Mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam adalah
syarat sahnya iman. Barangsiapa dalam hatinya tidak ada rasa cinta dan
penghormatan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam, niscaya
dalam hatinya tiada keimanan sedikit pun.
Semakin
kuat rasa cinta seorang muslim kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
salam, niscaya keimanannya semakin kuat pula. Dan keimanan tersebut
akan mencapai puncaknya ketika seorang muslim lebih mencintai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa salam daripada rasa cintanya kepada ayah, ibu,
anak, istri, saudara dan manusia siapapun juga.
Sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits shahih:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ»
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Demi
Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya. Salah seorang di antara kalian
tidak beriman sehingga aku lebih ia cintai daripada bapaknya dan
anaknya sendiri." (HR. Bukhari no. 14)
عَنْ
أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Salah
seorang di antara kalian tidak beriman sehingga aku lebih ia cintai
daripada bapaknya sendiri, anaknya sendiri dan seluruh manusia." (HR. Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44)
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ
الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي
النَّارِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Tiga
perkara yang barangsiapa pada dirinya terdapat ketiga perkara tersebut
niscaya ia akan bisa meraih lezatnya keimanan: (1) Allah dan Rasul-Nya
lebih ia cintai dari manusia siapapun juga, (2) mencintai seseorang
semata-mata karena (orang tersebut taat kepada) Allah dan (3) benci
kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran,
sebagaimana rasa bencinya jika dilemparkan ke dalam neraka." (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Seorang
muslim senantiasa mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam. Di antara wujud mencintai dan mengagungkan beliau
adalah:
1. Membenarkan wahyu Al-Qur'an dan as-sunnah (hadits nabawi) yang beliau terima dari Allah ta'ala.
2. Melaksanakan perintah-perintah beliau, baik hal yang wajib maupun yang sunah.
3. Menjauhi larangan-larangan beliau, baik hal yang haram maupun yang makruh.
4. Mempelajari, mengajarkan, mendakwahkan dan memperjuangkan ajaran agama Islam yang beliau bawa.
5.
Menjadikan syariat beliau, Al-Qur'an dan as-sunnah, sebagai
satu-satunya pedoman hidup dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.
6. Mengorbankan jiwa raga, harta, tenaga, pikiran dan waktunya untuk memperjuangkan tegaknya syariat beliau.
7. Memanjatkan shalawat kepada beliau dan memohon kepada Allah agar kelak di hari kiamat diperkenankan menerima syafaat beliau.
8. Memusuhi dan membenci orang-orang yang membenci, memusuhi, mencaci maki dan melecehkan beliau.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa salam adalah pribadi agung dan manusia pilihan
yang paling dicintai dan diagungkan oleh Allah Ta'ala. Oleh karenanya,
mengagungkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam adalah bagian dari
mengagungkan syiar-syiar agama Allah Ta'ala. Sebagaimana difirmankan
oleh Allah Ta'ala,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
"Demikianlah
(perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (QS. Al-Hajj [22]: 32)
***
Tuntunan Islam dalam menyikapi pelecehan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa salam
Islam
memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan
dan caci makian kepada Allah Ta'ala dan agama Islam. Sebab, Allah
Ta'ala-lah Yang telah mengutus beliau sebagai penutup seluruh nabi dan
rasul dengan membawa agama Islam.
Demikian
pula penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada agama Islam sama
artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta'ala
dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Tentu saja, penghinaan,
pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta'ala juga merupakan penghinaan,
pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
salam dan agama Islam.
Allah
Ta'ala, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam dan agama Islam adalah
tiga hal yang saling berkait erat dan tidak bisa dipisahkan. Ketiganya
wajib diagungkan oleh seorang muslim. Penghinaan, pelecehan dan caci
makian kepada salah satunya berarti penghinaan, pelecehan dan caci
makian kepada dua perkara lainnya.
Seorang
muslim akan mengikuti tuntunan Al-Qur'an, as-sunnah dan ijma' ulama
dalam menyikapi tindakan dan orang yang melakukan penghinaan, pelecehan
dan caci makian kepada Allah Ta'ala, atau Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa salam atau agama Islam. Lantas bagaimana Al-Qur'an, as-sunnah dan
ijma' ulama memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah
Ta'ala, atau Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam atau agama Islam?
Dalil-dalil Al-Qur'an
Ayat-ayat
Al-Qur'an secara tegas telah menerangkan bahwa orang yang menghina,
melecehkan dan mencaci maki Allah Ta'ala, atau Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam atau agama Islam adalah orang yang kafir murtad jika
sebelumnya ia adalah seorang muslim. Kekafiran orang tersebut adalah
kekafiran yang berat, bahkan lebih berat dari kekafiran orang kafir asli
seperti Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik.
Adapun
jika sejak awal ia adalah orang kafir asli, maka tindakannya menghina,
melecehkan dan mencaci maki Allah Ta'ala, atau Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam atau agama Islam tersebut telah menempatkan dirinya
sebagai gembong kekafiran dan pemimpin orang kafir. Di antara dalil dari
Al-Qur'an yang menegaskan hal ini adalah:
[1] Firman Allah Ta'ala:
)
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي
دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ
لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ (
"Jika
mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan
mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin
orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang
yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti." (QS. At-Taubah [9]: 12)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebut orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam sebagai aimmatul kufri,
yaitu pemimpin-pemimpin orang-orang kafir. Jadi ia bukan sekedar kafir
biasa, namun gembong orang-orang kafir. Tentang hal ini, imam Al-Qurthubi berkata,
"Barangsiapa membatalkan perjanjian damai dan mencerca agama Islam
niscaya ia menjadi pokok dan pemimpin dalam kekafiran, sehingga berdasar
ayat ini ia termasuk jajaran pemimpin orang-orang kafir." (Al-Jami' li-Ahkamil Qur'an, 8/84)
Imam Al-Qurthubi berkata,
"Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya membunuh setiap
orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir. Mencerca (ath-tha'nu)
adalah menyatakan sesuatu yang tidak layak tentang Islam atau menentang
dengan meremehkan sesuatu yang termasuk ajaran Islam, karena telah
terbukti dengan dalil yang qath'i atas kebenaran pokok-pokok ajaran
Islam dan kelurusan cabang-cabang ajaran Islam.
Imam Ibnu Al-Mundzir berkata,
"Para ulama telah berijma' (bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki
Nabi shallallahu 'alaihi wa salam harus dibunuh. Di antara yang
berpendapat demikian adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa'ad),
Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi
pendapat imam Syafi'i." (Al-Jami' li-Ahkamil Qur'an, 8/82)
Imam Ibnu Katsir berkata, "Makna firman Allah mereka mencerca agama kalian adalah
mereka mencela dan melecehkan agama kalian. Berdasar firman Allah ini
ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci maki Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa salam atau mencerca agama Islam atau menyebutkan
Islam dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya
mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar
supaya mereka berhenti, maksudnya mereka kembali dari kekafiran, penentangan dan kesesatan mereka." (Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, 4/116)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Allah Ta'ala menamakan mereka pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
karena mereka mencerca agama Islam…Maka telah tetaplah bahwa setiap
orang yang mencerca agama Islam adalah pemimpin orang-orang kafir. Jika
seorang kafir dzimmi mencerca agama Islam maka ia telah menjadi seorang
pemimpin bagi orang-orang kafir, ia wajib dibunuh berdasar firman Allah
Ta'ala "maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu".(Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 17)
Beliau
juga mengatakan: "Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci maki
Rasul-Nya adalah kekafiran secara lahir dan batin. Sama saja apakah
orang yang mencaci maki itu meyakini caci makian itu sebenarnya haram
diucapkan, atau ia meyakini caci makian itu boleh diucapkan, maupun caci
makian itu keluar sebagai kecerobohan bukan karena keyakinan. Inilah
pendapat para ulama fiqih dan seluruh ahlus sunnah yang menyatakan bahwa
iman adalah ucapan dan perbuatan." (Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 512)
Beliau
juga mengatakan: "Jika orang yang mencaci maki (Allah Ta'ala) tersebut
adalah seorang muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar ijma'
(kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan ia
lebih buruk dari orang kafir asli. Seorang kafir asli sekalipun akan
mengagungkan Rabb dan meyakini agama batil yang ia anut tersebut
bukanlah sebuah olok-olokan dan caci makian kepada Allah Ta'ala." (Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 546)
[2]. Firman Allah Ta'ala:
)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ
طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (
"Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?"
Tidak
usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian
beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka
tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan
mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
Tentang sebab turunnya ayat ini, para ulama tafsir seperti imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir dan Jalaluddin As-Suyuthi telah
meriwayatkan hadits dari lbnu Umar, Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam
dan Qatadah bahwa dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, "Kita
belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini.
Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan
lebih pengecut dalam peperangan." Para ahli baca Al-Qur'an yang
mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: "Bohong kau. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam."
Auf
bin Malik segera menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
melaporkan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu
Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) telah turun kepada beliau.
Ketika
orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan
menaiki untanya. Maka orang itu berkata kepada Rasulullah: "Wahai
Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan mengobrol
sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk menghilangkan
kepenatan dalam perjalanan jauh kami."
Ibnu
Umar berkata, "Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakinya
tersandung-sandung batu sambil berkata: "Sebenarnya kami hanya
bersenda-gurau dan bermain-main saja."
Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam balik bertanya kepadanya: "Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. (Jami'ul
Bayan fi Ta'wili Ayyil Qur'an, 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi Hatim,
6/1829-1830 dan Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur, 4/230-231)
Ayat
di atas menegaskan bahwa orang tersebut menjadi orang kafir murtad,
padahal sebelumnya ia seorang muslim yang beriman, karena ia mengucapan
olok-olokan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam dan para
sahabat. Padahal olok-olokan tersebut menurut pengakuannya sekedar
gurauan dan obrolan biasa sekedar pengusir kepenatan dalam perjalanan
jauh perang Tabuk. Maka bagaimana lagi dengan caci makian, pelecehan dan
ejekan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa salam secara terang-terangan?
Tak diragukan lagi, hal tersebut merupakan kemurtadan dan kekafiran.
