dan kami belum tahu apa yang tengah terjadi. Tapi tiba-tiba itu semua berhenti ketika seorang komandan turun dari kendaraannya. Dan tiba-tiba juga saya melihat seorang anak laki-laki yang terikat dan matanya ditutup. Komandan yang tadi turun dari kendaraan lalu menembakkan peluru karet kepada para pelempar batu dan memukul anak laki-laki itu. Beberapa tentara berkata ingin memukul wajah anak itu dengan lutut mereka. Saat itu saya berdebat dengan mereka dan berkata, ‘Jika ada darah yang menetes atau rambut jatuh dari anak itu, kamu tidak akan bisa tidur selama tiga hari. Saya akan membuat kamu menderita’. Tetapi para tentara itu malah menertawai saya. Salah satu dari mereka berkata, ‘Jika kita tidak seperti ini, mereka akan terus melakukan ini (melempar batu)’. Saya masih terus berdebat dengannya dan mengatakan bahwa anak itu dalam keadaan terikat dan tidak bisa melakukan apapun’”.*
0 komentar: