Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ
سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh.
Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may
yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu
alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan
‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man
tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.
Fainna ashdaqal hadits
kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa
syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu
bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar…
Ammaba’du
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى
هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ
وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَفِي
رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي
النَّارِ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan
sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah
kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)
Menanggapi
masalah bid'ah ini,sebenarnya tergantung seberapa besarkah iman
seseorang muslim meyakini suatu dalil atau nash tersebut shahih atau
tidak.
Jika seseorang tersebut tidak percaya akan adanya dan
kesahihan hadits tentang bid'ah tersebut,maka ia akan melakukan suatu
bid'ah sesuka hatinya.
Namun jika kita asalah seseorang yang beriman
kepada Al-Qur'an dan sunnah,sudah menjadi kewajiban kita meyakini dan
meninggalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita
Muhammad salallohu'alaihi wassalam,karena kita umat ISLAM.
Sudah kewajiban kita sebagai umat Islam untuk selalu berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan sunnah rosulullohu'alaihi wassalam.
Sering
kita mendengar seseorang mengatakan; Tahlilan bid'ah,Merayakan Maulid
Nabi juga bid'ah apalagi membaca ayat Al-Qur'an diatas makam bid'ah
juga,..
“dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,”
“apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!”
“kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.”
Kira-kira
kalimat seperti inilah yang akan terlontar dari mulut sebagian kaum
muslimin ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan
adalah bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.Semua ucapan
ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin karena hawa nafsu mereka
dan mungkin juga karena kejahilan mereka tentang definisi bid’ah,
batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa pelakunya.
Karenanya
berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari hadits Aisyah
yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum muslimin tentang
bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas ilmu, Allahumma amin.
Bid’ah dan Bahayanya
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
Dalam satu riwayat,
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.
*Takhrij Hadits:
Hadits
ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan istri
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah radhiallahu
Ta’ala ‘anha.
Adapun lafadz pertama dikeluarkan oleh Imam
Al-Bukhary (2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar
Ihya`ut Turots).
Dan lafadz kedua dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhary secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).
Dan
juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya (4594)
dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa
saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang
tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak”.
**Kosa Kata Hadits:
1.
“Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam
firman Allah –Ta’ala-, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang
pedih.”. (QS. An-Nur: 63)
2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.
[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]
***Komentar Para Ulama :
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Pondasi Islam dibangun di atas 3 hadits:
-Hadits “setiap amalan tergantung dengan niat”,
-Hadits ‘A`isyah “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”
-Dan Hadits An-Nu’man “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas””.
Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata,
“Ada empat hadits yang merupakan pondasi agama:
-Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah dengan niatnya”
-Hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”
-Hadits “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari”
-Hadits “Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya maka hal itu tertolak”.
Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu) “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
“Hadits
ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana
hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah parameter amalan
secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya
secara zhohir.
Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan
dengannya wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka
demikian pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan
RasulNya maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara
yang dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan
RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali”.
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin,
“Hadits
ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib
untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung
dalam membatalkan semua perkara baru dan bid’ah (dalam agama)”.
Dan beliau juga berkata,
“… maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.
Dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in,
“Hadits
ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan
mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua
perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi syari’at”.
Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab,
“Hadits
ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung
dalam membantah seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan
masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya
masing-masing, yaitu:
a.Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup
orang yang pertama kali mencetuskan bid’ah tersebut walaupun dia
sendiri tidak beramal dengannya.
b.Adapun lafadz kedua
(ancamannya) mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah tersebut
walaupun bukan dia pencetus bid’ah itu pertama kali”. Selesai dengan
beberapa perubahan.
****Syarh :
Setelah
membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka kita bisa
mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan ancaman
bagi setiap pelaku bid’ah serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah
tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua pont inilah
yang –insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan tetapi
sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bid’ah itu sendiri agar
permasalahan menjadi tambah jelas.
Maka kami katakan:
A.Definisi Bid’ah.
Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:
بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)
Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)
Yakni :
Saya
bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa risalah dari Allah
kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya banyak dari para
Rasul.
Lihat: Lisanul ‘Arab (9/351-352)
Adapun secara istilah
syari’at –dan definisi inilah yang dimaksudkan dalam nash-nash syari’at-
bid’ah adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Imam Asy-Syathiby
dalam kitab Al-I’tishom (1/50):
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ
مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ وَيُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا
الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ اللهَ سُبْحَانَهُ
“Bid’ah
adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama yang
diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam pelaksanaannya
untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanahuwata'ala”.
Penjelasan Definisi.
Setelah
Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas, beliau
kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut, yang
kesimpulannya sebagai berikut:
1.Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)
Dan
urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentunya
adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah
mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HR. Bukhory)
Maka
bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak termasuk
dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang tidak
diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan dengannya
untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan gedung-gedung,
pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan berbagai macam
bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada zaman Nabi
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Maka semua perkara
ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap bid’ah
dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian (secara
bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam hadits
di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum mereka
berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang
dibutuhkan.
2.Perkatan beliau “yang diada-adakan”,yaitu sesungguhnya bid’ah adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam syari’at yang menunjukkan atasnya sama sekali.
Adapun
amalan-amalan yang ditunjukkan oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum
–walaupun tidak ada dalil tentang amalan itu secara khusus- maka
bukanlah bid’ah dalam agama.
Misalnya alat-alat tempur modern yang
dimaksudkan sebagai persiapan memerangi orang-orang kafir , demikian
pula ilmu-ilmu wasilah dalam agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu
Shorf dan selainnya) , ilmu tajwid , ilmu mustholahul hadits dan
selainnya, demikian pula dengan pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar
dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhuma . Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah
karena semuanya masuk ke dalam kaidah-kaidah syari’at secara umum.
3.Perkataan beliau “menyerupai syari’at”,
yaitu bahwa bid’ah itu menyerupai cara-cara syari’at padahal hakikatnya
tidak demikian, bahkan bid’ah bertolak belakang dengan syari’at dari
beberapa sisi:
a.Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti
orang yang bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan
duduk atau membatasi diri dengan hanya memakan makanan atau memakai
pakaian tertentu.
b.Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau
metode-metode tertentu yang tidak ada dalam agama, seperti berdzikir
secara berjama’ah, menjadikan hari lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam sebagai hari raya dan yang semisalnya.
c.
Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang
penentuan hal tersebut tidak ada di dalam syari’at, seperti komitmen
untuk berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban dan sholat di malam
harinya.
4.Perkataan beliau “dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.
Ini
merupakan kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena inilah maksud
diadakannya bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam
bid’ah adalah adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya
targhib (motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Ta’ala-
berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Maka
seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah) ini menganggap bahwa inilah maksud
yang diinginkan (dengan bid’ahnya) dan tidak belum jelas baginya bahwa
apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya) dalam
perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah mencukupi.
B.Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.
1.Bid’ah merupakan sebab perpecahan.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan
kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan kepada kalian agar
kalian bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)
Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” :
“Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)
2.Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.
Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Dan
hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia
memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)
Berkata At-Tastury :
“’Qosdhus
sabil’ adalah jalan sunnah ‘di antaranya ada yang bengkok’ yakni
bengkok ke Neraka yaitu agama-agama yang batil dan bid’ah-bid’ah”.
Maka
bid’ah mengantarkan para pelakunya ke dalan Neraka, sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam
khutbatul hajah:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَفِي
رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي
النَّارِ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan
sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah
kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)
Dalam satu riwayat,
“
Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.
Dan dalam riwayat An-Nasa`iy,
“
Sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada
dalam Neraka”.
Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“
Dan
hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)
3.
Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)
Dan bid’ah sama
sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas sekarang.
4.
Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:
فَمَنْ
أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ عَدْلٌ وَلَا
صَرْفٌ
“
Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bid’ah atau
melindungi pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat dan
seluruh manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula
pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)
5.
Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا
“
Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi ‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)
Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam,
“…
Maknanya adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya
dan menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah
kebanyakannya dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-,
karena dia menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku
maksiat yang dia mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat,
maka kadang Allah menerima taubatnya”.
6.
Para pelaku bid’ah akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat –wal’iyadzu billah-.Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
لِيَحْمِلُوا
أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ
يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
“
(ucapan
mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya
pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan
yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah,
amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:
وَمَنْ
دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ
تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“
Dan
barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya dosa seperti
dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari dosa mereka
sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)
7.
Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
أَنَا
فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ
لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ
لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“
Saya menunggu kalian di
telagaku, akan didatangkan sekelompok orang dari kalian kemudian mereka
akan diusir dariku, maka sayapun berkata : “Wahai Tuhanku, (mereka
adalah) para shahabatku”, maka dikatakan kepadaku : “Engkau tidak
mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelah kematianmu”. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
8.
Para
pelaku bid’ah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena ternyata masih
ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab Al-I’tishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-,
“Siapa
saja yang membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia menganggapnya
sebagai suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah,
karena Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“
Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
menjadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.
9.
Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.Al-Imam
Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid fii
Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat dalam
surah Al-Ma`idah di atas,
“Maka bila Allah telah menyempurnakan
agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah (artinya)
pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya setelah
Allah menyempurnakan agamanya?!.
Jika pendapat-pendapat (bid’ah ini)
bahagian dari agama –menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah belum
menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka, dan
jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah faidah
dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian dari agama
?!”.
10.
Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:
إِنَّ
الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ
وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُفْتَرِينَ
“
Sesungguhnya
orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak
akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam
kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang membuat-buat kedustaan”. (QS. Al-A’raf: 152)
Ayat ini
umum, mencakup mereka para penyembah anak sapi dan yang menyerupai
mereka dari kalangan ahli bid’ah, karena bid’ah itu seluruhnya adalah
kedustaan atas nama Allah Ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh
Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah.
C.Perkataan Para Ulama Salaf Dalam Mencela Bid’ah.
1.
‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:اَلْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الْإِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
“
Sederhana dalam melakukan sunnah lebih baik daripada bersungguh-ungguh dalam melaksanakan bid’ah”. (Riwayat Ad-Darimiy)
dan beliau juga berkata:
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“
Ittiba’lah kalian dan jangan kalian berbuat bid’ah karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.
(Riwayat Ad-Darimy no. 211 dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam
ta’liq beliau terhadap Kitabul ‘Ilmi karya Ibnul Qoyyim)
2.
‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“
Setiap bid’ah adalah sesat walaupun manusia menganggapnya baik”. (Riwayat Al-Lalika`iy dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah)
3.
Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata:فَإِيَّاكُمْ وَمَا يُبْتَدَعُ, فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌ
“
Maka waspadalah kalian dari sesuatu yang diada-adakan, karena sesungguhnya apa-apa yang diada-adakan adalah kesesatan”. (Riwayat Abu Daud no. 4611)
4.
‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata kepada ‘Utsman bin Hadhir:عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَالْإِسْتِقَامَةِ, وَاتَّبِعْ وَلاَ تَبْتَدِعْ
“
Wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah dan beristiqomah, ittiba’lah dan jangan berbuat bid’ah”. (Riwayat Ad-Darimy no. 141)
5.
Telah berlalu perkataan dari Imam Malik rahimahullah.6.
Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata:مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“
Barang siapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”.
7.
Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam kitab beliau Ushulus Sunnah:أُصُوْلُ
السُّنَّةِ عِنْدَنَا اَلتَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ
وَتَرْكُ الْبِدَعَ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“
Pokok sunnah di
sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang para shahabat
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya,
meneladani mereka serta meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah
kesesatan”.
8.
Sahl bin ‘Abdillah At-Tastury rahimahullah berkata:مَا
أَحْدَثَ أًحَدٌ فِي الْعِلْمِ شَيْئًا إِلاَّ سُئِلَ عَنْهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ, فَإِنْ وَافَقَ السُّنَّةَ سَلِمَ وَإِلاَّ فَلاَ
“
Tidaklah
seseorang memunculkan suatu ilmu (yang baru) sedikitpun kecuali dia
akan ditanya tentangnya pada hari Kiamat ; bila ilmunya sesuai dengan
sunnah maka dia akan selamat dan bila tidak maka tidak”. (Lihat Fathul Bary : 13/290)
9.
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata:أَمَّا
بَعْدُ, أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَالْإِقْتِصَادْ فِي أَمْرِهِ,
وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ, وَتَرْكِ مَا أَحْدَثَ الْمُحْدِثُوْنَ بَعْدَ مَا جَرَتْ بِهِ
سُنَّتُهُ
“
Amma ba’du, saya wasiatkan kepada kalian untuk
bertaqwa kepada Allah dan bersikap sederhana dalam setiap perkaraNya,
ikutilah sunnah NabiNya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan
tinggalkanlah apa-apa yang dimunculkan oleh orang-orang yang
mengada-adakan setelah tetapnya sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam”. (Riwayat Abu Daud)
10.
Abu ‘Utsman An-Naisabury rahimahullah berkata:مَنْ
أَمَّرَ السُّنَّةَ عَلَى نَفْسِهِ قَوْلاً وَفِعْلاً نَطَقَ
بِالْحِكْمَةِ, وَمَنْ أَمَّرَ الْهَوَى عَلَى نَفْسِهِ قَوْلاً وَفِعْلاً
نَطَقَ بِالْبِدْعَةِ
“
Barang siapa yang menguasakan sunnah
atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan
berbicara dengan hikmah, dan barang siapa yang menguasakan hawa nafsu
atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan
berbicara dengan bid’ah”. (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah : 10/244)
{Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)}
Jadi,jika
tahlilan,merayakan maulid dan membaca -Al-Qur'an di makam ada tuntunan
dari Rosullulloh,tentu sebagai umat ISLAM yang senantiasa berusaha
berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah,kita akan melakukan hal
tersebut,tapi bukankah tidak ada dalil untuk hal-hal tersebut dan tidak
pula pernah dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad
Salallohu'alaihiwassalam?