Imam Abu Bakar Al-Jashash Al-Hanafi berkata,
"Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bercanda dan orang yang serius
itu hukumnya sama saat ia mengucapkan kalimat kekufuran secara
terang-terangan tanpa adanya paksaan (siksaan berat terhadapnya untuk
mengucapkannya). Karena orang-orang munafik tersebut menyatakan bahwa
ucapan yang mereka ucapkan tersebut hanyalah sendau gurau belaka. Maka
Allah memberitahukan kepada mereka bahwa mereka telah kafir dengan
sendau gurauan mereka itu.
Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri dan Qatadah bahwa orang-orang tersebut mengatakan dalam perang Tabuk: "Apakah
orang ini (nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam) berharap bisa
menaklukkan istana-istana dan benteng-benteng di negeri Syam? Mustahil,
mustahil."
Maka
Allah memberitahukan bahwa ucapan tersebut adalah sebuah kekafiran
mereka, baik mereka mengucapkannya dengan bercanda maupun serius. Maka
ayat ini menunjukkan kesamaan hukum (kekafiran) atas orang yang
mengucapkan kalimat kekufuran secara terang-terangan, baik ia bercanda
maupun serius. Ayat ini juga menunjukkan bahwa mengolok-olok ayat-ayat
Allah atau sebagian dari syariat (ajaran) agama-Nya menyebabkan
pelakunya kafir." (Ahkamul Qur'an, 4/348-349)
Dari
ayat di atas dan uraian sebab turunnya ayat tersebut, bisa diketahui
bahwa Allah Ta'ala menganggap olok-olokan terhadap Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa salam atau olok-olokan terhadap generasi sahabat
sebagai olok-olokan terhadap Allah Ta'ala dan ayat-ayat Allah Ta'ala.
Hal itu karena Allah Ta'ala dalam banyak ayat Al-Qur'an telah memuji dan
meridhai generasi sahabat (lihat misalnya QS. Al-Fath [48]: 18 dan 29,
At-Taubah [9]: 110 dan Al-Hasyr [59]: 8-10). Mengolok-olok Nabi
shallallahu 'alaihi wa salam atau generasi sahabat berarti melecehkan,
meremehkan dan mendustakan ayat-ayat Al-Qur'an tersebut; sekaligus
melecehkan, meremehkan dan mendustakan Allah Ta'ala yang telah
menurunkan ayat-ayat tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa mengolok-olok Allah atau
ayat-ayat-Nya atau rasul-Nya adalah perbuatan kekafiran. Sehingga
mencaci maki lebih layak untuk menjadi perbuatan kekafiran. Ayat ini
telah menunjukkan bahwa setiap orang yang melecehkan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa salam,secara serius maupun bercanda, adalah orang
yang telah kafir." (Majmu' Fatawa, 7/272)
[3] Firman Allah Ta'ala:
) يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ (
"Mereka
(orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka
tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah
mengucapkan perkataan kekafiran, dan mereka telah menjadi kafir sesudah
Islam." (QS. At-Taubah [9]: 74)
Para
ulama tafsir menyebutkan sejumlah riwayat tentang sebab turunnya ayat
ini. Di antaranya riwayat yang menyebutkan bahwa ketika pada perang
Tabuk banyak ayat Al-Qur'an yang turun membongkar kebusukan orang-orang
munafik dan mencela mereka, maka Julas bin Suwaid bin Shamit dan Wadi'ah
bin Tsabit berkata: "Jika
memang Muhammad benar atas (ayat-ayat Al-Qur'an yang turun mencela)
saudara-saudara kita, sementara saudara-saudara kita adalah para
pemimpin dan orang-orang terbak di antara kita, tentulah kita ini lebih
buruk dari seekor keledai."
Mendengar ucapan kedua orang itu, sahabat Amir bin Qais berkata, "Tentu
saja, demi Allah, Muhammad itu orang yang berkata benar dan ucapannya
dibenarkan, dan sungguh engkau ini lebih buruk dari seekor keledai."
Amir
bin Qais lalu melaporkan ucapan kedua orang itu kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa salam. Julas bin Suwaid segera mendatangi Nabi shallallahu
'alaihi wa salam dan bersumpah dengan nama Allah bahwa Amir telah
berbohong. Amir pun balas bersumpah bahwa Julas telah benar-benar telah
mengucapkan ucapan yang dilaporkan tersebut. Amir berdoa, "Ya Allah,
turunkanlah sebuah wahyu kepada nabi-Mu." Ternyata Allah kemudian
menurunkan ayat tersebut.
Riwayat
lain menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin
Ubay bin Salul yang mengatakan, "Perumpamaan kita dengan Muhammad tidak
lain seperti perkataan "Gemukkanlah anjingmu, niscaya ia akan
memakanmu!" Jika kita telah kembali ke Madinah, niscaya orang yang mulia
di antara kita (yaitu kelompok kita) akan mengusir orang yang hina
(Muhammad dan para sahabatnya)."
Perkataan
ini didengar oleh sebagian sahabat dan dilaporkan kepada kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa salam. Maka Abdullah bin Ubay bin Salul
tergopoh-gopoh mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa salam dan
bersumpah tidak mengucapkan ucapan tersebut. Maka turunlah ayat
tersebut. (Fathul Qadir, 2/436 dan Al-Jami' li-Ahkamil Qur'an, 8/206)
Riwayat
manapun yang lebih kuat, semuanya menunjukkan bahwa orang-orang
tersebut divonis kafir murtad setelah beriman, disebabkan ucapan mereka
yang bernada olok-olokan dan merendahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa
salam. Hal ini menunjukkan bahwa caci makian dan pelecehan secara
terang-terangan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa salam lebih berat
kekafirannya, sehingga menjadikan pelakunya kafir murtad setelah
beriman.
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata, "Maksud dari firman Allah Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran" adalah perkataan-perkataan (olok-olokan) yang disebutkan dalam beragam riwayat tadi. Adapun maksud dari firman Allah "dan mereka telah menjadi kafir sesudah Islam" adalah
mereka menjadi kafir dengan ucapan tersebut setelah sebelumnya mereka
menampakkan keislaman, jika sebelumnya dalam hati mereka kafir.
Maknanya, mereka melakukan perkara yang menyebabkan kekafiran mereka,
jika keislaman mereka dianggap sah." (Fathul Qadir, 2/436).
Imam Al-Qurthubi berkata: "Imam Al-Qusyairi menyatakan: "Makna dari perkataan kekafiranadalah mencaci maki Nabi shallallahu 'alaihi wa salam dan mencerca agama Islam. Adapun makna dari "dan mereka telah menjadi kafir sesudah Islam" adalah mereka menjadi kafir setelah mereka dianggap sebagai orang-orang Islam." (Al-Jami' li-Ahkamil Qur'an, 8/206)
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri berkata:
"Kesimpulannya barangsiapa mengucapkan ucapan kekafiran baik secara
sendau gurau maupun bermain-main, niscaya ia telah kafir menurut semua
ulama, tanpa mempertimbangkan keyakinan dia. Hal ini seperti telah
ditegaskan dalam kitab Al-Fatawa Al-Khaniyah dan Raddul Mukhtar." (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 59)
[4]. Firman Allah Ta'ala:
)
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ
اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ
حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ
اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً (
"Dan
sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu wahyu di dalam Al-Qur'an
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.Karena sesungguhnya kalau kamu tetap duduk bersama mereka, tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam neraka Jahanam." (QS. An-Nisa' [4]: 140)
Ayat
ini menunjukkan kekafiran orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah
Ta'ala dan juga menunjukkan kekafiran orang yang duduk-duduk bersama
orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, mendengarkan dan
mendiamkan saja olok-olokan mereka tersebut. Ayat ini memvonis orang
yang duduk bersama dan mendengarkan olok-olokan tersebut sebagai orang
kafir, meskipun ia tidak ikut mengolok-olok. Tentu saja orang yang
mencaci maki dan melecehkan Allah, ayat-ayat-Nya, rasul-Nya atau ajaran
agama-Nya lebih jelas lagi kekafirannya.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh berkata,
"Makna ayat ini adalah sesuai zhahirnya. Yaitu, jika seseorang
mendengarkan ayat-ayat Allah dikufuri dan diperolok-olokkan (oleh
orang-orang kafir), lalu ia duduk-duduk bersama orang-orang kafir yang
mengolok-olok tersebut padahal ia tidak dipaksa untuk duduk mendengarkan
(melalui siksaan yang berat) dan ia pun tidak melakukan pengingkaran
serta tidak beranjak meninggalkan mereka sampai mereka membicarakan
urusan lainnya; niscaya ia telah kafir seperti orang-orang kafir
tersebut. Meskipun ia tidak melakukan seperti perbuatan mereka, karena
sikapnya (duduk, diam dan mendengarkan) tersebut mengandung makna ridha
dengan kekafiran, sementara ridha dengan kekafiran merupakan sebuah
kekafiran.
Jika
ia mengklaim bahwa ia membencinya dengan hatinya, niscaya klaim
tersebut tidak bisa diterima, karena penilaian didasarkan kepada aspek
lahiriah dirinya. Sementara ia telah menampakkan kekafiran, sehingga ia
pun menjadi orang kafir." (Majmu'atut Tauhid, hlm. 48)
Imam Al-Qurthubi berkata:
"Barangsiapa tidak menjauhi mereka, berarti ia rela dengan perbuatan
mereka. Sementara rela dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran. Maka
barangsiapa duduk dalams ebuah majlis kemaksiatan dan ia tidak
mengingkari perbuatan mereka, niscaya dosanya sama dengan dosa mereka.
Jika ia tidak mampu mengingkari mereka, maka ia selayaknya beranjak
pergi agar tidak termasuk dalam golongan yang terkena ayat ini." (Al-Jami' fi Ahkamil Qur'an, 5/418)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi'i dalam kitabnya, Al-I'lam bi-Qawathi'il Islam pada bahasan kekufuran yang disepakati oleh para ulama, mengutip dari kitab para ulama madzhab Hanafi yang menyebutkan: "Barangsiapa
mengucapkan ucapan kekafiran, maka ia telah kafir. Setiap orang yang
menganggap baik ucapa kekafiran tersebut atau rela dengannya juga telah
kafir."
Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi'i juga mengutip dari kitab Al-Bahr bahwa
seseorang yang secara sukarela mengucapkan ucapan kekafiran sementara
hatinya masih meyakini keimanan, maka status dirinya adalah ia telah
kafir dan di sisi Allah ia bukanlah orang yang beriman. Demikian pula
disebutkan dalam Fatawa Qadhi Khan, Al-Fatawa Al-Hindiyah dan Jami'ul
Fushulain." (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 59)
***
Dalil-dalil dari as-sunnah
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam diutus sebagai rahmatan lil 'alamien. Beliau
terkenal luas sebagai seorang yang sabar, santun, pemaaf, dan
penyayang. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah pelaksanaan dari
wahyu Al-Qur'an. Beliau adalah "Al-Qur'an yang berjalan". Seluruh ucapan
dan perbuatan beliau adalah akhlak mulia yang wajib dicontoh oleh kaum
muslimin.
Lantas
bagaimana teladan ucapan dan perbuatan Nabi shallalalhu 'alaihi wa
salam dalam menyikapi orang-orang yang mencaci maki, melecehkan dan
mengolok-olok Allah atau ajaran Islam atau diri beliau sendiri?
Jawabannya bisa kita dapatkan dari hadits-hadits shahih berikut ini:
[1] Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقَعُ فِيهِ،
فَيَنْهَاهَا، فَلَا تَنْتَهِي، وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ، قَالَ:
فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ، جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَشْتُمُهُ، فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ
فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا، فَوَقَعَ بَيْنَ
رِجْلَيْهَا طِفْلٌ، فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ،
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang laki-laki buta
yang memiliki seorang budak perempuan yang hamil dari hubungan dengannya
(ummu walad).
Budak perempuan itu biasa mencaci maki dan merendahkan Nabi shallallahu
'alaihi wa salam. Sebagai tuan, laki-laki buta itu telah memperingatkan
budak perempuannya untuk menghentikan perbuatan buruknya itu, namun
perempuan itu tidak mau menuruti peringatannya. Laki-laki buta itu telah
memerintahkan budak perempuannya menghentikan perbuatan buruknya itu,
namun perempuan itu tidak mau berhenti.
Pada
suatu malam, budak perempuan itu kembali mencaci maki Nabi shallallahu
'alaihi wa salam. Maki laki-laki buta itu mengambil belati dan
menusukkannya ke perut perempuan serta menekannya dengan kuat sampai
budak perempuan itu tewas. Tiba-tiba seorang bayi laki-laki keluar dari
perut perempuan itu di antara kedua kakinya, dan darahnya menodai
ranjang.
فَلَمَّا
أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَجَمَعَ النَّاسَ فَقَالَ: «أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ
مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ»، فَقَامَ الْأَعْمَى
يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ يَدَيِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، كَانَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ،
فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي، وَأَزْجُرُهَا، فَلَا تَنْزَجِرُ، وَلِي
مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ، وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً،
فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ،
فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأْتُ
عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ»
Keesokan
paginya, berita pembunuhan terhadap budak perempuan yang hamil itu
dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Maka beliau
mengumpulkan para sahabat dan bersabda, "Aku bersumpah dengan nama Allah, hendaknya orang yang melakukan pembunuhan itu berdiri sekarang juga memenuhi panggilanku!"
Maka
laki-laki yang buta itu berdiri, berjalan di antara orang-orang dan
maju ke depan sehingga ia bisa duduk di depan Nabi shallallahu 'alaihi
wa salam. Laki-laki itu berkata: "Wahai Rasulullah, akulah yang telah membunuhnya. Dia
selalu mencaci maki dan merendahkan Anda. Aku telah memperingatkannya,
namun ia tidak mau peduli. Aku telah melarangnya, namun ia tidak mau
berhenti. Aku memiliki dua orang anak seperti intan pertama darinya. Ia
adalah kawan hidupku. Ketika tadi malam ia kembali mencaci maki dan
merendahkan Anda, maka aku pun mengambil belati, menusukkan ke perutnya
dan menekannya dengan kuat sampai ia tewas."
Mendengar pengakuan laki-laki buta itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Hendaklah kalian semua menjadi saksi, bahwa darah perempuan itu telah sia-sia." (HR. Abu Daud no. 4361, An-Nasai no. 4070, Al-Baihaqi no. 13375, sanadnya dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Imam Syamsul Haq 'Azhim Abadi berkata: "Beliau bersabda "darah perempaun itu telah sia-sia" barangkali
karena berdasar wahyu, beliau telah mengetahui kebenaran pengakuan
laki-laki itu. Hadits ini menunjukkan bahwa jika orang kafir dzimmi
tidak menahan lisannya dari (mencaci maki atau melecehkan) Allah dan
rasul-Nya, niscaya ia tidak memiliki dzimmah (jaminan keamanan bagi
orang kafir dzimmi) sehingga ia halal dibunuh. Demikian dikatakan oleh
imam (Muhammad Hayat) As-Sindi
Imam
Al-Mundziri berkata: Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai. Hadits
ini menunjukkan bahwa orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati.
Dikatakan
(oleh para ulama): Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika orang yang
mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum mati.
Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang
kafir dzimmi. Imam Syafi'i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan
dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum
mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari
dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki
Nabi shallallahu 'alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka
ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam. Demikian penjelasan
dari imam Al-Mundziri. ('Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Hadits ini merupakan dalil yang tegas tentang bolehnya membunuh
perempuan tersebut karena ia telah mencaci maki Nabi shallallahu 'alaihi
wa salam. Tentu saja, hadits ini juga menjadi dalil lebih bolehnya
membunuh orang kafir dzimmi dan membunuh seorang muslim atau muslimah
yang mencaci maki Nabi shallallahu 'alaihi wa salam."(Ash-Sharimul Maslul 'Ala Syatimir Rasul, hlm. 62)
[2] Hadits Jabir bin Abdullah tentang kisah pembunuhan terhadap pemimpin Yahudi, Ka'ab bin Asyraf:
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ،
فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ»، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ
مَسْلَمَةَ: أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
«نَعَمْ»،
Dari
Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu
alaihi wa salam bersabda, "Siapakah yang mau "membereskan" Ka'ab bin
Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya." Muhammad
bin Maslamah bertanya, "Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai
Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ya"…" (HR. Bukhari no. 3031 dan Muslim no. 1801)
Imam
Bukhari telah menyebutkan kisah pembunuhan Ka'ab bin Asyraf tersebut
dalam beberapa hadits (no. 2510, 3031, 4037). Kisah pembunuhan oleh regu
suku Aus tersebut juga disebutkan dalam semua kitab sirah nabawiyah
(sejarah hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa salam).
[3]
Hadits Barra' bin Azib tentang kisah satu regu suku Khazraj yang diutus
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam untuk membunuh tokoh
Yahudi Khaibar, Abu Rafi' Salam bin Abil Huqaiq karena ia sering mencaci
maki dan melecehkan Nabi shallallahu 'alaihi wa salam.
Hadits
tersebut diriwayatkan beberapa kali oleh imam Bukhari dalam kitab
shahihnya dan kisahnya juga disebutkan dalam semua kitab sirah
nabawiyah. Di antara lafal hadits tersebut dalam shahih Bukhari adalah
sebagai berikut:
عَنِ
البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي رَافِعٍ اليَهُودِيِّ رِجَالًا مِنَ
الأَنْصَارِ، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَتِيكٍ، وَكَانَ
أَبُو رَافِعٍ يُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيُعِينُ عَلَيْهِ، وَكَانَ فِي حِصْنٍ لَهُ بِأَرْضِ الحِجَازِ
Dari
Barra' bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam
mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin Yahudi,
Abu Rafi'. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mengangkat Abdullah
bin Atik sebagai komandan regu untuk tugas tersebut. Abu Rabi' adalah
pemimpin Yahudi yang sering menyakiti dan memusuhi beliau. Ia tinggal di
sebuah benteng miliknya di daerah Hijaz…" (HR. Bukhari no. 4039, Al-Baihaqi no. 18100)
عَنِ
البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «بَعَثَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَهْطًا إِلَى أَبِي
رَافِعٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَتِيكٍ بَيْتَهُ لَيْلًا
وَهُوَ نَائِمٌ فَقَتَلَهُ»
Dari
Barra' bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam
mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin Yahudi,
Abu Rafi'. Maka Abdullah bin Atik memasuki (benteng dan rumah) Abu
rafi' pada malam hari saat ia tengah terlelap tidur, maka Abdullah bin
Atik pun segera membunuhnya." (HR. Bukhari no. 4038, Al-Baihaqi no. 18100)
Imam
Bukhari memasukkan hadits-hadits kisah pembunuhan Abu Rafi' Al-Yahudi
tersebut dalam bab "membunuh orang musyrik yang sedang tidur" (no.
hadits 3022 dan 3023) dan bab "pembunuhan atas Abu Rafi' Abdullah bin
Abil Huqaiq" (no. hadits 4038, 4039, 4040). Kisah pembunuhan atas Abu
Rafi' Al-Yahudi juga diriwayatkan oleh imam Abdur Razzaq Ash-Shan'ani,
Al-Baihaqi, Abu Ya'la Al-Maushili, Ath-Thabarani dan lain-lain dari
jalur Abdullah bin Atik, Abdullah bin Unais dan Abdurrahman bin Abdullah
bin Ka'ab.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,
"Hadits ini menunjukkan kebolehan membunuh orang-orang mereka (kafir)
yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Abu Rafi'
adalah orang yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
salam dan ia memprokovasi manusia untuk hal itu." (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/156)
***
Sikap para khulafa' rasyidin dan generasi sahabat
[1] Imam Saif bin Umar At-Tamimi dalam kitab Ar-Riddah wal Futuh menyebutkan
bahwa ada dua orang wanita yang ditangkap dan dihadapkan kepada Muhajir
bin Abi Rabi'ah, gubernur wilayah Yamamah dan sekitarnya. Wanita
pertama menyanyikan lagu caci makian kepada Nabi shallallahu aIaihi wa
salam. Wanita kedua menyanyikan lagu caci makian kepada kaum muslimin.
Maka Muhajir bin Abi Umayyah menjatuhkan hukuman potong tangan dan
pencabutan gigi seri kedua wanita tersebut.
Ketika
berita itu sampai kepada khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, maka khalifah
segera menulis surat kepada Muhajir bin Abi Rabi'ah tentang wanita yang
menyanyikan lagu cacian kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam,
لولا ما سبقتني فيها لأمرتك بقتلها، لأن حد الأنبياء ليس يشبه الحدود، فمن تعاطى ذلك من مسلم فهو مرتد أو معاهد فهو محارب غادر
"Seandainya
engkau tidak mendahuluiku menjatuhkan hukuman kepada wanita itu,
tentulah aku akan memerintahkanmu untuk membunuh wanita itu. Sebab hukuman
(mencaci maki) para nabi tidak sama dengan hukuman-hukuman lainnya.
Jika caci makian kepada nabi itu diucapkan oleh seorang muslim, maka ia
telah murtad. Dan jika caci makian kepada nabi itu diucapkan oleh
seorang kafir yang terlibat perjanjian damai maka ia telah menjadi orang
yang memerangi Islam dan mencederai perjanjian damai secara sepihak." (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 104 dan Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimir Rasul, hlm. 200)
[2].
Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata:
"Seorang laki-laki yang mencaci maki Nabi shallallahu aIaihi wa salam
dihadapkan kepada khalifah Umar bin Khathab, maka khalifah membunuhnya.
Khalifah Umar berkata:
من سب الله أو سب أحدا من الأنبياء فاقتلوه
"Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia!"(Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 104 dan Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimir Rasul, hlm. 201)
[3].
Hukuman mati untuk orang-orang yang mencaci maki Nabi shallallahu
'alaihi wa salam juga diriwayatkan dari perkataan para ulama sahabat
seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan para komandan perang dan gubernur
di kalangan sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Khalid bin Walid dan
Amru bin Ash radhiyallahu 'anhum. (Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimir Rasul, hlm. 202-205)
[4].
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: "Ia harus dibunuh, karena orang
yang mencaci maki Nabi shallallahu 'alaihi wa salam telah murtad dari
Islam, dan seorang muslim tidak akan mencaci Nabi shallallahu 'alaihi wa
salam." (Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimir Rasul, hlm. 5)
***
Pendapat para ulama madzhab
[1] Madzhab Hanafi
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hanafi berkata:
"Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi
shallallahu 'alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati. Imam Ath-Thabari
juga mengutip pendapat dari imam Abu Hanifah dan murid-muridnya tentang
kemurtadan orang yang melecehkan Nabi shallallahu 'alaihi wa salam, atau
berlepas diri dari beliau atau menuduh beliau berdusta." (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
[2]. Madzhab Maliki
Imam Muhammad bin Sahnun Al-Maliki berkata:
"Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi
shallallahu 'alaihi wa salam dan melecehkan beliau adalah orang yang
kafir, dan barangsiapa meragukan kekafirannya dan bahwa ia diadzab
niscaya telah kafir pula."(Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
Al-Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshibi Al-Maliki berkata:
"Tidak ada perbedaan pendapat bahwa orang yang mencaci maki Allah
Ta'ala dari kalangan kaum muslimin telah menjadi orang kafir yang halal
darahnya. Demikian pula orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa salam sengaja berdusta dalam menyampaikan atau mengabarkan
wahyu, atau ia meragukan kejujuran beliau, atau ia mencaci maki beliau,
atau ia mengatakan bahwa beliau belum menyampaikan wahyu, atau ia meremehkan beliau atau meremehkan salah seorang nabi lainnya, atau ia mengejek mereka, atau ia menyakiti mereka, atau ia membunuh seorang nabi, atau ia memerangi seorang nabi, maka ia telah kafir berdasar ijma' ulama." (Asy-Syifa fit Ta'rif bi-Huquqil Musthafa, hlm. 582)
[3]. Madzhab Syafi'i
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi Asy-Syafi'i berkata,
"Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorang muslim
pun tentang kewajiban membunuhnya (orang yang mencaci maki nabi)." (Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)
Imam Abu Bakr Al-Farisi dari
kalangan ulama madzhab Syafi'i telah menyebutkan ijma' seluruh kaum
muslimin bahwa hukuman untuk orang yang mencaci maki Nabi shallallahu
'alaihi wa salam adalah hukuman mati. (Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)
Imam Ibnu Al-Mundzir Asy-Syafi'i berkata,
"Para ulama telah berijma' (bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki
Nabi shallallahu 'alaihi wa salam harus dibunuh. Di antara yang
berpendapat demikian adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa'ad),
Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi
pendapat imam Syafi'i." (Al-Jami' li-Ahkamil Qur'an, 8/82)
Imam Al-Mundziri Asy-Syafi'i berkata: "Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum mati.
Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang
kafir dzimmi. Imam Syafi'i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan
dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum
mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari
dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki
Nabi shallallahu 'alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka
ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam." ('Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)
[4]. Madzhab Hambali
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
"Barangsiapa mencaci maki Nabi shallallahu 'alaihi wa salam atau
melecehkan beliau, baik ia orang muslim atau orang kafir, maka ia wajib
dibunuh. Aku berpendapat ia dijatuhi hukuman mati dan tidak perlu diberi
tenggang waktu untuk bertaubat."(Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 4)
Imam Ishaq bin Rahawaih berkata:
"Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa mencaci maki Allah
atau mencaci maki Rasul-Nya atau menolak sebagian wahyu yang Allah
turunkan atau membunuh salah seorang nabi yang diutus Allah, maka ia
telah kafir dengan perbuatannya itu sekalipun ia mengakui seluruh wahyu
yang Allah turunkan." (Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 3)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
"Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya adalah
kekafiran secara lahir dan batin. Sama saja apakah orang yang mencaci
maki itu meyakini caci makian itu sebenarnya haram diucapkan, atau ia
meyakini caci makian itu boleh diucapkan, maupun caci makian itu keluar
sebagai kecerobohan bukan karena keyakinan. Inilah pendapat para ulama
fiqih dan seluruh ahlus sunnah yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan
dan perbuatan." (Ash-Sharim Al-Mashlul 'ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 512)
[5] Madzhab Zhahiri
Imam Muhammad bin Hazm Azh-Zhahiri berkata:
"Berdasar dalil-dalil yang kami uraikan di atas maka benarlah bahwa
setiap orang yang mencaci maki Allah atau mengolok-olok Allah, atau
mencaci maki seorang malaikat atau mengolok-oloknya, atau atau mencaci
maki seorang nabi atau mengolok-oloknya, atau mencaci maki sebuah ayat
Allah atau mengolok-oloknya, padahal semua ajaran syariat Islam dan
seluruh ayat Al-Qur'an adalah bagian dari ayat Allah, niscaya ia telah
kafir murtad, atas dirinya harus diterapkan hukuman bagi seorang murtad.
Inilah pendapat yang kami pegangi." (Al-Muhalla, 12/438)
***
Logika iman dan logika kekuasaan
Inilah
tuntunan Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an, tuntunan Nabi shallallahu
'alaihi wa salam dalam hadits shahih, tuntunan khulafaur rasyidin dan
pendapat seluruh ulama Islam dari seluruh madzhab di kalangan ahlus
sunnah dalam menyikapi orang-orang yang melecehkan, mengejek,
merendahkan, mengolok-olok atau mencaci maki Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa salam.
Kita
bersyukur bahwa kaum muslimin di Benghazi, Libya, telah memberikan
contoh keteladanan bagi kaum muslimin sedunia dalam membela kehormatan
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam. Semoga kaum muslimin lainnya
bisa membuktikan pembelaannya kepada kehormatan Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa salam yang dilecehkan oleh orang-orang Yahudi,
Nasrani dan orang-orang kafir lainnya.
Orang-orang
Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya pasti tidak akan pernah
berhenti melecehkan, mengejek, mengolok-olok dan mencaci maki Nabi
shallallahu 'alaihi wa salam. Secara lahiriah, mulut mereka mengatas
namakan "kebebasan seni, kebebasan berekspresi, demokrasi dan HAM.
Adapun seca batin, isi hati mereka telah ditelanjangi oleh Allah Ta'ala
dengan firman-Nya,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا
يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ
مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا
لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil menjadi teman
kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalanganmu (yaitu
orang-orang kafir) karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan
kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh
hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya." (QS. Ali Imran [3]: 118)
Firman
Allah di atas sangat jelas dan begitu mudah dipahami. Seorang muslim
yang mengimani Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa salam dan merindukan syafaatnya kelak di hari kiamat sudah
tentu akan berpikir dengan logika keimanan. Mereka akan bangkit
memberikan pembelaan dengan waktu, tenaga, pikiran, harta dan bahkan
nyawa mereka manakala kehormatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam
dilecehkan.
Adapun
para politikus yang sibuk mencari kursi kekuasaan atau rakus
mempertahankan kursi kekuasaan akan berpikir dengan logika politik.
Mereka rela jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam dilecehkan.
Bagi mereka, pelecehan itu masalah kecil belaka, lupakan saja, tak perlu
dipikirkan, tak perlu marah. Bagi mereka, pelecehan itu tidak ada
kaitannya dengan keimanan dan keislaman sama sekali.
Mereka
tak akan melakukan pembelaan karena khawatir tuan besar AS dan Barat
marah. Mereka khawatir jika media massa internasional yang dikendalikan
Yahudi dan Nasrani melabeli mereka dengan label "muslim fundamentalis",
"muslim ekstrimis", atau bahkan "muslim teroris". Mereka khawatir jika
dituding "anti HAM", "anti demokrasi", "anti kebebasan berkespresi",
atau "anti kebebasan seni". Mereka khawatir jika dikeluarkan dari
kelompok elit "muslim moderat".
Bagi
mereka, tidak apa-apa kehormatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
salam dilecehkan, asal bukan presiden, mentri, DPR/MPR, partai politik
kita atau organisasi massa kita yang dilecehkan. Bagi mereka, tidak
apa-apa kehormatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam dilecehkan asalkan "kursi" kita tidak hilang, asalkan konstituen kita tidak hilang. Na'udzu billah min dzalika!!!
0 komentar: