AL QUR’AN baru akan menjadi petunjuk dan pedoman bagi setiap muslim manakala ia meyakini bahwa kisah dan perumpamaan yang Allah berikan ditujukan untuk dirinya, bukan hanya untuk kaum yang hidup di masa lalu. Umar ra. pernah berkata, “ Kaum-kaum itu telah berlalu, dan tidak ada lagi yang dimaksudkan oleh kitabullah itu selain diri kalian”.
Merupakan sunnatullah, bahwa apa yang menimpa dan terjadi pada masa lalu juga akan terjadi di masa yang akan datang. Inilah hukum alam, sunnatullah yang tidak akan berubah dan tidak bergeser. Peristiwa yang lampau bisa hadir kembali dengan nama tempat, tokoh, waktu dan karakter yang berbeda namun memiliki esensi dan susbstansi yang sama.
Sesungguhnya Al Qur’an adalah cahaya dan petunjuk, dan Al Qur’an berisikan permisalan yang bertaburan pada setiap surat dan ayatnya. Kilauan “mutiara permisalan” yang ada di dalamnya seakan-akan hadir dan begitu nyata dalam kehidupan kita. Sehingga bagi orang yang hatinya hidup, pendengarannya tidak tuli dan matanya tidak buta, Allah akan memudahkan baginya untuk mengambil pelajaran.
Salah satu yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an adalah kisah Musa dan pergulatannya melawan rezim Fir’aun. Mereka yang senantiasa mentadabburi ayat-ayat tentang kisah Musa akan mendapati isyarat tersembunyi akan hakikat “tatsniah wa zaujiah” ~ hal yang menunjukkan makna dua dan berpasangan. Satu misal Musa berjumpa dengan “dua orang yang berkelahi”, Musa menemui “dua wanita yang hendak mengambil air”, Musa juga menyetujui perjanjian dengan lelaki shalih ~Syu’aib~ untuk mengambil “ajalain” ~ dua pilihan waktu bekerja. Allah juga memberikan “dua tanda ~ burhanani” kepada Musa. Fir’aun dan tentaranya menyebut bahwa Musa dan Harun adalah “dua tukang sihir yang nyata”, kemudian makna “tatsniah” itu ditutup dengan kalimat “Ulâika yu’tauna ajrahum marratain ~ mereka itulah yang akan diberikan ganjaran dua kali lipat.
Jika sedemikian banyak isyarat “tatsniah” yang Allah paparkan dalam kisah tersebut, akankah perjalanan Musa akan terulang untuk yang kedua kalinya?
Bukti ini semua adalah sebagaimana yang banyak disebutkan dalam kitabullah tentang adanya sunnatullah yang tidak akan berubah dan tidak bergeser. Allah telah menjelaskan bahwa umat-umat terdahulu yang berbuat maksiat dan kemungkaran telah dihancurkan, dan Allah akan menjadikan peristiwa kehancuran mereka sebagai permisalan, dan Allah jadikan permisalan itu bagi generasi setelahnya. Salah satunya adalah dalam surat Az Zukhruf, disebutkan bahwa Fir’aun telah mendustakan Musa, lalu Allah murka kepada Fir’aun atas sikapnya. Apa yang Allah timpakan kepadanya?
Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran ~Salafan~ dan contoh ~matsalan~ bagi orang-orang yang kemudian. (QS. Az Zukhruf : 55-56)
Ayat di atas menegaskan bahwa Fir’aun dan seluruh pasukannya yang ditenggelamkan adalah salafan (umat yang terdahulu), kelak akan muncul di belakang mereka umat lain ~khalafan~ yang juga akan mengalami hal serupa. Tentang ayat di atas, Imam Asy Syaukani berkata dalam Fathul Qadir, “(yang dimaksud dengan) wa matsalan lil âkhirîn adalah menjadi ibrah dan pelajaran bagi orang yang setelahnya, atau akan ada kisah ajaib yang terjadi persis sebagaimana kisah (Fir’aun yang ditenggelamkan).
Beberapa analisa di bawah ini diyakini oleh penulis (Syaikh Shalahuddin Abu Arafah) bahwa fenomena Fir’aun dan Musa tengah berlangsung di hadapan kita :
Fir’aun bukanlah nama orang. Ia sebuah gelar yang dimiliki seorang penguasa Mesir. Fir’aun memiliki makna “Al Baitul Kabir mabniun minal Hajar Al Abyadh, RUMAH BESAR yang terbuat dari BATU PUTIH”. Sebuah kalimat yang lebih mudah diingat dengan kata “GEDUNG PUTIH”. Jika sejarah mengenal tokoh pembantai yang bernama Ramses I dan II, saat ini dunia menyaksikan Bush I dan II, penguasa GEDUNG PUTIH yang banyak melakukan pendzaliman terhadap umat islam.
Sejarah juga mencatat tokoh Musa bin Imran, seorang pemuda bertubuh jangkung, berjalan dengan tongkat, seakan-akan ia berasal dari Bani Syanu’ah –sebuah kabilah yang berada di selatan Yaman. Musa –yang di saat kecil pernah diasuh oleh Fir’aun – kini datang ke Mesir untuk membebaskan kaumnya dari cengkraman kedzaliman Fir’aun. Dalam perjuangan membebaskan kaumnya, Musa bergerak dengan “caranya sendiri”. Ia melihat bahwa kalimat santun dan dakwah yang lemah lembut tidak sedikitpun membuat Fir’aun sadar.
Dengan segala kesombongan dan keangkuhannya, Fir’aun mengerahkan seluruh tukang sihirnya. Senjata Tongkat dan Tali menjadi andalan utama untuk menteror setiap pengikut Musa. Pembantaian tidak lagi hanya menimpa bayi-bayi tak berdosa, namun setiap orang yang mengikuti jejak Musa, bahkan sekedar simpati kepadanya.
Bukan sekedar teror fisik yang ditimpakan Fir’aun kepada kaum Musa, Fir’aun yang dibantu oleh Haman juga menggunakan perang opini untuk menyudutkan Musa. Dengan jargon perang melawan kelompok “Syirzimah-Qalilun”, sebuah istilah Fir’aun yang bermakna “kelompok Teroris dan Minoritas” Fir’aun terus memburu Musa dimanapun ia berada.
Saat ini dunia barat dan timur menyaksikan, seorang pemuda jangkung –193 cm – dengan kulit cenderung hitam, hidung mancung, dan berjalan dengan tongkat. Ia keturunan Bani Syanu’ah, sebuah kabilah di wilayah Yaman. Nama yang diberikan orang tuanya memiliki makna lambang keberanian, tangguh dan perkasa. Usamah – yang berarti singa – yang di usia remajanya pernah mendapat “asuhan” Amerika, kini “datang” kembali ke tanah airnya untuk membebaskan negrinya dari cengkraman Kedzaliman Fir’aun Gedung Putih. Kalimat santun dan lemah lembut Usamah sama sekali tidak membuat hati penguasa Gedung Putih terbuka. Pesan nabi “Usirlah seluruh orang musyrik dari Jazirah Arab” yang disampaikan Usamah dengan bahasa santunnya harus menuai pencekalan dan pencabutan kewarganegaraannya.
Sejarah mencatat bahwa Musa pergi ke Madyan dan dilindungi oleh Syu’aib “penguasa Madyan”, lalu menikah dengan salah seorang putrinya kemudian berangkat bersama Harun untuk membuat perhitungan dengan Fir’aun. Saat ini dunia juga menyaksikan bahwa Usamah pergi ke Afghanistan, dilindungi oleh Mulla Umar –pemimpin Thaliban, lalu menikah dengan salah satu putrinya. Kini Usamah dan Ayman Adz Dzawahiri akan berangkat untuk membuat perhitungan dengan Fir’aun Gedung Putih.
Banyak sekali komparasi antara fenomena Fir’aun Ramses II dengan Bush II junior juga antara Musa as dan sosok Syaikh Usamah yang di paparkan oleh penulis. Lebih dari 20 keserupaan antara karakter keduanya. Dan yang cukup mengejutkan, Fir’aun Ramses II hanya berkuasa 8 tahun, setelah itu Allah tenggelamkan, lalu tamatlah kisah Fir’aun di laut merah. Akankah Bush II juga mengalami hal yang serupa sebagaimana ramses
0 komentar: