Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang
yang sabar. Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu
menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu
menyaksikannya (TQS Ali Imran [3]: 142-143).
Masuk surga merupakan harapan setiap
orang Mukmin. Namun harapan saja tentu tidak cukup. Agar bisa terwujud,
diperlukan upaya yang bisa mengantarkan seseorang bisa masuk surga.
Inilah yang diingatkan ayat ini. Janganlah seseorang mengira masuk surga
sebelum terbukti berjihad di jalan-Nya dan menjadi orang yang sabar.
Berjihad dan Bersabar
Allah SWT berfirman: Am hasibtum an tad-hulû al-jannah (apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga). Kandungan ayat ini masih
melanjutkan ayat sebelumnya (ayat 140-141) yang memberikan penjelasan
terhadap kaum Muslimin seputar kekalahan mereka dalam Perang Uhud. Jika
mereka kalah, kekalahan serupa juga pernah diderita kaum kafir kafir.
Kekalahan dan kemenangan itu dipergilirkan Allah SWT di antara manusia.
Kekalahan yang menimpa kaum Muslim itu dijadikan sebagai ujian bagi
keimanan mereka. Juga untuk menjadikan sebagian di antara mereka gugur
menjadi syahid. Ditegaskan pula bahwa Allah SWT tidak mencintai
orang-orang zalim. Itu artinya, ketika kemenangan dipergilirkan kepada
kaum zalim, bukan lantaran Allah SWT mencintai mereka. Kemudian juga
dinyatakan (ayat 141) bahwa pergiliran kemenangan dan kekalahan itu
adalah untuk membersihkan dosa kaum Mukmin dan membinasakan kaum kafir.
Bertolak dari konteks ayat tersebut,
al-Alusi menyimpulkan bahwa seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang
yang kalah dalam perang Uhud tersebut. Meski cocok untuk mereka, tentu
bukan hanya ditujukan kepada mereka. Sebab, lafadz ayat ini bersifat
umum, sehingga cakupannya pun berlaku umum.
Kata hasibtum dalam ayat ini bermakna zhanantum (kamu mengira). Sedangkan kata am di awalnya berarti bal. Menurut sebagian ulama, huruf al-mîm itu merupakan zâidah (tambahan), sehingga artinya ahasibtum (apakah kamu mengira?). Demikian al-Qurthubi dalam tafsirnya. Dinyatakan juga al-Syaukani dan al-Alusi, hamzah al-sitifhâm tersebut li al-inkâr (kalimat tanya retoris yang bermakna pengingkaran). Sehingga frasa tersebut bermakna: Bahkan
tidak semestinya bagi kalian mengira akan masuk surga dan memperoleh
kenikmatan di dalamnya beserta semua yang disediakan Allah SWT untuk
hamba-Nya.
Kemudian ditegaskan: wa lammâ ya’lamil-Lâh al-ladzîna jâhadû minkum(padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu). Hurufal-wâwu di awal kalimat merupakan wâwu al-hâl; sehingga kalimat sesudahnya merupakan jumlah hâliyah (kalimat
yang menunjukkan keadaan). Ini memberikan batasan kalimat sebelumnya.
Bahwa tidak semestinya mereka mengira akan masuk surga sebelum Allah SWT
mengetahui mereka berjihad di jalan-Nya.
Patut digarisbawahi, ilmu Allah SWT itu
meliputi segala sesuatu, baik sebelum, sedang, dan yang akan terjadi.
Allah SWT telah mengetahui sebelumnya apakah seseorang akan melakukan
jihad atau tidak. Oleh karena itu, menurut al-Samarqandi, ya’lamu (mengetahui) di sini bermakna yarâ (melihat). Melihat tentu mengharuskan adanya perkara yang dilihat.
Bisa juga yang dimaksudkan dengan al-‘ilm (pengetahuan) itu adalah al-ma’lûm(perkara yang diketahui). Sehingga, pengertian ayat ini adalah: Apakah kamu mengira masuk surga sedangkan belum terbukti kalian melakukan jihad. Demikian penjelasan Fakhdruddin al-Razi.
Di samping berjihad, menjadi orang yang sabar. Allah SWT berfirman:Waya’lama al-shâbirîn (dan belum nyata orang-orang yang sabar). Secara bahasa, kata al-shabr berarti al-imsâk fî dhayyiq (menahan
diri dalam kesempitan, himpitan). Pengertian sabar dalam Alquran adalah
tetap kukuh dan teguh beriman, menjalankan semua perintah, dan menjauhi
semua larangan-Nya, dalam keadaan apa pun. Termasuk ketika kalah dalam
peperangan, tertimpa musibah, dan segala perkara yang menghimpitnya.
Keteguhan sikap itu menjadi bukti keimanan kepada Allah SWT dan semua
janji-Nya.
Patut dicermati, dalam ayat ini digunakan kata al-shâbirîn, yakni ism al-fâ’il(kata benda yang memiliki sifat sabar). Kata tersebut lebih kuat dibandingkan dengan al-ladzîna shabarû (kata kerja: orang yang sabar). Penggunaan ism al-fâil itu menunjukkan bahwa sifat sabar itu yang diharapkan itu bersifat permanen dan terus menerus. Bukan hanya sesekali saja.
Secara keseluruhan, Ibnu Katsir memaknai ayat ini dengan ungkapan: “Kalian
tidak dapat masuk surga hingga kalian diuji; dan Allah melihat di
antara kalian yang berjihad di jalan-Nya dan sabar menghadapi musuh.”
Penjelasan ini menunjukkan kepada kita
bahwa harapan dan keinginan masuk surga harus disertai upaya yang dapat
mengantarkannya. Menurut ayat ini, ada dua amal yang menjadi bukti
kebenaran ucapan tersebut, yakni kesediaan untuk berjihad di jalan Allah
SWT dan menjadi orang-orang yang sabar. Mengenai jihad, banyak dalil
yang memerintahkannya. Juga dijelaskan berbagai fadhilah dan pahalanya.
Orang yang gugur dalam jihad dikategorikan sebagai syahid dan dimudahkan
masuk surga. Demikian juga perintah bersabar. Ketika dua amal bisa
belum dilakukan, terutama ketika pada saat membutuhkan tindakan amal
tersebut, maka seseorang jangan merasa tenang bisa masuk surga.
Harapan Syahid
Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Walaqad kuntum tamannawna al-mawt min qabli an talqawhu (sesungguhnya kamu mengharapkan mati sebelum kamu menghadapinya). Menurut al-Thabari dan al-Syaukani, kata al-mawt(kematian) di sini bermakna asbâb al-mawt (penyebab
kematian), yakni perang. Imam al-Qurthubi dan al-Alusi menafsirkannya
sebagai mati syahid. Menurut al-Alusi, tidak masalah memiliki harapan
tersebut. Harapan itu bukan berarti mengharapkan terjadinya kemenangan
kaum kafir. Namun harapan yang dimaksud adalah harapan untuk mendapatkan
sesuatu yang mengantarkan pelakunya mendapatkan kemuliaan syahid, bukan
yang lain.
Kemudian dilanjutkan: Faqad ra`aytumûhu wa antum tanzhurûn ([sekarang] sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya). Karena al-mawtbermakna sebab kematian, yakni perang, maka perkara yang mereka lihat itu adalah perang. Kalimat wa antum tanzhurûn (sedangkan kalian menyaksikannya) berkedudukan sebagai jumlah hâliyyah (kalimat yang menunjukkan keadaan dari kalimat sebelumnya). Jika diperhatikan, kata tannzhurûn memiliki pengertian yang kurang lebih sama dengan ra`aytumûhu. Karena memiliki kesamaan makna, penyebutan jumlah hâliyyah itu menurut al-Syaukani memberikan maknamubâlagah (melebihkan). Tak jauh berbeda, al-Akhfasy memaknai pengulangan tersebut sebagai ta`kîd (pengokohan).
Menurut al-Thabari dan al-Syaukani, khithâb (seruan)
ayat ini ditujukan kepada tidak ikut dalam Perang Badar. Mereka
mengharapkan mengharapkan suatu hari terjadi peperangan sehingga
mendapatkan kemuliaan syahid dan pahala besar. Akan tetapi ketika
terjadi Perang Uhud, mereka justru berlarian dan mundur ke belakang.
Mereka tidak bersabar kecuali hanya sedikit seperti Anas bin al-Nadhar
ra, paman Anas bin Malik ra. Oleh karena itu, menurut al-Thabari ayat
ini merupakan celaan terhadap mereka sekaligus memuji orang-orang yang
sabar dan memenuhi janji mereka.
Demikianlah. Keinginan dan harapan masuk
surga harus disertai dengan upaya yang dapat mengantarkanya. Jika
tidak, keinginan itu hampa belaka. Laksana orang menginginkan panen
namun tidak menanam; menginginkan pandai namun tidak belajar. Semoga
kita tidak termasuk di antara mereka. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
0 komentar: