::
Start
sumber informasi dan persahabatan

Navbar3

Search This Blog

Minggu, 23 September 2012

DERADIKALISASI, DENSUS 88, & BNPT : Alat Kepentingan Amerika di Indonesia



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjp-djUv5xA7wYYj1fXWEjxl7XvhTycs-6iamQ6ddE43ZwHy7Y5Q2pz4vhoTVHkE8IRzX5_mlne-FAY0aWbSdxjVRXb0zf44XITIcGjSVAb015CSDKxK09al92C9w8m5PrWHdhk6DnkhpM/s400/Densus+88.jpg

Pemberantasan terorisme di Indonesia mengikuti misi Amerika.
Sudah menjadi rahasia umum, lahirnya Densus 88 tidak lepas dari tangan Amerika. Detasemen khusus milik Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia ini dibentuk dan didanai pada awalnya oleh Amerika, Australia, dan Belanda paska ledakan bom di Bali.

Detasemen yang dibentuk pada 30 Juni 2003 ini masuk dalam paket proyek Amerika bagi Indonesia yakni JCLEC (Jakarta Centre for Low Enforcement Cooperation). Menurut salah satu petinggi Polri, paket proyek itu berupa pelatihan dan pembangunan secara fisik bagi detasemen itu.

Tidak diketahui secara pasti besarnya bantuan itu secara total. Yang pasti tidak ada bantuan yang tidak mencari pamrih. Kata orang Barat: "no free lunch" alias tidak ada rnakan siang gratis. Sebab bantuan pasti ada embel-embelnya.

Jumlah yang agak jelas datang dari Australia. Harian The Age dan Sydney Morning Herald menyatakan, dana 40 juta dolar AS dikucurkan Australia untuk pendirian JCLEC. Dan setiap tahun negara itu mengucurkan dana sebesar 16 juta dolar AS. Di laman JCLEC tercatat, Australia sejak 2004 melipat gandakan bantuannya untuk JCLEC menjadi 20 juta dolar AS per tahun, terutama untuk program kontraterorisme.

Bisa jadi bantuan Amerika jauh lebih besar lagi nilainya.Soalnya, Amerika menurunkan pasukan elitenya, CIA, dan FBI untuk melatih anggota Densus 88 itu. Tiap tahun pun Amerika menyumbang untuk detasemen yang anggotanya berjumlah 400 orang tersebut. Kantor berita Reuters pada 18 Maret 2010 rnengutip dokumentasi Deplu AS, sejak tahun 2003 negara itu aktif membiayai program kontraterorisme di sejumlah negara lewat Antiterorism Assistance Program (ATA). Dalam laporannya ke Kongres AS pada 2005, misalnya, ATA mengucurkan dana 5,4 juta dolar AS untuk Densus 88.

Tidak berhenti di situ, Amerika pun ikut andil dalam mendikte pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Undang-undang Anti Terorisme. Termasuk pula di dalamnya, Amerika memaksa pemerintah Indonesia untuk menangkap Ustadz Abu Bakar Baasyir karena dianggap sebagai gembong terorisme nomor satu di Indonesia —tidak pernah terbukti di pengadilan.

Masih dalam rangkaian global war on terrorisme (GWOT), pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tak lepas dari proyek kerja sama pemberantasan terorisme Amerika. Badan yang awalnya hanya Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang berada di bawah Menko Polhukam kemudian berubah seolah menjadi yang begitu kuat karena tugasnya mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan, serta melaksanakan kebijakan di bidang terorisme.

Dalam pembentukan orga¬nisasinya, badan yang dipimpin oleh Ansyaad Mbai ini merekrut pare petinggi di Densus 88 Mabes Polri. Sebagian di antaranya adalah orang orang yang patut diduga kuat anti Islam.

Sama dan Sebangun

Sepak terjang Densus 88 dan juga BNPT kalau dicermati secara mendalam, sama persis dan sebangun dengan misi Amerika dalam GWOT. Lihatlah bagaimana Amerika bisa membunuh siapa saja orang yang diduga teroris tanpa melalui proses hukum yang ada, kendati mereka selalu menyanjung supremasi hukum.

Amerika bahkan sudah biasa mencap organisasi yang mengusung ide-ide yang bertentangan dengan HAM dan demokrasi sebagai organisasi teroris. Setiap tahun Amerika merilis daftar organisasi teroris di seluruh dunia. Sebagian besar adalah organisasi Islam. Malah HAMAS pun pernah masuk dalam daftar teroris sebelum kelompok tersebut mengikuti pemilu Palestina.

Program GWOT ini diikuti harnpir oleh seluruh negara di dunia, sebab Amerika pernah rnengancam negara lain yang tidak ikut program ini sebagai negara teroris. Maka tidak aneh bila pola-pola yang dipakai di seluruh negara sama karena berasal dari satu mentor, yakni Amerika.

Kian hari kian kelihatan, siapa yang dimaksud teroris oleh Amerika. Tidak hanya mereka yang melakukan aksi kekerasan, tapi termasuk pula mereka yang memiliki pandangan lain yang bertentangan dengan pandangan Amerika. Dan arah dari semua itu adalah Islam dan orang-orang yang ingin menegakkan kembali negara yang diatur oleh ideologi Islam.

Cap demi cap, apakah teroris, radikalis, fundamentalis, dan sejenisnya senantiasa disematkan kepada gerakan Islam yang konsisten dengan ajaran agamanya. Bahkan, Muslim Rohingya yang sedang berusaha membebaskan diri mereka dari penindasan kaum Budha dan rezim militer Myanmar pun kini disebut teroris oleh pemerintah Bangladesh.

GWOT itu terus dipertahankan sedemikian rupa dengan berbagai konspirasi. Mereka menggunakan media massa guna mendukung aksi penanggulangan/pemberantasan terorisme se¬hingga aksi-aksi mereka kelihatan luar biasa.

Janggal dan Tak Profesional

Di Indonesia sendiri berbagai aksi Densus 88 penuh kejanggalan sering kali terjadi. Dalam kasus terakhir di Solo, Indonesian Police Watch (IPW) menyatakan ada tiga kejanggalan dalam penyergapan terhadap orang orang yang disebut sebagai teroris oleh polisi Solo pada 31 Agustus 2012.

Ketua Presidium IPW, Neta S Pane, menjelaskan kejanggalan pertama pada pistol yang disita dari tertuduh teroris yang terbunuh adalah jenis Bareta dengan tulisan "Property Philipines National Police". Padahal, sebelumnya Kapolresta Solo menyebutkan senjata yang digunakan menembak polisi di Pos Pengamanan (Pospam) Lebaran adalah jenis FN kaliber 99 milimeter (mm). "Pertanyaannya apakah orang yang ditembak polisi itu, benar-benar orang yang menembak polisi di Pospam Lebaran atau ada pihak lain sebagai pelakunya," katanya.

Kedua, ia menambahkan Bripda Suherman, anggota Densus 88 tewas akibat tertembak di bagian perut. "Ini menunjukkan anggota Densus 88 dalam bertugas yang bersangkutan tidak sesuai dengan "Standart Operational Procedure" (SOP) yang harus rnemakai rompi anti peluru," katanya. Pertanyaannya apakah benar pada 31 Agustus 2012 malam itu, ada operasi Densus 88. "Jika ada kenapa anggota Densus 88 bisa teledor bertugas tidak sesuai SOP," katanya.

Ketiga, beberapa jam setelah penyergapan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rnemerintahkan Kapolri segera meninjau tempat kejadian perkara (TKP). Sikap ini tidak pernah ada sebelumnya. Namun kejanggalan itu dibantah oleh polisi.

Dalam kasus Solo ini mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis, (BAIS), Laksamana TNI, Purnawirawan, Mulyo Wibisono rnengungkapkan, tiga bulan sebelum terjadinya teror Solo, telah terjadi pertemuan secara tertutup di markas Kopassus Kartosuro antara Direktur Penindakan BNPT Brigjen (Pol) Petrus R Golose dengan jajaran Dandim, Komandan Kopassus Grup 2, Kapolres se-Solo Raya dan dan perwakilan dari Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror. "Apa gunanya pertemuan itu kok tiba-tiba ada teror," katanya.

Beberapa bulan sebelumnya, Densus 88 menembak mati dua orang di Cawang, Jakarta Timur, karena diduga teroris. Anehnya, identitas kedua orang itu sendiri tak diketahui. Polisi sendiri pun bingung siapa orang tersebut.

Di awal September lalu, seorang aktivis dakwah di Jakarta dipaksa mengakui senjata yang ditemukan oleh pegawai Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ia digelandang oleh Densus 88 ke tempat penemuan tersebut selepas mengantar istrinya ke tempat kerja. Aktivis itu diintimidasi dan menerima kekerasan fisik agar mengakui senjata tersebut miliknya. Bahkan di antara anggota Densus itu ada yang sampai menghina Rasulullah SAW, dan Alquran. Ia tetap tidak mengakui karena memang bukan miliknya. Ia pun dilepas dan diancam.

Jualan di Luar Negeri

Ketika ledakan di Depok muncul. Presiden Susilo Bambang Yudhopio langsung bereaksi. Padahal saat itu ia sedang di Vladivostok, Rusia untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi APEC. Ia pun langsung membeberkan apa yang sudah dilakukan pemerintahnya.

SBY menjelaskan bahwa Indonesia melakukan sejumlah upaya untuk melakukan pemberantasan terorisme. Upaya paling utama yang dilakukan Indonesia adalah pencegahan. "Kebijakan pertama. mencegah terjadinya aksi-aksi terorisme, mencegah berkembangnya pikiran-pikiran ekstrim yang akhimya diwujudkan dalam aksi-aksi kekerasan," kata SBY seperti dikutip dari sitws resmi Presiden RI.

SBY pun mengatakan sudah berkali-kali meminta tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk ikut bekerja sama mencegah aksi teror. Selain itu, SBY mengatakan sudah melakukan tindakan secara konkret dan rill di lapangan.

Lho kok begitu pedulinya dengan kasus ini. sementara lebih dari 900 orang tewas saat mudik lebaran tahun ini tak pernah mendapat perhatian.

0 komentar: