Zaman berubah
begitu cepat. Dulu, pecinta sesama jenis dianggap sakit mental dan
menyimpang. Sekarang kondisinya berbalik, penikmat homoseksual dianggap
sah dan normal. Orientasi seksual sejenis yang dipraktekkan kaum gay dan
lesbi kini diyakini sebagai pilihan hidup yang harus dihormati dan
berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Mereka sebagaimana kaum
minoritas lainnya juga berhak mengekspresikan hasrat seksualnya di
tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang tidak setuju dengan perilaku
homoseks dicap intoleran, sakit jiwa dan homophobia.
Baru-baru ini,
Lembaga Survei Indonesia (LSI) telah merilis hasil surveinya yang
dianggap bertujuan membidik masyarakat Islam tentang sikap terhadap
pelaku liwath(homoseksual),
penganut Syiah dan Ahmadiyah. Dari survei yang dilakukan terhadap 1.200
responden pada 1 hingga 8 Oktober 2012, LSI menyebutkan telah terjadi
peningkatan cukup drastis tentang ketidaksukaan bertetangga dengan kaum
gay dan lesbian. Hasil survei pada tahun 2005 menunjukkan 64,7% dari
responden menyatakan tidak nyaman bertetangga dengan komunitas
homoseksual. Namun angka tersebut melonjak menjadi 80,6% pada tahun
2012.
Ardian Sopa,
peneliti LSI menyimpulkan bahwa hasil survei tersebut menunjukkan sikap
tidak toleran di kalangan masyarakat meningkat. Dan responden yang
menyatakan tidak toleran itu kebanyakan adalah laki-laki, berpenghasilan
rendah dan tidak terpelajar, katanya di sela-sela konferensi pers pada
minggu sore, 21/10/2012.
Mengamini
pendapat Ardian Sopa, direktur “Denny JA Foundation” mengatakan bahwa
hasil survei tersebut menunjukkan betapa jalan panjang yang harus
ditempuh Indonesia untuk bisa menerima homoseksualitas. Sebab tingkat
penerimaan masyarakat terhadap homoseksual jauh lebih rendah berbanding
dengan tingkat penerimaan mereka kepada penganut agama lain. Sebagai
solusinya, ia menyarankan agar pemerintah meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat. Sebab sikap tidak toleran biasanya hanya dilakukan
orang miskin saja, jelas tokoh muda JIL yang juga alumni al-Azhar dan
UI ini. (lihat:http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/22/homophobia-rise-survey-says.html ).
Homoseksual dan Naluri Kriminal
Peran media
massa sebagai garda terdepan penyalur informasi yang sehat, mendidik dan
membangun nampaknya kian terkikis. Pasca reformasi 1998, kebebasan pers
dalam menyampaikan informasi sangat longgar, nyaris tanpa batasan. Di
satu sisi hal ini tentu berdampak positif, tetapi kebebasan pers
seperti ini juga sangat rentan menimbulkan anarkhisme, menampilkan
keruwetan pola hidup dan menawarkan sistem nilai sekular dengan judul
yang bombastis dan sensasional.
Alih-alih
berfungsi sebagai mediator pendidik masyarakat, media massa justru
terseret ke limbah liberalisme yang tidak bertanggung jawab. Media massa
sering terlibat provokasi kebebasan tanpa memperdulikan nilai-nilai
agama dan budaya, bahkan sering menjelek-jelakkan komunitas muslim
dengan pencitraan yang buruk sekali. Label-label seperti preman
berjubah, ekstrimis dan intoleran selalu disematkan kepada kaum
muslimin. Bahkan dengan data yang serampangan pesantren dan rohis
dikaitkan dengan lumbung teroris, kemudian menyusul ide aneh tentang
sertifikasi muballigh.
Berkenaan
dengan hasil survei LSI di atas, kesimpulan yang patut digarisbawahi
adalah upaya terang-terangan untuk menggambarkan orang yang tidak
menyukai perilaku liwath sebagai kelompok yang tidak toleran. Tidak puas
sampai di sini, LSI menggambarkan orang-orang yang tidak toleran itu
berlatarbelakang pendidikan rendah dan berpenghasilan kecil. Jelas
sekali LSI ingin menampilkan opini bahwa orang yang tidak mau
dekat-dekat dengan para pelaku liwath adalah
kaum bodoh dan miskin. Kalaulah benar ini merupakan target dari survei
LSI, maka sama saja LSI ingin mengajarkan “toleransi” dengan cara-cara
yang tidak toleran. Sebab semua agama tidak membenarkan liwath dan
mengutuk pelakunya, apalagi mensosialisasikan liwath sebagai tindakan
yang wajar. Maka survei LSI ini ibarat mengutuk tamu yang tidak mau
makan hidangan daging babi, lalu menyebutnya tidak menghormati perasaan
tuan rumah.
Orientasi seksual sesama jenis adalah salah satu bentuk sakit jiwa (mental disorder).
Bahkan jika merujuk QS. Al-A’raf 80-81 dalam tafsir al-Kasysyaf
disebutkan bahwa homoseksual merupakan tindakan kejahatan yang melampaui
batas akhir suatu keburukan (al-sayyi’ah al-mutamadiyah fi l-qubhi).
Bahkan homoseksual adalah salah satu perbuatan jahat yang tidak
dilakukan setan. Sebab ketika setan meminta ditangguhkan sampai hari
kiamat, ia berjanji akan beranak pinak dan menggoda manusia untuk
menemaninya di neraka kelak. Maka bagaimana mungkin menyebut intoleran
terhadap orang yang tidak menyukai perbuatan -yang setan pun enggan
melakukannya?
Pelaku homoseks
bukan saja jahat secara moral, tapi juga berpotensi berbuat kriminal
yang berlebihan, terlebih ketika mereka cemburu atau putus dengan
pasangannya. Naluri kriminal pelaku homoseksual patut diwaspadai. Sebab
bukan hal mudah untuk mencari kekasih baru yang berorientasi seksual
yang ganjil seperti ini. Kasus-kasus pembunuhan berantai yang sangat
sadis sering melibatkan mereka yang memiliki orientasi seksual
menyimpang. Sebut saja nama-nama seperti Robot Gedhek, Ryan, Mujiyanto
dan lain-lainnya. Maka bertetangga dengan pelaku homoseks pun
berkemungkinan besar membawa bahaya laten bagi masa depan anak-anak usia
dini.
Penutup
Kebebasan
berbasis HAM akhir-akhir ini selalu digunakan pers dan LSM-LSM liberal
sebagai payung untuk menyebarkan kejahatan moral. Sebab bagi kaum
liberal, kejahatan yang terlarang hanya dimaknai secara empirik dan
berhubungan langsung dengan kriminal. Sedangkan hal-hal yang berkenaan
dengan moralitas dan pembangunan spiritual bukan termasuk prioritas yang
penting. Bisa jadi setelah ini akan bermunculan lomba survei menghujat
ajaran Islam hanya karena tidak bisa dikompromikan dengan paham-paham
modern sekular, seperti feminisme, HAM dan lain-lain.
1 komentar:
izin share ya